SEJARAH PEMBUKAAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN DI INDONESIA
ABSTRAK
Lahan
gambut memiliki sejarah panjang dari masa sebelum kolonial sampai era
moratorium (2011-sekarang). Pemanfaatan lahan gambut berevolusi dari hanya
sekedar untuk pemenuhan hidup sehari-hari dari
pemanfaatan hanya beberapa borong
berubah menjadi lahan usaha tani dengan skala usaha beberapa hektar, seterusnya
menjadi usaha perkebunan komersial dengan skala ratusan hektar dan kemudian
menjadi suatu usaha agribinis modern dengan skala ribuan hektar. Pembukaan
lahan gambut dimulai dari sistem handil
atau parit kongsi oleh maysarakat
setempat di Kalimantan, Sumatera dan
Sulawesi dengan skala puluhan hektar, berkembang menjadi skala skim dengan sistem anjir, system garpu, dan
sistem sisir dengan luas pengembangan
antara ribuan hektar, dan seterusnya sampai skala rice estate mega proyek dengan luas jutaan hektar. Berawal dari
dikenal secara tidak sengaja, kemudian berkembang menjadi lahan untuk budidaya
pertanian dan sekarang diwacanakan perlu rehabilitasi dan restorasi untuk
kepentingan lingkungan. Sejarah pembukaan lahan gambut, berdasarkan waktu, cara
dan luas daerah yang dikembangkan dapat dibagi dalam 3 (tiga) era, yaitu (1)
era periode 1945-1960an, (2) era periode
1969-1995an dan (3) era periode 1995-2000an. Mengingat potensi dan fungsi
lahan rawa dan gambut juga berkaitan dengan kekhasan keanekaragaman hayati dan
sumber plasma nutfah yang dikandungnya,
maka pengembangan dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan
perlu mengintegrasikan antara aspek fungsi produksi, fungsi lingkungan dan
sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya. Potensi
lahan gambut yang maha luas dan sumber daya manusia Indonesia yang cukup besar
merupakan modal utama yang sangat memungkinkan, selain kondisi lingkungan dan
perkembangan teknologi yang menjadi pendukung sudah cukup tersedia.
Pengembangan pertanian di lahan gambut dapat dipilah berdasarkan jenis komoditas
yaitu : (1) tanaman semusim/pangan, (2) tanaman tahunan/perkebunan, (3) tanaman
campuran (mix farming).
_____________________________________________________________
Makalah Penunjang disajikan
pada Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan, 4 April 2012 di Balai
Besar Litbang Sumberdaya Lahan Bogor.
PENDAHULUAN
Perhatian pada lahan gambut sudah dimulai berabad-abad silam, terlebih
pada lahan gambut. Menurut Nugroho
(2012) penyidikan terhadap lahan gambut sebagai salah satu tipologi lahan rawa di
Indonesia telah dimulai sejak tahun 1860an oleh Bernelot Moens, disusul oleh John
Anderson pada tahun 1700an, Wichmanp, Koorders dan Potonie pada tahun 1900an.
John Anderson (1974) mengemukakan tentang keberadaan tanah gambut, di sekitar
Riau. Bernelot Moens (1864) mengemukakan tentang penemuan dari seorang kapten
angkatan darat Meyer yang melaporkan adanya gambut yang dapat digunakan sebagai
bahan bakar di sekitar Siak Indrapura, Riau. Koorders yang menggiring ekspedisi
Ijzerman melintasi Sumatera tahun 1865 melaporkan penyebaran gambut sangat
luas, hampir mencapai 1/5 total luas pulau Sumatera yang berupa hutan rawa
sepanjang pantai timur pulau Sumatera (Soepraptohardjo dan Driessen, 1976).
