KEARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM PERSPEKTIF PENGEMBANGAN PERTANIAN DI LAHAN RAWA
Muhammad Noor dan Achmadi Jumberi
PENDAHULUAN
Naiknya ikan-ikan jumlah besar di
sekitar pantai Maluku Utara sebuah fenomena alam yang ternyata merupakan pertanda
akan terjadinya gempa. Fenomena ini telah
diyakini oleh masyarakat Maluku Utara sehingga telah menyelamatkan mereka dari bencana
letusan Gunung Kiebesi pada tahun 1988. Demikian juga, tsunami yang
memporakporandakan Aceh dan Sumatera Utara pada bulan Desember 2005, dan juga
tsunami yang melanda Daerah Istimewa dan Jawa Tengah pada bulan Juni 2006 lalu sebetulnya dapat dibaca, karena menurut
pakar margasatwa Ratnayake, hewan-hewan mampu mendeteksi secara dini adanya
bencana alam. Konon sebelum tsunami terjadi di atas angkasa wilayah Aceh
Darussalam terlihat segerombolan kalong
yang sedang melakukan migrasi. Hal ini juga ditunjukkan oleh bukti,
ternyata pada pasca tsunami tidak banyak ditemukan bangkai-bangkai hewan liar
(Fauzi, 2006). Pengetahuan membuktikan bahwa hewan tertentu memiliki keunikan
berupa kemampuan dan ketajaman insting yang lebih dibandingkan manusia.
Misalnya kelelawar mampu memancarkan gelombang ultrasonik dari mulutnya
sehingga dapat terbang cepat dan aman dalam keadaan gelap gulita malam.
Dalam perspektif
kearifan budaya lokal, satwa seperti ikan, buaya, burung, kalong dan binatang
liar lainnya juga bintang-bintang oleh masyarakat tradisional diamati sebagai
fenomena alam yang kemudian dijadikan petunjuk baik sebagai tanda-tanda
datangnya bencana alam ataupun musim dalam pertanian, seperti masyarakat Jawa Tengah
mengenal Pranata Mangsa, masyarakat
Bali mengenal Kerta Masa, masyarakat
Sulawesi Selatan menyebutnya Palontara
dan masyarakat Nusa Tenggara menyebutnya Nyali,
maka orang Dayak menyebutnya Bulan Berladang. Masyarakat Dayak memilah Bulan Berladang yang membagi waktu
menjadi Bulan 1, 2 sampai Bulan 12. Bulan-4
sampai Bulan-6 yang menandakan
saatnya penyiapan lahan, kemudian dilanjutkan dengan pembakaran dan Bulan-7 sampai Bulan-9 saatnya menyemai benih. Bulan-4
ditandai apabila buaya mulai naik ke darat untuk bertelur. Bulan-6 ditandai
munculnya “Bintang Tiga” pada dinihari seperti kedudukan matahari jam 9.00 pagi
bertepatan dengan bulan Juli, saat kegiatan penebangan telah selesai.
Bintang-bintang yang ribuan banyaknya diantaranya yang muncul secara periodik
juga diyakini oleh masyarakat, khususnya di Kalimantan
sebagai pertanda akan datangnya air pasang atau mulainya air surut (Wisnubroto
dan Attaqi, 1997). Masyarakat rawa lebak di Kalimantan Selatan menganal adanya
bintang Baur Bilah yang apabila
muncul di ufuk Barat pada senja hari menanda terjadinya kemarau panjang atau
pendek dan sebaliknya apabila yang muncul bintang Karantika menandakan tibanya
musim hujan (Noorginayuwati dan Rafieq, 2007).
