PERSPEKTIF PENGEMBANGAN SAYURAN DI LAHAN RAWA
Muhammad
Noor, Heru Sutikno dan Achmadi Jumberi
PENDAHULUAN
Pengembangan
komoditas hortikultura, termasuk sayuran secara nasional mengalami peningkatan
sejalan dengan kemajuan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan gizi. Kemampuan daya beli
dan gaya hidup masyarakat, khususnya di
perkotaan secara tidak langsung mendorong permintaan akan komoditas sayuran
yang semakin meningkat. Neraca perdagangan komoditas hortikultura atau sayuran
ini baik domestik, regional maupun global menunjukkan dinamika yang cukup
tinggi, tergantung pada banyak faktor
antara lain musim dan situasi pasar.
Produksi
hortikultura nasional berdasarkan data statistik yang terdiri atas sayuran,
buah-buahan dan tanaman hias dalam periode 1977-1999 masing-masing mencapai
7,67 juta ton, 7,65 juta ton, dan 1,12 juta ton. Total volume ekspor ke tiga jenis
hortikultura di atas masing-masing mencapai 101,73 ribu ton sayuran, 111,34
ribu ton buah dan 576,64 ton tanaman hias dengan nilai keseluruhan sekitar US $
90,045 juta. Tetapi dalam kesempatan yang sama kita juga mengimpor komoditas
hortikultura yang nilainya lebih tinggi mencapai sekitar US $ 157,22 juta. Di Kawasan Asia dibandingkan dengan negara
Cina, Thailand, dan Malaysia, kontribusi
Indonesia dalam perdagangan global
untuk komoditas hortikultura masih sangat rendah. Sasaran produksi
hortikultura tahun 2007 ditargetkan rata-rata mencapai 3-5% (Tabel 1).
Sayuran
merupakan komoditas pertanian yang dipandang penting sebagai sumber pertumbuhan
produksi baru. Peran penting dari komoditas ini antara lain (1) sebagai sumber
pendapatan bagi petani dan buruh tani, (2) sebagai sumber gizi dan mineral, dan
vitamin, dan (3) sebagai sumber devisi negara non migas. Namun demikian struktur agribisnis hortikultura (termasuk sayuran) saat ini masih tergolong dispersal atau tersekat-sekat (Simatupang 1995; Irawan, 2003).
Dengan kata lain tidak ada keterkaitan
fungsional antara kegiatan satu dengan lainnya karena masing-masing kegiatan
agribisnis mengambil keputusan sendiri-sendiri. Artinya masing-masing kegiatan
seperti pengadaan sarana produksi, kegiatan produksi, pengolahan hasil dan
pemsaranan serta kegiatan jasa penunjang lainnya dilakukan pelaku agribinis
yang berbeda dan tidak saling terintegrasi.
Pemasalahan dan kendala yang dihadapi pengembangan komoditas
hortikultura - mengacu pada sentra-sentra produksi antara lain adalah : (1)
pola usaha masih skala kecil dan tersebar – tidak adanya sistem perwilayahan
pengembangan dan sistem usaha tani bersifat sporadis, (2) lemahnya permodalan
petani – kegiatan budidaya, pasca panen, dan distribusi produk tergolong padat
modal dan siklus perputaran modal berjalan cepat, (3) rendahnya penguasaan teknologi
dari pembibitan, pembudidayaan,
penanganan panen dan pasca panen – sehingga produk dan kualitas hasil
belum mencapai standar baku, (4) belum
terjalinnya keserasian hubungan antara tingkat produksi pada daerah sentra
produksi dengan tingkat permintaan di pusat-pusat konsumsi, (5) belum
terbentuknya stabilitas harga – harga saat panen rendah dan penanganan pasca
panen belum terlaksana dengan baik, (6) pemasaran yang belum efisien, bagian
keuntungan yang diterima petani relatif rendah, dan adanya rantai tata niaga
yang cukup panjang, (7) kebijakan dan
strategi pemerintah yang disinsentif, dan (8) kebijakan pemerintah daerah yang
cenderung memproduksi berbagai komoditas sayuran untuk tujuan swasembada atau
pemenuhan daerah lain yang kurang menguntungkan dari segi pembangunan ekonomi
wilayah (Saptana et al., 2005).