Setelah merdeka, beberapa peneliti Belanda masih bekerja di Indonesia,
diantaranya Polak, Druif, dan Schophuys Kemudian setelah tahun 1965, yaitu awal
Pelita I, pemerintah melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S)
(1969-1984) mulai melaksanakan pembukaan secara besar-besaran lahan pasang
surut di Sumatera (Lampung, Sumsel, Riau dan Jambi) dan Kalimantan (Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan) dengan melibatkan pihak
perguruan tinggi sekaligus melakukan penelitian. Pada tahun 1971-1981 Driessen
yang bekerja di Lembaga Penelitian Tanah
(sekarang menjadi Balai Penelitian
Tanah) banyak melakukan kunjungan ke banyak daerah gambut antara
lain Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Riau, Jambi,
bahkan sampai Sarawak di Kalimantan dan Selangor di Semenanjung Malaysia
(Nugroho, 2012).
Walaupun pengenalan lahan gambut sejak lama, tetapi pembukaan lahan
gambut secara terencana dan intensif baru mulai dilakukan seiring dengan adanya
Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) yang merencana pembukaan 5,25
juta hektar untuk mendukung peningkatan penyediaan pangan nasional dan program
transmigrasi. Pemanfaatan lahan gambut
berevolusi dari hanya sekedar untuk pemenuhan hidup sehari-hari dari pemanfaatan hanya beberapa borong oleh maysarakat setempat berubah
menjadi lahan usaha tani dengan skala luas beberapa hektar, seterusnya menjadi
usaha perkebunan komersial dengan skala ratusan hektar bahkan suatu usaha
agribinis modern dengan luas ribuan hektar.
Pembukaan lahan gambut dimulai dari sistem handil atau parit kongsi dengan skala puluhan hektar, berkembang menjadi skala skim dengan sistem anjir, sistem garpu, atau
sistem sisir dengan luas pengembangan
antara 2-10 ribu hektar, dan seterusnya skala rice estate mega proyek (PLG) dengan luas 1 juta hektar. Berawal dari dikenal secara tidak sengaja,
kemudian berkembang menjadi lahan untuk budidaya pertanian dan sekarang
dihentikan sementara pembukaannnya (Moratorium INRES 10/2011). Tulisan ini mengemukakan
tentang sejarah pembukaan dan pengembangan lahan gambut. Mengingat potensi dan fungsi lahan rawa dan
gambut juga berkaitan dengan kekhasan keanekaragaman hayati dan sumber plasma
nutfah yang dikandungnya, maka pengembangan
dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan perlu mengintegrasikan antara
aspek fungsi produksi, fungsi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat
sekitarnya.
SEJARAH PEMBUKAAN LAHAN
GAMBUT
Pembukaan dan pengembangan lahan gambut dapat diruntut dari
abad ke 13 pada era Kerajaan Majapahit. Raja Prabu Jaya sebagai keturunan Raja
Brawijaya dari Kerajaan Majapahit pada zamannya dicatat telah mengadakan
ekspansi dengan pembukaan lahan gambut untuk pemukiman dan pertanian di daerah
aliran Sungai Pawan, Kalimantan Barat. Kemudian dilanjutkan oleh pemerintah
Belanda yang tercatat pada tahun 1920an telah melakukan kolonisasi (sekarang
disebut dengan transmigrasi) dengan menempatkan orang Jawa di rawa-rawa gambut Kalimantan
tepatnya daerah Tamban dan Serapat serta pembukaan lahan gambut jalan sepanjang
40 km dari Banjarmasin-Martapura (Aluh-aluh, Kurau, Gambut). Waktu itu
orang-orang Jawa “dipaksa” untuk membuka lahan rawa atau gambut secara konvensional dan menanaminya dengan
tanaman kelapa dan karet.
Setelah Indonesia merdeka mulailah dilakukan survei-survei
investigasi dan pendataan tentang rawa dan gambut yang lebih rinci, tetapi
masih dibantu oleh beberapa tenaga ahli Belanda yang masih menetap di
Indonesia, antara lain Schophuys (1952) yang telah mempromosikan sistem polder
untuk pengembangan lahan rawa. Sejarah
pengembangan rawa dan atau gambut, berdasarkan waktu dan cara serta luas
wilayah yang dikembangkan dapat dibagi dalam 3 (tiga) era, yaitu (1) era periode
1945-1960an, (2) era periode 1969-1995an
dan (3) era periode 1995-2000an.