Menurut Sutanto (2002) sangat sedikit pengetahuan tentang
bagaimana pengelolaan lahan piasan (marginal) secara berkelanjutan, termasuk
lahan rawa. Lahan piasan berarti lahan dengan kendala
sosial ekonomi berat karena keadaan biofisik alaminya. Penelitian tentang
potensi dan pengembangan lahan rawa yang termasuk wilayah tropika baru di mulai
setelah tahun 1950-an yang jauh di belakang dari lahan di wilayah iklim sedang
(temperate). Strategi pengembangan
dan pembangunan di wilayah rawa ini lebih banyak bersifat coba-coba atau
direncanakan sambil jalan atau sambil dikerjakan (Noor, 2001). Kiblat dari para pemegang kebijakan dan para
pakar di lahan piasan tropika pada dasarnya lebih banyak mengapresiasi cara-cara
yang dilakukan atau dicapai di wilayah iklim sedang yang justru sering
bertentangan dan menyebabkan banyak kegagalan (Sutanto, 2002). Tanpa disadari
penawaran cara-cara dan teknologi inovasi yang diharapkan dapat diadopsi para
petani dari para peneliti, malah ditolak oleh para petani. Penolakan ini
disebabkan karena teknologi tersebut belum banyak menunjukkan hasil yang
menguntungkan dan belum mampu meningkatkan pendapatan petani bahkan sebaliknya
menimbulkan dampak kerusakan terhadap lingkungan.
Menurut Fujisaka (1993) dan Pretty
(1995) dalam Sunaryo dan Joshi (2003) ada beberapa alasan
yang menyebabkan teknologi dan informasi yang ditawarkan ditolak para petani,
antara lain: (1) Teknologi yang direkomendasikan seringkali tidak menjawab
masalah yang dihadapi petani sasaran. (2) Teknologi yang ditawarkan sulit
diterapkan petani dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan teknologi lokal
yang sudah ada. (3) Inovasi teknologi justru menciptakan masalah baru bagi
petani karena kurang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya setempat. (4)
Penerapan teknologi membutuhkan biaya tinggi sementara imbalan yang diperoleh
kurang memadai. (5) Sistem dan strategi penyuluhan yang masih lemah sehingga
tidak mampu menyampaikan pesan dengan tepat. (6) Adanya ketidak-pedulian petani
terhadap tawaran teknologi baru, seringkali akibat pengalaman kurang baik di
masa lalu. (7) Adanya ketidak-pastian dalam penguasaan sumber daya (lahan, dan
sebagainya).
Para pemegang kebijakan, pakar atau
peneliti kadang kala kurang dapat memahami hambatan dan peluang yang berkembang
di masyarakat sehingga teknologi yang dianjurkan tidak menyentuh pada akar
permasalahan yang ada. Dengan demikian, diseminasi teknologi yang tidak tepat
guna banyak yang tidak diadopsi oleh masyarakat. Para pakar pertanian membantah
bahwa gagalnya masyarakat mengadopsi teknologi anjuran dikarenakan mereka
konservatif, irrasional, malas atau bodoh (De Boef et al. dalam Sunaryo dan Joshi, 2003),
tetapi lebih dikarenakan rancang-bangun teknologi anjuran tersebut tidak sesuai
dengan kondisi sosio-ekonomi dan ekologi
masyarakat tani.
Perkembangan teknologi pada dasarnya
tidak lepas dari perkembangan masyarakatnya dalam menyikapi perubahan atau
dinamika lingkungan tempat mereka tinggal. Cerita panjang dan kejadian alam dari
tempat mereka tinggal menjadi sumber inspirasi, termasuk tanggapan mereka dalam
mengatasi gejolak alam yang menjadi catatan penting mereka, yang kemudian
diceritakan dari generagi ke generasi sebagai pengetahuan dalam menyikapi alam
dan perubahannya.
Kesadaran untuk mengangkat dan
menggali kembali pengetahuan lokal atau kearifan budaya masyarakat etnik muncul
karena kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat dunia sekarang telah diiringi
oleh pelbagai kerusakan lingkungan. Ke depan, masyarakat dunia dihantui akan
berhadapan dengan semakin meningkatnya degradasi sumber daya lahan dan
lingkungan serta pencemaran yang meluas baik di daratan, laut maupun udara.
Tulisan ini dimaksudkan untuk
mengemukakan tentang pengertian kearifan budaya lokal dan kearifan budaya lokal
dalam perspektif pengembangan pertanian di lahan rawa.
PENGERTIAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL
Manusia mempunyai
kapasitas untuk mencerap apa yang terjadi di sekelilingnya, selanjutnya menganalisis
dan menafsirkan baik sebagai hasil pengamatan maupun pengalaman, yang pada
gilirannya dapat digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan
dalam pengambilan keputusan. Jadi pengetahuan merupakan keluaran dari proses
pembelajaran, penjelasan berdasarkan pemikiran dan persepsi mereka. Namun demikian
dalam tataran falsafah ilmu, pengetahuan bukanlah merupakan kebenaran yang
bersifat mutlak atau hakiki. Pengetahuan sendiri tidak mengarah ke suatu
tindakan nyata. Di balik pengetahuan atau di sisi pengetahuan dalam masyarakat
ada norma budaya atau kewajiban yang dapat mempengaruhi arah keputusan yang
diambil baik kemudian bersifat positif maupun negatif.
Pilihan tindakan tidak
lepas juga dari pertimbangan faktor-faktor eksternal seperti kekuatan pasar,
kebijakan pemerintah, termasuk kondisi keuangan rumah tangga petani sendiri
sehingga mungkin mendorong petani untuk memilih tindakan pengelolaan yang
sederhana (sub-optimal) baik secara teknis maupun ekologis. Namun petani dapat
belajar akibat dari tindakan mereka dan akan memperkaya serta mempertajam
pengetahuannya. Pengamatan dan tanggapan seksama terhadap hasil uji coba atau
observasi, bahkan kerugian akibat serangan hama dan penyakit serta kerusakan
akibat alam (musim, iklim) akan lebih memperkaya sistem pengetahuannya. Lebih
lanjut, tambahan pengetahuan petani juga mungkin diperoleh dari sumber
eksternal seperti radio, televisi, tetangga dan penyuluh. Ringkasnya, sistem pengetahuan
petani bersifat dinamis, karena terus berubah sesuai dengan waktu dan
interaksi dengan lingkungan yang berkembang.
Menurut Johnson (1992) dalam Sunaryo dan Joshi (2003), pengetahuan indigenous adalah
sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi
ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini
berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat. Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan inovasi atau
uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan masukan internal dan pengaruh
eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru setempat. Oleh
karena itu pengetahuan indigenous ini
tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis
atau tak berubah.
Pengetahuan indigenous
ini berkembang melalui tradisi lisan dari mulut ke mulut atau melalui pendidikan
informal dan sejenisnya dan selalu mendapatkan tambahan dari pengalaman baru,
tetapi pengetahuan ini juga dapat hilang atau tereduksi. Sudah tentu,
pengetahuan-pengetahuan yang tidak relevan dengan perubahan keadaan dan
kebutuhan akan hilang atau ditinggalkan. Kapasitas petani dalam mengelola
perubahan juga merupakan bagian dari pengetahuan indigenous. Dengan
demikian, pengetahuan indigenous dapat dilihat sebagai sebuah akumulasi
pengalaman kolektif dari generasi ke generasi yang dinamis dan yang selalu
berubah terus-menerus mengikuti perkembangan zaman.
Indigenous berarti asli atau pribumi. Kata indigenous dalam
pengetahuan indigenous merujuk pada masyarakat indigenous. Yang
dimaksud dengan masyarakat indigenous
di sini adalah penduduk asli yang tinggal di lokasi geografis tertentu,
yang mempunyai sistem budaya dan kepercayaan yang berbeda dengan sistem
pengetahuan dunia intelektual/internasional. Kenyataan ini menyebabkan banyak
pihak yang berkeberatan dengan penggunaan istilah pengetahuan indigenous
dan mereka lebih menyukai penggunaan istilah pengetahuan lokal (Sunaryo dan
Joshi, 2003).