Uraian berikut mengemukakan tentang perspektif pengembangan sayuran
secara umum dan khususnya di lahan rawa berdasarkan pada kajian aspek-aspek lahan dan lingkungan,
permintaan, produksi dan agribisnis, biaya dan pendapatan petani.
Tabel 1. Sasaran
produksi tanaman hortikultura utama tahun 2007
No
|
Komoditas
|
Sasaran
(x 1.000 ton)
|
Persen
Pertumbuhan
|
|
2006
|
2007
|
|||
I
|
Buah-buahan
|
|||
1
2
3
4
5
6
7
|
Pisang
Mangga
Jeruk
Durian
Pepaya
Nanas
Alpokat
|
4.856,9
1,794,8
1.676,3
890,5
704,5
780,6
317,6
|
5.225,0
1.925,6
1.735,5
967,6
747,6
825,7
339,8
|
7.58
7,29
3,53
8,66
6,13
5,78
6,97
|
II
|
Sayuran
|
|||
1
2
3
4
5
6
|
Kentang
Cabai
Bawang merah
Kubis
Tomat
Wortel
|
1.089,0
1.134,4
880,1
1.454,0
765,3
389,7
|
1.130,6
1.168,1
948,7
1.507,5
801,9
406,5
|
3.81
2,97
7,78
3,68
4,78
4,31
|
Sumber : Renstra Deptan 2005-2009 (Biro Perencanaan Deptan, 2006).
PERSPEKTIF PENGEMBANGAN SAYURAN DI LAHAN RAWA
1. Kajian Aspek
Lahan dan Lingkungan
Lahan
rawa dicirikan oleh genangan karena pengaruh gerakan pasang surut pada rawa
pasang surut dan genangan akibat pengaruh curah hujan dan banjir kiriman dari
daerah terestarial khususnya pada rawa lebak. Oleh karena itu maka pemanfaatan lahan rawa
untuk pengembangan sayuran memerlukan penataan lahan dan pengelolaan air. Penataan
lahan dengan model surjan memberikan peluang bagi pengembangan sayuran di lahan
rawa. Bentuk dan ukuran surjan
disesuaikan dengan sifat-sifat tanah fisik lingkungan seperti tipe luapan,
tipologi lahan dan tinggi genangan pada lahan rawa lebak serta kemampuan petani.
Pembuatan surjan dapat secara bertahap, khususnya apabila dimanfaatkan juga
untuk tanaman keras atau perkebunanan sehingga semakin besar tanaman semakin
diperlebar surjannya (Noor et al., 2006).
Lahan rawa mempunyai sifat marginal
dan rapuh (fragile) yang antara lain
mempunyai lapisan gambut dengan berbagai ketebalan. Budidaya sayuran di lahan gambut ini
tergantung pada pengelolaan air, tanah dan tanaman sayuran yang dibudidayakan.
Pada lahan gambut budidaya sayuran umumnya pada lahan gambut pasang surut tipe
C dan D dengan membuat bedengan dan
saluran-saluran kemalir. Pada lahan
gambut tebal atau gambut rawa lebak sayuran dibudidayakan pada musim kemarau
dengan membuat bedengan dan saluran-saluran kemalir secara sederhana. Budidaya sayuran di lahan gambut tebal di
Kalimantan Barat (sekitar 2 km dari Kota Pontianak) dan di Kalimantan Tengah
(Kelampangan sekitar 7 km dari Kota Palangka Raya) cukup berhasil. Kemampuan
dan pengetahuan petani dalam budidaya sayuran di lahan gambut ini cukup baik
dan menguntungkan (Lestari et al.,
2006; Alwi et al., 2006). Lahan rawa juga mempunyai lapisan senyawa pirit
(FeS2) dengan berbagai kedalaman. Senyawa pirit ini apabila
terekspose atau teroksidasi maka akan menghasilkan ion sulfat (SO4-2
dan hidrogen (H+) yang mengakibatkan terjadinya pemasaman tanah dan
air (pH 2-3). Pirit stabil dalam kondisi
anaaerob atau tergenang. Pada kondisi masam ini sebagian P dan K terjerap dan
tidak tersedia, sebaliknya ion-ion Al,
Fe dan Mn meningkat kelarutannya dalam tanah sehingga meracun tanaman. Sebaliknya pada kondisi anaerob H2S
dan Fe2+ (besi II) meningkat.