Era Periode
1945-1960an
Pembukaan rawa pertama di
Indonesia digagas oleh Ir. Pangeran Mohammad Noor yang menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (1956-1958) yang disebut dengan Proyek Dredge, Drain and Reclamation, yaitu
menghubungkan dua sungai besar dengan membangun kanal sehingga akses ke lahan
rawa dapat mudah dilakukan. Gagasan ini pada awalnya direncanakan meliputi
pembuatan kanal (anjir) antara Banjarmasin-Pontianak (760 km) dan
Palembang-Tanjung Balai (850 km). Namun kemudian berhasil hanya dibangun beberapa
saja dari yang direncanakan antara lain yang
menghubungkan Sungai Barito (Kalimantan Selatan) dengan Kapuas Murung
(Kalimantan Tengah) yaitu meliputi Anjir Serapat (28,5 km), Anjir Tamban (25,3
km), dan Anjir Talaran (26 km); antara Sungai Kahayan dengan Sungai Kapuas
Murung (Kalimanyan Tengah) yaitu Anjir Basarang (24,5 km), Anjir Kelampan (20
km), dan beberapa anjir lainnya di Sumatera dan Kalimantan Barat (Gambar 1). Anjir
pertama dibangun adalah anjir Serapat yang pada awalnya digali dengan tangan
pada tahun 1886, kemudian direhabilitasi dengan penggalian kembali menggunakan
kapal keruk pada tahun 1935.
Gambar 1. Sistem anjir yang
dibangun di Kalimantan Seletan
Dengan dibangunnya anjir
tersebut berkembang pembukaan lahan dengan sistem handil yaitu sistem jaringan tata air yang dibuat
dari tepian sungai masuk ke pedalaman dengan ukuran lebar 2-3 meter, dalam
0,5-1,0 meter, dan panjang 2-3 km. Jarak antar handil 200-300 meter (Gambar 2). Adakalanya antar handil dihubungkan dengan saluran handil atau parit lainnya sehinga menyerupai susunan sirip ikan atau
susunan tulang daun nangka. Ribuan handil dibangun masyarakat rawa Kalimantan
Selatan, umumnya diberi nama ketua kelompok atau orang
yang dituakan yang menginisiasi pembuatan handil tersebut atau diberi nama lokasi/daerah tersebut misalnya Handil Haji Ali, Handil Banyiur,
Handil Barabai dan
lain sebagainya. Pada era ini wilayah
rawa yang berkembang hanya di sekitar sepanjang anjir menjorok masuk 2-3 km
sebatas kemampuan masyarakat membuat handil masuk ke dalam. Namun handil-handil
yang dibuat masyarakat sekarang telah bertambah panjang mencapai 5-10 km masuk
dari muara anjir.
Gambar
2. Sistem handil
Pada masa yang bersamaan Prof. Dr. Schophuys (1952) mulai
merencanakan pembangunan polder di daerah lebak Alabio, pada Daerah Aliran
Sungai (DAS) Negara - Anak Sungai Barito, Kalimantan Selatan seluas 6.500-7.000
hektar dan polder daerah pasang surut Mentaren, tepian Sungai Kahayan,
Kalimantan Tengah seluas 3.000 hektar dan beberapa poldr lainnya di Sumatera.
Pembangunan polder, khususnya polder Alabio tersebut di atas menghadapi banyak
kendala selain fisik juga masyarakat yang menjebol tanggul hingga sampai tahun
1972 dilakukan pemberhentian pembiayaan. Sejak 2010 pembangun polder Alabio
tersebut kemudian dilanjutkan lagi dengan perbaikan dan penambahan bangun air
dan saluran-saluran serta rumah pompa.
