LAHAN GAMBUT : Pengembangan, Konservasi dan Perubahan Iklim
Penerbit : Gadjah Mada Press Yogyakarta
Abstrak :
Lahan gambut
adalah sebuah ekosistem alami yang mempunyai nilai tinggi karena fungsinya
dalam keanekaragaman hayati, pengaturan
iklim, pengendalian air, dan tempat bergantungnya kehidupan bagi jutaan
penduduk bumi. Lahan gambut juga dinilai sebagai penyumbang emisi gas rumah
kaca (GRK), seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4),
dan dinitrooksida (N2O) yang berdampak pada perubahan iklim dan
pemanasan global. Lahan gambut yang telah dibuka dapat berubah menjadi lahan bongkor akibat kebakaran dan disinyalir banyak
melepaskan emisi GRK. Dilaporkan sekitar 45% emisi GRK disumbang dari lahan
gambut dan kerusakan hutan (termasuk alih fungsi lahan). Keadaan inilah yang menambah rumit dan
kusutnya permasalahan tentang lahan gambut dan pemanfaatannya. Pilihan terhadap
lahan gambut sebagai lahan pertanian awalnya diilhami oleh keberhasilan
masyarakat lokal dalam pemanfaatannya untuk pertanian dan perkebunan. Akibat kondisi “lapar tanah” karena konversi
lahan, kebutuhan pangan, kebutuhan devisa, kebutuhan energi untuk penduduk yang
terus membengkak, maka lahan gambut menjadi pilihan untuk pengembangan
pertanian/perkebunan, termasuk untuk penghasil energi bahan bakar nabati (biofuel) masa depan. Pemerintah daerah yang
mempunyai lahan gambut mendapatkan
dorongan kuat dari masyarakatnya yang lahannya sudah puluhan tahun tanpa
menghasilkan sesuatu apapun, kecuali sebagai lahan bongkor yang terbakar setiap
tahun. Investasi yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan seperti
kelapa sawit bagi daerah merupakan peluang sebagai sumber pendapatan sehingga
“menawan” untuk menjadikan kawasan gambut sebagai wilayah pertumbuhan ekonomi
baru.
Permasalahan-permasalahan gambut di atas
menjadi tema yang sangat menarik untuk dikemukakan. Pengembangan lahan gambut
di beberapa lokasi di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi memberikan
pembelajaran dan pengalaman yang baik tentang pengelolaan lahan gambut. Bermula
dari program kolonisasi pada tahun 1930an, program transmigrasi dan pembukaan
secara swadaya oleh masyarakat lokal pada tahun 1970-1995an, sampai pada Proyek
PLG (Pengembangan Lahan Gambut) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah pada tahun
1995-1999 yang dilanjutkan dengan Program Percepatan Rehabilitasi dan
Revitalisasi Kawasan PLG Sejuta Hektar 2007-2011 (Inpres No. 2/2009) – semuanya
memberikan catatan tersendiri tentang gambut. Lebih jauh, sekarang sedang
direncanakan pembukaan secara luas lahan rawa/gambut di Merauke, Papua.
Kebijakan pemerintah tentang lahan gambut, seperti Peraturan Menteri
Pertanian No 14/2009, 16 Pebruari 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut
untuk Budidaya Kelapa Sawit, peraturan lainnya tentang Pembukaan atau Penyiapan
Lahan Tanpa Bakar (PLTB), pembentukan Tim Pengendalian Kebakaran Lahan Gambut, adanya
Pokja Pengelolaan Lahan Gambut dan
Konsorsium Pengelolaan Lahan Gambut menunjukkan bahwa pedoman atau
arahan pengelolaan lahan gambut sangat penting dan diperlukan. Keikutsertaan
Indonesia dalam berbagai kesepakatan internasional seperti Konvensi
Keanekaragaman Hayati (CBD), Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim
(UNFCCC) dan Konvensi Ramsar tentang Konservasi Lahan Basah, yang telah
dituangkan dalam undang-undang juga merupakan bagian ketentuan-ketentuan
tentang pemanfaatan lahan gambut yang perlu diperhatikan, namun tetap kiranya memperhatikan kedaulatan dan kepentingan nasional, termasuk
hak masyarakat dan kearifan lokal setempat yang sudah melembaga. Komitmen
Indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudiyono di Pittsburg, Amerika Serikat (September,
2009) dan di Copenhagen pada Konferensi G-20
dan COP-15 (Desember, 2009) menyatakan akan menurunkan emisi GRK
sebesar 26% secara unilateral dan 41% secara bilateral pada tahun 2020, diantaranya 9,5-13,0% berasal
dari lahan gambut – yang akan
diikuti dengan program aksi moratorium
perlu mendapatkan perhatian bersama, terkait dengan rasa keadilan dan
keberpihakan kepada masyarakat (catatan : moratorium pemanfaatan lahan
gambut ini akhirnya menjadi Inpres No. X/2011).
Pemahaman tentang perilaku lahan gambut dan perubahan-perubahan pasca
reklamasi serta pemanfaatan kearifan lokal sebagai sumber informasi empirik
sangat penting dalam penyusunan strategi dan langkah pengelolaan lahan gambut
yang berkelanjutan. Dengan demikian, ke depan pemanfaatan dan pengembangan
lahan gambut seyogyanya dapat lebih baik sesuai kaidah-kaidah ”pengelolaan
lahan gambut berkelanjutan” artinya gambut tidak saja dipandang secara ekonomi,
tetapi juga secara ekologi dan sosial budaya masyarakat setempat.
1 komentar:
bukunya sangat bagus skali
alquran juz 30
Posting Komentar