Pengelolaan air dan perbaikan tanah dalam pemanfaatan lahan rawa untuk budidaya
sayuran merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha tani di lahan rawa
(Alihamsyah, et al., 2003, Noor et al., 2006).
Tanaman
sayuran menghendaki pH 6-7 dan ketersediaan hara N, P, dan K yang cukup. Oleh
karena itu pemanfaatan lahan rawa untuk budidaya tanaman pertanian, termasuk sayuran
memerlukan bahan amelioran (seperti kapur atau dolomit, fosfat alam),
pupuk organik dan anorganik. Selain itu pada musim kamarau
diperlukan mulsa penutup muka tanah untuk mempertahankan lengas dan suhu tanah.
Lingkungan
rawa merupakan lingkungan yang dikenal mempunyai tingkat virulensi tinggi.
Hama, serangga, dan penyakit tanaman cukup tinggi sehingga memerlukan
pengelolaan hama dan penyakit terpadu apalagi tanaman sayuran sangat rentan
diserang oleh organisme pengganggu tanaman.
Pemilihan jenis komoditas dan varietas yang tahan baik terhadap kondisi
lahan maupun sebagai siasat menahan serangan hama dan penyakit tanaman
diperlukan untuk menghindari kegagalan dalam usaha tani di lahan rawa.
2. Kajian Aspek
Pemintaan
Permintaan
sayuran meningkat seiring dengan kemajuan pengetahuan dan kesadaran, serta
perbaikan sosial ekonomi masyarakat. Menurut Rachman (1997) konsumen dan permintaan
produk sayuran di Indonesia mempunyai ciri-ciri antara lain (1) konsumsi tetap/datar sepanjang tahun,
cenderung meningkat singkat pada hari-hari besar keagamaan, (2) tingkat
konsumsi sayuran per kapita (BPS, 1993) pada golongan pendapatan rendah masih
terbatas yaitu 25,8 kg/kapita/tahun, dan (3) terdapat kecenderungan peningkatan
konsumsi dengan meningkatnya pendapatan, (4) pusat yang potensial bagi
pengembangan hortikultura adalah pusat-pusat konsumsi yang berada di kota-kota
besar, dan (5) komditas sayuran yang dikonsumsi
masyarakat bervariasi tergantung pada harga komoditas, ketersedian dan
harga barang lain (sebagai substitusi atau komplementer), tingkat pendapatan,
dan preferensi masyarakat.
Dari 30 jenis sayuran yang dikonsumsi dari data tahun
1990, 1996 dan 2002 menunjukkan bahwa 50% jenis sayuran mengalami penurunan.
Beberapa komoditas dataran tinggi seperti kentang, tomat, dan cabai merah
mengalami peningkatan, masing-masing 0,5, 2,9, dan 1,6 % per tahun, sebaliknya
komoditas sayuran kubis mengalami penurunan 0,2 % per tahun. Pada kawasan rawa
konsumsi sayuran sangat erat hubungannya dengan kebiasaan dan adat masyarakat,
seperti pada umumnya masyarakat Kalimantan mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
cabai dan tomat untuk masakan sehari-hari, khususnya pada hari besar dan acara
besar keluarga seperti perkawinan.
Neraca
Bahan Makanan tahun 2002 menunjukkan bahwa sayur-sayuran yang berada di
Kalimantan Selatan hampir seluruhnya berasal dari produksi sendiri kecuali
kentang, kubis, wortel, bawang daun, bawang merah dan bawang putih yang
didatangkan (impor) dari propinsi lain. Sayur-sayuran yang
produksinya terbesar adalah kacang panjang 3,863 ton, cabe 3,357 ton, dan
terong 3,097 ton. Impor sayuran pada tahun 2001 mencapai 6.80 ton, yang terdiri
dari bawang merah sebanyak 2.503 ton, bawang putih 1,181 ton, kentang 549 ton,
kubis/ kol 1.149 ton, wortel 400 ton, cabe 1.002 ton, dan bawang daun 18 ton.
Ketersediaan sayur-sayuran di Kalimantan Selatan sebanyak 37.043 ton atau 11,65 kg per kapita
per tahun. Sedangkan rata-rata ketersediaan per jenis sayuran adalah 0,69 kg.