Pengetahuan lokal
merupakan konsep yang lebih luas yang merujuk pada pengetahuan yang dimiliki
oleh sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu untuk jangka waktu yang
lama. Pada pendekatan ini, kita tidak perlu
mengetahui apakah masyarakat tersebut penduduk asli atau tidak. Yang jauh lebih
penting adalah bagaimana suatu pandangan masyarakat dalam wilayah tertentu dan
bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungannya, bukan apakah mereka itu
penduduk asli atau tidak. Hal ini penting dalam usaha memobilisasi pengetahuan
mereka untuk merancang intervensi yang lebih tepat-guna.
Dalam beberapa pustaka
istilah pengetahuan indigenous sering kali dirancukan dengan pengetahuan
lokal. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kata indigenous dalam
pengetahuan indigenous lebih merujuk pada sifat tempat, dimana
pengetahuan tersebut berkembang secara ‘in situ’, bukan pada asli atau
tidaknya aktor yang mengembangkan pengetahuan tersebut. Jika kita berpedoman
pada konsep terakhir ini, maka pengetahuan indigenous sama dengan
pengetahuan lokal dan dalam paparan selanjutnya kedua istilah tersebut berarti
sama. Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan wilayah
yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara
turun-temurun. Adakalanya suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain
dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian
integral sistem bertani mereka. Karenanya teknologi eksternal ini akan menjadi
bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka
kembangkan sendiri. Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, sumber
daya alam dan bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik di
dalam teknik bertani maupun keterampilan mereka dalam mengelola sumber daya
alam. Jadi pengetahuan indigenous tidak hanya sebatas pada apa yang
dicerminkan dalam metode dan teknik bertaninya saja, tetapi juga mencakup
tentang pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition)
yang berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan
pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan meteorologis.
Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma
dan budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos, yang dianut dalam
jangka waktu cukup lama inilah yang disebut ’kearifan budaya lokal’.
KEARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM
PERSPEKTIF PERTANIAN DI LAHAN RAWA
Pertanian di lahan rawa
berkembang seiring dengan keberhasilan para petani pioner yang menggeluti lahan rawa ratusan tahun silam. Keberhasilan para pioner ini memberikan inspirasi
bagi pemerintah kemudian untuk membuka lahan rawa secara besar-besaran di
Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi seiring dengan krisis pangan yang menimpa
Indonesia setelah Perang Dunia II (Notohadiprawiro, 1996).
Pengembangan daerah rawa di
Kalimantan dimulai sejak abad 13 Masehi saat Kerajaan Majapahit memperluas
pengaruhnya. Raja Prabu Jaya sebagai keturunan Raja Brawijaya dari Kerajaan
Majapahit dicatat telah mengadakan pembukaan lahan rawa untuk pemukiman dan
pertanian di Sungai Pawan, Kalimantan Barat. Pengembangan rawa di Kalimantan Selatan di
mulai pada tahun 1920, yaitu seiring dengan pembangunan jalan besar melintasi
rawa gambut sepanjang 14 km yang bersambungan dengan tanah pasir (sekarang
termasuk dalam Kec. Kertak Hanyar dan Kec. Gambut, Kabupaten Banjar). Dikedua
sisi jalan tersebut terbentuk saluran air (sungai), sehingga air di lahan rawa
tersebut dapat tersalurkan ke sungai besar. Dengan terbukanya jalan tersebut,
orang mencoba bersawah dan ternyata memberikan hasil yang baik. Pada tahun 1927 lahan di
kedua sisi jalan tersebut sudah habis terbuka. Petani yang baru datang mulai
membuat parit-parit melintang di kedua sisi jalan untuk membuka lahan di bagian
dalam dari jalan tersebut. Pembukaan sawah ini berlanjut dari tahun ke tahun
dengan cara pembuatan parit-parit.
Kemudian pada tahun 1928, mulai juga dibuka dengan pembuatan sawah di
Anjir Serapat, pada lahan bekas kebun karet yang terbakar, sehingga daerah
Anjir Serapat pun menjadi tempat tujuan petani untuk bersawah.