Era Periode 1969-1995an
Kondisi
pangan yang sangat memprihatinkan pada dekade 1970, dimana pemerintah telah
mengimpor beras sekitar 2 juta ton beras sehingga cukup menguras devisa Negara. Oleh karena itu
pemerintah orde baru waktu itu berupaya sedemikian rupa untuk meningkatkan
ketersediaan pangan, yaitu dengan salah satunya pembukaan lahan rawa yang
direncanakan sekitar 5,25 juta hektar untuk sekaligus mendukung program peningkatan
penyediaan pangan bersamaan dengan program transmigrasi dalam waktu 15 tahun. Dilaksanakanlah
Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) di bawah koordinasi Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik yang dijabat oleh Prof. Dr. Ir. Sutami. Dalam proyek ini telah berhasil dibuka
sekitar 1,24 juta hektar lahan rawa yang terdiri atas 29
skim/jaringan tata air sistem garpu
di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dan 22 skim/jaringan sistem sisir
di Sumatera dan Kalimantan Barat (Gambar 3 dan 4). Beberapa daerah rawa yang
telah dibangun ini telah berkembang menjadi kota-kota kabupaten, kecamatan
bahkan kota provinsi yang menjadi sentra produksi pertanian dan pusat-pusat
pertumbuhan. Sampai
tahun 1995, luas lahan rawa yang telah dibuka 1,18 juta hektar oleh pemerintah
dan 3,0 juta hektar oleh masyarakat setempat secara swadaya. Dari keseluruhan
luas lahan yang dibuka oleh pemerintah dimanfaatkan untuk sawah 688,740 hektar, tegalan 231,040 hektar dan 261,090 hektar
untuk lain-lain, termasuk untuk perikanan atau budidaya tambak. Sementara lahan
rawa yang dibuka masyarakat setempat umumnya untuk pengembangan tanaman padi
atau sawah dan perkebunan rakyat (Balittra, 2001; Noor, 2004). Diantaranya daerah yang dibuka diatas dikenal sebagai lahan
gambut dan komoditas yang dibudiayakan disajikan pada Tabel 1. Diantara daerah
yang dikenal bermasalah kemudian antara lain Air Sugihan, Rantau Rasau, Pangkoh sehingga para transmigrasinya direlokasikan
ke tempat lain.
Tabel 1. Lokasi
(UPT) lahan gambut yang dibuka untuk transmigrasi 1970-1995
No
|
Provinsi
|
Nama
UPT/Lokasi
|
Pola/Komoditas
|
1
|
Sumatera Selatan
|
Karang Agung, Delta Upang, Air
Saleh, Air Sugihan, Air Telang, Pulau Rimau
|
Tanaman Pangan
|
2
|
J a m b i
|
Sungai Bahar, Rantau Rasau, Lagan
Hulu
|
Perkebunan dan Tanaman Pangan
|
3
|
R i a u
|
Pulau Burung, Gunung Kaleman,
Delta Reteh, Sungai Siak
|
Perkebunan
|
4
|
Sumatera Barat
|
Lunang
|
Tanaman Pangan
|
5
|
Kalimantan Selatan
|
Tamban, Sakalagun
|
Tanaman Pangan
|
6
|
Kalimantan Barat
|
Rasau Jaya, Padang Tikar, Teluk
Batang, Sei Bulan
|
Tanaman Pangan
|
7
|
Kalimantan Tengah
|
Pangkoh/Pandih Batu, Kanamit,
Kantan, Talio, Maliku, Basarang, Sebangau, Seruyan, Lamunti (eks PLG Blok A)
|
Tanaman Pangan dan
Perkebunan
|
Sumber : diadopsi dari Noor (2011)
Gambar 3. Sistem garpu
Gambar 4. Sistem sisir
Era Periode 1996-2000an
Masalah pangan
kembali menjadi perhatian seiring dengan impor yang cukup besar pada tahun
1995. Impor beras Indonesia meningkat sejak tahun 1990an, padahal