Hanya kacang panjang dan cabe yang lebih dari 1 kg per kapita per tahun, sedang
sayuran lainnya masih < 1 kg per kapita per tahun (BPS Kalimantan Selatan,
2003). Keadaan ini menunjukkan peluang
usahatani sayuran masih besar, terutama untuk jenis-jenis sayuran yang masih
diimpor tersebut yang sebagian besar dapat diusahakan di lahan rawa. Apalagi
dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat maka permintaan
terhadap sayuran dapat semakin meningkat sehingga diharapkan dengan
meningkatkan jumlah konsumen dan pendapatan dapat merangsang pasar sayur dalam
negeri (Rachman, 1997). Menurut FAO
selama tiga tahun (1999-2001) tingkat
konsumsi masyarakat terhadap sayur mengalami turun naik misalnya pada tahun
1999 sebesar 31,33 kg/kapita/tahun, pada tahun 2000 menjadi 29,39
kg/kapita/tahun, dan tahun 2001 menjadi 29,70 kg/kapita/tahun.
3. Kajian Aspek Produksi dan Agribisnis
Potensi
pengembangan sayuran masih terbuka luas dari segi lahan, teknologi budidaya,
pasca panen dan pengolahan. Terkait
dengan sifat dan watak lahan rawa maka produksi sayuran di lahan rawa sangat tergantung pada
keberhasilan dalam pengelolaan air, tanah dan tanamannya sebagaimana diuraikan
pada bab di atas.
Luas lahan rawa yang berpotensi untuk pengembangan
pertanian diperkirakan antara 9-10 juta hektar, sedangkan yang dibuka baru
sekitar 5 juta hektar dan yang dapat dimanfaatkan baru sekitar 2 juta
hektar. Sementara kebanyakan lahan rawa
dimanfaatkan untuk budidaya pertanian tanaman pangan (padi), dan secara
terbatas untuk tanaman sayuran. Secara keseluruhan tersedia lahan untuk
pengembangan hortikultura/sayuran mencakup pekarangan 5,55 juta hektar,
tegalan/huma 11,61 juta hektar, lahan tidak diusahakan 7,68 juta hektar, dan
lahan untuk kayu-kayuan seluas 9,13 juta hektar (Ditjen Bina Produksi
Hortikultura, 2001). Hasil penelitian di
lahan rawa pasang surut dan rawa lebak menunjukkan bahwa lahan rawa dapat
menghasilkan sayuran dengan
produktivitas cukup tinggi apabila dikelola dengan baik (Tabel 2).
Pangsa
produksi sayuran di Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 8,2 milyun
ton. Sekitar 56% (4,6 milyun ton) merupakam hasil produksi
komersial dan sisanya 44% (3,7 milyun ton) hasil produksi
rakyat/tidak bersifat komersial. Produksi sayuran komersial bertambah
kira-kira 7,0% per tahun dan hasil produksi keseluruhan diperkirakan .mencapai
9,0 milyun ton pada tahun 2005.
Permintaan sayuran tahunan dari
produksi komersial diperkirakan meningkat 7% masing-masing 2% dari akibat pertambahan
jumlah penduduk, 3,5% dari akibat peningkatnya pendapatan dan 1,5% dari akibat
urbanisasi perkotaan. Permintaan sayuran yang bertambah ini menuntut pentingnya
penambahan produksi (Subhan, 2005).