Pada tahun 1935, dibuat parit besar
dari km 14 (sekarang Kec. Gambut) sampai ke Aluh-aluh serta perbaikan Sungai
Pemurus dan Sungai Kelayan, sehingga lahan di wilayah rawa tersebut berangsur
menjadi sawah dan pembukaan sawah meluas hingga ke Kurau dan Aluh-aluh. Pada tahun 1937, penduduk dari Hulu Sungai
berdatangan ke daerah Anjir Serapat untuk membuka sawah. Kondisi Anjir Serapat
menjadi lebih baik setelah selesai diperdalam dengan kapal kerok pada tahun
1935.
Pada tahun 1938, oleh pemerinmtah Belanda
dilakukan program kolonisasi (sekarang diistilahkan dengan transmigrasi) yaitu petani
dari Jawa didatangkan untuk memanen padi di daerah Kertak Hanyar, sambil
belajar bersawah di lahan rawa pasang surut. Kemudian mereka disediakan lahan
di Kampung Tamban, daerah Anjir Serapat, sekarang menjadi Kampung Purwosari
(Idak, 1948). Petani dari Jawa selanjutnya didatangkan lagi setiap tahun hingga
tahun 1941.
Pembuatan Anjir Tamban dimulai tahun 1941, berawal
dari Sungai Barito dan setelah mencapai dua kilometer pembuatan terhenti karena
Perang Dunia II. Kemudian pembuatan Anjir Tamban dilanjutkan hingga mencapai 14
km pada tahun 1952. Pada tahun 1956-57, pembuatan anjir dilanjutkan sepanjang
25 km, hingga mencapai Sungai Kapuas (Sarimin and Bernsten, 1984).
Pemerintah (Belanda) sejak
tahun 1934 juga sudah menaruh perhatian terhadap pertanian di lahan rawa lebak yaitu
dengan dimulai pembuatan polder untuk mengendalikan air di lahan rawa lebak di
daerah Alabio dan Martapura. Pada tahun 1939 disusun Rentjana Perbaikan dan
Perluasan Persawahan dalam Groupsgemeenschap Bandjar yang mencakup wilayah
rawa pasang surut. Pada tahun 1958 pemerintah membuka Rice Project komplek Belandean secara
besar-besaran di lahan pasang surut, sejak saat itu nama Sawah Pasang surut
dikenal di Indonesia (Idak, 1967).
Dengan demikian, maka praktek-praktek
pertanian di lahan rawa yang sekarang berkembang tidak lepas dari upaya
petani-petani pioner yang dengan gigih menyiasati kondisi alam yang penuh
dinamika dan bahkan adakalanya kurang bersahabat. Keadaan tanah dan lingkungan
rawa bersifat khas dan sangat beragam. Salah satu aspek yang sangat khas adalah
kondisi air yang silih berganti pasang dan surut. Sebagian, hampir sepanjang
tahun tergenang yang dapat bersifat mendadak ataupun bertahap pasang/banjir.
Sifat tanah dan air cepat berubah masam (bangai
= bahasa Banjar) serta kelarutan besi, alminium, sulfat dan asam-asam organik
yang tinggi. Praktek-praktek pertanian di lahan rawa ini konon juga tidak lepas
dari introduksi bangsa China yang sejak abad ke 13 Masehi telah melakukan
invasi perdagangan ke Kalimantan yang secara tidak langsung mengajarkan juga
cara bertani dan beternak.
Penggalian
terhadap kearifan budaya lokal di lahan rawa ini sudah dilakukan oleh para
peneliti dari berbagai lembaga dan institusi baik di Indonesia maupun dari luar
Indonesia, namun lebih menitik beratkan pada aspek antrophologi dan
ekologi. Beberapa kearifan budaya lokal
dalam pertanian di lahan rawa berpotensi untuk dikembangkan seperti halnya yang
telah berkembang di Jawa seperti sistem walik
jerami, di Bali seperti sistem subak,
dan di Jawa Barat sistem embung.