sebelumnya (1985) diakui oleh Badan Pangan Dunia (FAO) berhasil
swasembada pangan. Indonesia ingin menjadi “gudang pangan dunia” maka Presiden
Soeharto meminta Menteri Pekerjaan Uumum yang
dijabat oleh Dr. Radinal Muchtar dan menteri terkait lainnya untuk menyusun
pembukaan sejuta hektar lahan rawa yang dikenal dengan Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar (Mega Rice Estate Project) di Kalimantan Tengah (1995-1999) dengan
menerapkan Sistem Tata Air Satu Arah (Gambar 5). Namun proyek ini mengalami
banyak hambatan yang sempat dihentikan tahun 1999 dan kemudian dilanjutkan
kembali secara bertahap sejak tahun 2007-2011 (Inpres No2/2007). Pemerintah
provinsi Kalimantan Tengah merencanakan kerjasama dengan pemerintah Australia
untuk membuka kembali sekitar 100 ribu hektar lahan PLG di atas menjadi rice estate.
Gambar 5. Sistem jaringan saluran tata air PLG Sejuta
Hektar
Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah semakin luasnya
lahan bongkor atau lahan tidur di
daerah rawa yang diperkirakan mencapai 600-800 ribu hektar. Hampir 50% dari
lahan yang dibuka pada kawasan PLG Kalimantan Tengah juga terancam menjadi
lahan tidur. Sebagian besar jaringan
tata air yang telah dibangun pada periode 1970-1995 sudah banyak yang mengalami
kemunduran dan kerusakan, termasuk di kawasan PLG yang rusak karena pencurian
terhadap besi-besi dan kayu-kayu penyusun bangunan air yang dilakukan
masyarakat.
Berbeda dengan lahan irigasi, dimana air dapat diatur
semaunya, maka di lahan rawa air yang mengatur kita. Oleh karena itu, apabila
keliru dalam perkiraan musim tidak
jarang akan mengalami gagal panen. Pengembangan lahan rawa tidak lebih adalah
pekerjaan mengatur air sehingga diperlukan pembuatan saluran atau kanal,
tanggul, pintu air, tabat dan sebagainya yang bertujuan agar ketersediaan air
buat tanaman dapat terpenuhi dan sekaligus lahan dapat mempertahankan kebasahan
tanahnya. Kekeringan di lahan rawa dapat
menurunkan produktivitas lahan akibat berubahnya sifat dan watak tanah setelah
deraan kekeringan.
SEJARAH
PENGEMBANGAN PERTANIAN Di LAHAN GAMBUT
Pembukaan lahan gambut
dimulai dari sistem handil dengan
skala puluhan hektar, berkembang menjadi skala skim dengan sistem anjir,
sistem garpu, dan sistem sisir dengan luas pengembangan antara
ribuan hektar, dan seterusnya skala rice
estate mega proyek dengan luas sejuta hektar yang dikemukakan di atas. Berawal dari dikenal secara tidak sengaja,
kemudian berkembang menjadi lahan untuk budidaya tanaman pertanian/perkebunan
dan sekarang dihentikan pembukaannya (moratorium). Mengingat potensi dan fungsi lahan rawa dan gambut
juga berkaitan dengan kekhasan keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah
yang dikandungnya, maka pengembangan dan
pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan perlu mengintegrasikan antara
aspek fungsi produksi, fungsi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat
sekitarnya.