Tabel 2. Jenis dan
varietas tanaman hortikultura yang cocok dibudidayakan di lahan rawa pasang
surut dan rawa lebak
Jenis tanaman
|
Varietas
|
Hasil (t/ha)
|
Tomat
|
Intan, Permata, Berlian, Mirah, AV-22, Ratna
|
10-16
|
Cabai
|
Tanjung-1, Tanjung-2, Hot Chili,
Barito, Bengkulu, Tampar, Keriting, Rawit Hijau dan Putih
|
9-18
|
Terong
|
Mustang, Kopek Ungu, Ungu Panjang, No. 4000
|
17-40
|
Kubis
|
KK Cross, KY Cross
|
20-32
|
Kacang panjang
|
Super King,
|
15-28
|
Buncis
|
Horti-1, Horti-2, Lebat, Prosessor,
Farmer Early, Green Leaf
|
6-8
|
Timun
|
Saturnus, Mars, Pluto, Hercules,
Venus
|
23-40
|
Sawi
|
Asveg#1, Sangihe, Talaud, Tosakan,
Putih Jabung, Sawi Hijau, Sawi Huma, No. 82-157
|
10-20
|
Slada
|
New
|
9-15
|
Bayam
|
Maestro, Giti Hijau dan Merah,
Cimangkok, Kakap Hijau
|
10-12
|
Kangkung
|
LP-1, LP-2, Sutera
|
25-30
|
Lobak
|
Grand Long
|
50-85
|
Pare
|
Siam, Maya
|
17-18
|
Semangka
|
Agustina, New Dragon, Sugar Baby
|
10-25
|
Melon
|
Monami Red, Sky Rocket
|
14-18
|
Sumber : Alihamsyah et
al. (2003) dan Hilman et al.
(2003).
4. Kajian Aspek Biaya dan Pendapatan
Biaya dan
pendapatan petani dalam budidaya sayuran
di lahan rawa sangat beragam, tergantung pada teknologi budidaya dan
pengelolaan tanah, air dan tanamannya. Pemilihan komoditas untuk
mendapatkan nilai pendapatan yang memadai perlu diarahkan pada multikomoditas
atau diversifikasi usaha tani. Komoditas unggulan karena nilai ekonomis yang
tinggi merupakan pilihan yang utama.
Pengembangan lahan rawa yang hanya menitik beratkan pada komoditas
pangan (misalnya padi saja) tidak akan dapat meningkatkan kesejahteraan petani
mengingat nilai tukar padi masih rendah sementara biaya usahatani meningkat
terus. Diversifikasi dengan memasukan komoditas sayuran dalam sistem usaha tani
terpadu di lahan rawa memberi peluang tambahan pendpatan bagi petani.
Sayuran
merupakan komoditas yang dapat diusahakan pada semua jenis tipologi lahan rawa,
kecuali pada tipologi lahan rawa lebak dalam. Pola
usahatani sayuran di lahan rawa sangat
beragam tergantung dengan tipologi lahan
dan tipe luapan pasang. Pada lahan pasang surut tipe B, tomat dan cabai
merupakan tanaman yang paling berpotensial setelah nenas. Pada lahan rawa lebak dangkal cabai
memperlihatkan efisiensi tertinggi (R/C = 3,70) dan lebih kompetitif dibandingkan
dengan padi unggul. Sedangkan pada lebak
tengahan labu kuning paling efisien (R/C = 4,40) dan lebih kompetitif dibandingkan
dengan sayuran lainnya terhadap padi unggul.
Pada lahan gambut bawang daun lebih efisien dibandingkan dengan sayuran
lainnya (R/C = 3,36) Usahatani sayuran
di lahan gambut memberikan kontribusi yang tertinggi (83 %) terhadap total
pendapatan petani pertahun dibandingkan dengan usahatani sayuran di lahan
sulfat masam (0,34 %) dan lahan lebak dangkal (8,64 %) serta lebak tengahan
(32,13 %) (Noorginayuwati dan Rina, 2006).
Peluang
perkembangan usahatani sayuran di lahan rawa ini ke depan perlu mendapat
perhatian sebagai alternatif atau
pengganti lahan subur di Jawa yang terus mengalami alih fungsi.
PENUTUP
Peluang
pengembangan dan agribisnis sayuran di lahan rawa terbuka luas baik dari segi
aspek lahan dan lingkungan serta teknologi produksi. Permintaan sayuran terus meningkat sehingga
peningkatan produksi diperlukan dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri
dan menekan semakin gencarnya impor.
Peningkatan
produksi dan pengembangan agrbisnis sayuran di lahan rawa memerlukan perangkat kelembagaan
pemasaran dan keuangan yang sementara ini masih belum tersedia. Penguatan
kelembagaan di tingkat petani diperlukan untuk meningkatkan daya tawar dan
pembagian keuntungan yang selama ini lebih banyak jatuh ke tangan
pedagang. Struktur agribisnis
hortikultura (termasuk sayuran) perlu
dikembagkan ke arah terpadu (integrated) sehingga lebih efisien dan
menguntungkan
Peluang
perkembangan usaha tani sayuran di lahan rawa ini perlu mendapat perhatian
sebagai alternatif untuk mengimbangi kemerosotan yang di alami
Pulau Jawa yang selama ini sebagai pemasok utama sayuran secara nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Alihamsyah, T. M.