Kearifan budaya lokal dalam pertanian di lahan rawa sebagai contoh antara lain
dikenal dengan tanam padi sistem banjar
yaitu sistem penyiapan lahan tajak-puntal-balik-hambur
dan sistem persemaian taradak-ampak-lacak, serta sistem penataan lahan tongkongan
yang sudah banyak dikenal dan diteliti. Kearifan budaya lokal ini tentu saja
sudah berakar di masyarakat sehingga dapat memperkaya inovasi yang terus
berkembang. Hasil penelitian dan penggalian terhadap petani di Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat menunjukkan ada beberapa hal
yang menarik dari masyarakat petani di lahan rawa (Hidayat, 2000; Noor, 2007;
Supriyo dan Jumberi, 2007; Ar-Riza et al.,
2007; Noor, HDj. et al., 2007;
Noorginayuwati dan Rafieq, 2007; Noorginayuwati et al., 2007) antara lain:
1.
Pola
pemukiman dan konstruksi rumah yang dikenal dengan rumah lanting untuk di pinggir tepian sungai dan rumah panggung,
rumah betang atau bertiang tinggi di daratan lahan atas.
2.
Pola
pertanian dan pola tanam yang dikenal dengan banih tahun, padi surung,
padi rintak.
3.
Pengelolaan
dan konservasi tanah dan air yang dikenal antara lain sistem handil, sistem anjir, dan
sistem tabat.
4.
Pengelolaan
kesuburan lahan yang dikenal antara lain pemberian garam, abu, pengelolaan kompos
(tajak-puntal-hambur) untuk padi
sawah, dan melibur untuk tanaman
tahunan seperti jeruk, kelapa dan karet.
5.
Peralatan
pertanian yang merupakan produk lokal dan secara meluas digunakan di lahan rawa
antara lain sundak, tajak, tatajuk,
ranggaman, lanjung, tikar purun, kakakar, gumbaan, kindai, kalumpu dan lain
sebagainya.
6.
Sistem
sosial kemasyarakatan yang berhubungan dengan organisasi/kelompok seperti handil (saluran irigasi dan drainase)
dipimpin oleh kepala handil meliputi kawasan handil sepanjang 2-3 km dan
berperan sebagai pengelolaan air dan pertanian setempat, termasuk perawatan
saluran.
Kearifan budaya lokal di
atas sekarang sebagian masih bertahan, tetapi sebagian juga sudah mulai pudar
atau hilang karena tuntutan perkembangan sosial budaya masyarakat dengan muncul berbagai pilihan. Sejatinya pilihan tidak dimaksudkan untuk
mendapatkan keuntungan sementara atau jangka pendek, tetapi mengakibatkan kemerosotan jangka
panjang dalam aspek lingkungan. Pada hakekatnya kearifan budaya lokal dapat
bertahan dengan upaya adaptasi atau penyesuaian-penyesuaian dengan mengikuti
kondisi atau tuntutan yang berkembang.
PENUTUP
Kesadaran
untuk mengangkat dan menggali kembali pengetahuan lokal atau kearifan budaya
lokal adalah karena kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat dunia sekarang telah
diiringi oleh pelbagai kerusakan lingkungan. Ke depan semakin dirasakan terjadinya peningkatan baik
luas maupun intensitas adanya degradasi sumber daya lahan dan lingkungan serta
pencemaran baik di biosfer, hidrosfer, maupun atmosfer. Sementara di beberapa belahan dunia yang
bertahan dengan praktek-praktek pertanian berdasarkan pengetahuan lokal dan indegenous telah berhasil mewariskan
sumber daya lingkungannya (hutan, lahan, tanah dan keanekaragaman hayatinya)
secara utuh dari generasi ke generasi.
Hal ini menunjukkan pentingnya pembelajaran dan penggalian terhadap
sumber-sumber kearifan budaya lokal.
Dengan demikian
pengetahuan indigenous atau
kearifan budaya lokal sebagai sebuah akumulasi pengalaman kolektif dari
generasi ke generasi perlu dikembangkan sebagai bagian dalam memperkaya dan
melengkapi rakitan inovasi teknologi pertanian masa depan yang berkelanjutan,
termasuk untuk pengelolaan dan pengembangan budidaya pertanian di lahan rawa.