Pembangunan dan pengembangan lahan
gambut untuk pertanian berjalan seiring dengan komitmen pemerintah. Pengembangan
lahan rawa dan atau gambut sebagai lumbung pangan dan energi untuk masa depan
sangat strategis, meskipun barangkali tidak sedikit perbaikan yang diperlukan baik
fisik maupun non fisik, termasuk sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang
harus dibenahi dan ditumbuhkembangkan. Potensi lahan gambut yang maha luas dan
sumber daya manusia Indonesia yang cukup besar merupakan modal utama yang
sangat memungkinkan, selain kondisi lingkungan dan perkembangan teknologi yang
menjadi pendukung sudah cukup tersedia. Pengembangan pertanan di lahan gambut
dapat dipilah berdasarkan komoditas yaitu : (1) tanaman semusim (pangan), (2)
tanaman tahunan (perkebunan), dan (3) tanaman campuran (mix farming).
Pembukaan lahan gambut sejak awal ditujukan untuk mendukung
kebijakan nasional tentang peningkatan produksi pangan sehingga secara umum
peruntukan lahan seluas 2,25 hektar dibagi untuk pekarangan 0,25 hektar
ditanami padi, palawija, sayuran dan hortikultura, 1 hektar lahan usaha tani I
ditanami tanaman semusim utamanya padi atau palawija, dan 1 hektar lahan usaha
tani II ditanami tanaman tahunan. Dalam
perkembangannya beberapa daerah yang dibuka seperti Pangkoh (Kalteng), Rasau
Jaya (Kalbar), Siak (Riau), Wendang (jambi), dan Air Sugihan (Sumsel)
dilaporkan kurang berhasil pada awal-awalnya diantaranya karena sebagian
gambut tebal > 3 m, pada substratum
bawah didapati lapisan pirit atau pasir, dan intrusi air laut pada musim
kemarau sehingga dilakukan relokasi bagi transmigran yang terlanjut menempati
ke tempat yang lebih baik. Namun sebagian daerah dari lahan gambut yang dibuka
ini berkembang dengan baik dan maju
sehingga menjadi sentra produksi padi dan atau perkebunan seiring dengan
penipisan gambut, pematangan tanah, dan perbaikan tata airnya seperti Delta
Upang (Sumsel), Silaut Lunang (Sumbar), Pulau Burung (Riau), Suryakanta dan
Gambut-Kertak Hanyar (Kalsel).
Hasil
survei dan penelitian Balittra (2007) menunnjukkan bahwa pemanfaatan gambut
sangat beragam dan sangat ditentukan atau dibatasi oleh pemahaman, pengalaman,
atau persepsi petani dan masyarakatnya. Masing-masing suku (etnis) yang tinggal
dan hidup di lahan gambut mempunyai persepsi dan cara-cara yang berbeda dalam
memanfaatkan gambut sebagai sumber daya lahan pertanian, termasuk para
pendatang dari etnis Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Bali dan lainnya yang
mempunyai kebiasaan usaha tani di lahan kering memandang lahan gambut
berbeda-beda. Misalnya, petani suku
Banjar memandang lahan gambut cocok untuk ditanami padi sawah, tetapi petani
suku Jawa yang umumnya sebagai pendatang memandang lahan gambut cocok untuk
ditanami palawija dan sayur-sayuran.
Demikian juga suku-suku lainnya, seperti suku Bugis berpendapat bahwa
lahan gambut lebih tepat ditanami padi sawah, nenas dan kelapa seperti di Riau
dan Kalimantan Timur, suku Dayak di Kalimantan Tengah berpendapat bahwa lahan
gambut lebih cocok ditanami padi ladang, karet, rotan, jelutung, nibung atau
sagu dan buah-buahan seperti durian atau cempedak. Lain lagi, dengan suku Bali
yang bermukim di Kalimantan memandang
lahan gambut cocok untuk buah-buahan seperti nenas, cempedak berbeda dengan di
Sulawesi Barat mereka memandang lahan gambut cocok untuk tanaman jeruk dan
cokelat. Orang-orang Cina di Kalimantan Barat umumnya memandang lahan gambut
lebih tepat untuk ditanami sayuran daun seperti sawi, ku cai (sejenis bawang
daun), seledri, dan lidah buaya. Sementara suku Melayu di Riau memandang lahan
gambut cocok ditanami nenas, kelapa,
karet atau kelapa sawit. Gambar 6 dan 7 di bawah menunjukkan keragaan berbagai
tanaman pangan, sayuran dan hortikultura di lahan gambut pada berbagai lokasi
di Kalimantan, Sumatera,dan Sulawesi.