Sarwani, A.Jumberi, I. Ar-Riza, I. Noor,
dan H. Sutikno 2003. Lahan Rawa Pasang Surut : Pendukung Ketahanan Pangan dan
Sumber Pertumbuhan Agribisnis. Balittra. Banjarbaru. 53 halaman.
Alwi, M, Y. Lestari, dan M. Noor, 2006. Teknologi
budidaya sayuran di lahan gambut. Dalam M.
Noor, I. Noor dan SS. Antarlina (eds). Budidaya Sayuran
di Lahan Rawa : Teknologi Budidaya dan Peluang Agribisnis. Monograf Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa. Banjarbaru
Hilman, Y, A. Muharam dan A. Dimyati. 2003. Teknologi agro-produksi dalam pengelolaan
lahan gambut. Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Pertanian Lahan Gambut,
Pontianak, 15-16 Desember 2003.
Irawan, B. 2003. Agribisnis hortikultura: peluang dan
tantangan dalam era globalisasi. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian, Deptan. Bogor.
Lestari, Y., M. Alwi dan M. Noor, Prospek dan kendala
budidaya sayuran di lahan gambut: Hasil pengalaman dan penelitian di Kalimantan.
Makalah disajikan pada Seminar
Nasional Ketahanan Pangan : Membangunan Ketahanan Pangan Berbasis Sumberdaya
Lokal, Palangka Raya, 03-04 November
2006. BPTP Kalimantan Tengah. Palangka
Raya
Noorginayuwati dan Rina. 2006. Sistem usahatani berbasis sayuran di lahan rawa.
Dalam M. Noor, I. Noor dan SS. Antarlina (eds). Budidaya Sayuran di Lahan Rawa : Teknologi Budidaya dan Peluang
Agribisnis. Monograf Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
Noor, M. . Achmadi
dan K. Anwar 2006. Peranan lahan rawa pasang surut dalam
mendukung ketahanan pangan dan diversifikasi pertanian di Kalimantan Selatan.
Pros. Seminar Nasional PERAGI : Peran PERAGI dalam revitalisasi pertanian
bidang pangan dan perkebunan. Peragi
Pusat dan Komda DIY dengan Fakultas . Pertanian UGM. Yogyakarta .
Hlm 74-83.
Noor, M., Mukhlis,
dan Achmadi. 2006. Pengelolaan
sumber daya lahan rawa dalam
perspektif pengembangan inovasi teknologi pertanian. Makalah disajikan pada Seminar
Nasional Sumber Daya Lahan dengan tema
: Staretegi Pemanfaatan dan Pengelolaan
Sumberdaya Lahan Pertanian Berbasis Iptek, 14-15 September 2006 di Bogor
Rachman, HPS. 1997. Aspek permintaan, penawaran dan tata niaga
hortikultura di Indonesia. Forum Penelitian Agroekonomi
Vol 15:1 dan 2. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang pertanian,
Deptan. Bogor.
Saptana, M. Siregar, S. Wahyubi, S.K. Dermoredjo, E.
Ariningsih, dan V. Darwis. 2005. Pemantapan Model Pengembangan Kawasan
Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS). Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan
Litbang Pertanian, Deptan. Bogor. 232 hlm.
Simatupang, P. 1995. Industrialisasi pertanian sebagai
strategi agribisnis dan pembangaun pertanian dalam era globalisasi. Orasi
Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan
Litbang Pertanian, Deptan. Bogor.
Subhan.
2005. Teknologi inovatif tanaman sayuran
menunjang keterpaduan usaha pertanian. Makalah
Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering.
Banjarbaru, Kalimantan Selatan. 6
Desember 2005.
________________
Keterangan: Tulisan
ini merupakan bagian dari Buku Monograf : Budidaya Sayuran
di Lahan Rawa - Teknologi Budidaya dan Peluang Agribisnis. 2006. Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru
2 komentar:
mantap.....
ada tempa download? saya sangat butuh
Posting Komentar