Penggalian terhadap kearifan
budaya lokal di lahan rawa ini sudah dilakukan oleh para peneliti dari berbagai
lembaga dan institusi baik di Indonesia maupun dari luar Indonesia. Beberapa
kearifan budaya lokal dalam pertanian di lahan rawa berpotensi untuk
dikembangkan seperti halnya yang telah berkembang di beberapa wilayah dalam
sistem pertanian organik atau sistem pertanian dengan masukan rendah (LIESA).
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Riza, I., H.Dj. Noor dan N. Fauziaty. 2007. Kearifan lokal dalam budidaya padi di lahan
rawa lebak. Dalam Kearifan Budaya Lokal
Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.
Fauzi, H. 2006. Memahami fenomena alam pertanda bencana. Opini dalam Banjarmasin Post,
30 September 2006
Hidayat, T. 2000. Studi kearifan budaya petani Banjar dalam pengelolaan
lahan rawa pasang surut. Jurnal Kalimantan Agrikultura 7(3), Desember 2000.
Hlm. 105-111. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
Idak, 1948. Rentjana guna memperbaiki dan
menambah luas sawah dalam District Bandjermasin dan Bakumpai. Adjunct
Landbouwconsulent. Bandjermasin.
Idak, 1967.
Perkembangan dan sedjarah persawahan di Kalimantan Selatan.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Kanisuis. Yogyakarta. 179 hlm.
Noor, M., M. Alwi, dan K. Anwar 2007.
Kearifan budaya
lokal dalam perspektif kesuburan tanah dan konservasi air di lahan gambut. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar
Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.
Noor, H.Dj., S.S. Antarlina dan I.
Noor. 2007; Kearifan
lokal dalam budidaya jeruk di lahan rawa. Dalam Kearifan Budaya Lokal
Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.
Noorginayuwati dan A. Rafieq. 2007. Kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan
lebak untuk pertanian di Kalimantan . Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar
Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.
Noorginayuwati,
A. Rafieq, M. Noor, dan A. Jumberi. 2007. Kearifan
lokal dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian di Kalimantan .
Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa.
Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.
Notohadiprawiro, 1996. Contrains to achiving
the agricultural potential of tropical peatlands – an Indonesien perspective. In
E. Maltby et al. (eds). Proc. of A Workshop on Integrated Planning
and Management of Tropical Lowland
Peatland. IUCN. p.139-154.
Sarimin, T. and RH. Bernsten,
1984. Agroeconomic profile of an old transmigration area in the tidal swamp
environment. p. 197-207 In Workshop on Research Priorities in Tidal
Swamp Rice. International Rice Research Institute.
Sunaryo
dan L. Joshi. 2003. Peranan pengetahuan ekologi lokal dalam sistem agroforestri. World
Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia
Regional Office. Bogor , Indonesia
Supriyo, A.
dan A. Jumberi, 2007. Kearifan lokal
dalam budidaya padi di lahan rawa pasang
surut. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar
Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.
Sutanto, R. 2002. Tantangan global menghadapi kerawanan pangan dan peranan
pengetahuan tradisional dalam pembangunan pertanian. Dalam F. Wahono et
al. (eds) Pangan, Kearifan Lokal
dan Keanekaragaman Hayati. CPRC. Yogyakarta. Hlm. 67-84.
Wisnubroto, S. dan R. Attaqi. 1997. Pengenalan waktu tradisional ”Bulan
Berladang” kesamaaannya dengan keadaan meteorologis dan pemanfaatannya untuk pertanian. Jurnal Ilmu
Tanah dan Lingkungan:1(1), Desember 1997: Hlm. 61-66. Fak. Pertanian Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta.
________________________________
Keterangan : Tulisan ini bagian dari Buku Monograf yang berjudul : Kearifan Lokal Pertanian di Lahan Rawa, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, 2006.
0 komentar:
Posting Komentar