Dalam
sepuluh tahun terakhir ini perkembangan perkebunan, khususnya kelapa sawit
berkembang sangat pesat di lahan rawa, khususnya lagi lahan gambut sehingga
pemerintah perlu membatasi dengan terbitnya Permentan N0 14/2009 dan dilanjti
kemudian Inpres No 10/2011. Diperkirakan 20% (1,5 juta hektar) perkebunan
kelapa sawit yang ada sekarang menempati lahan gambut (Gambar 8). Fakta ini menunjukkan
bahwa lahan gambut dapat dikembangkan sebagai lahan pertanian dengan jenis
komoditas yang beragam. Hanya saja diperlukan cara pengelolaan dan pengembangan
yang seharusnya memperhatikan sifat dan kelakuan dari gambut yang sangat spesifik
seperti mudah amblas, mudah kering, dan mudah rusak selain memerlukan asupan
yang cukup tinggi untuk mencapai produktivitas yang optimal.
Gambar 6.
Tanaman kacang tanah, padi, sayuran ku cai, jagung tumpang sari dengan jeruk
di lahan gambut Lamunti (Kalteng),
Pontianak (Kalbar) dan Mamuju Utara
(Sulbar) (Dok M. Noor
dkk/Balittra, 2008).
Gambar 7. Keragaan tanaman lidah buaya (Aloe sp), nenas, pisang dan pepaya di lahan gambut/bergambut Kalbar,
Sulbar, dan Kalteng (Dok M. Noor
dkk/Balittra, 2008).
Gambar
8. Keragaan tanaman karet dan kelapa
sawit di lahan gambut Kalteng, Kalbar, dan Kalsel (Dok M. Noor dkk/Balittra, 2008).
PENUTUP
Pemanfaatan lahan gambut berevolusi dari hanya sekedar
untuk pemenuhan hidup sehari-hari dari
pemanfaatan hanya beberapa borong
berubah menjadi lahan usaha tani dengan skala usaha beberapa hektar, seterusnya
menjadi usaha perkebunan komersial dengan skala ratusan hektar dan kemudian
menjadi suatu usaha agribinis modern dengan skala ribuan hektar. Pembukaan
lahan gambut dimulai dari sistem handil
atau parit kongsi oleh maysarakat
setempat di Kalimantan, Sumatera dan
Sulawesi dengan skala puluhan hektar, berkembang menjadi skala skim dengan sistem anjir, system garpu, dan
sistem sisir dengan luas pengembangan
antara ribuan hektar, dan seterusnya sampai skala rice estate mega proyek dengan luas jutaan hektar.
Sejarah pembukaan lahan gambut, berdasarkan waktu, cara dan
luas daerah yang dikembangkan dapat dibagi dalam 3 (tiga) era, yaitu (1) era
periode 1945-1960an, (2) era periode
1969-1995an dan (3) era periode 1995-2000an. Mengingat
potensi dan fungsi lahan rawa dan gambut juga berkaitan dengan kekhasan
keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah yang dikandungnya, maka pengembangan dan pengelolaan lahan
gambut secara berkelanjutan perlu mengintegrasikan antara aspek fungsi
produksi, fungsi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya. Potensi lahan gambut yang maha luas
dan sumber daya manusia Indonesia yang cukup besar merupakan modal utama yang
sangat memungkinkan, selain kondisi lingkungan dan perkembangan teknologi yang
menjadi pendukung sudah cukup tersedia.
Fakta ini menunjukkan bahwa lahan
gambut dapat dikembangkan sebagai lahan pertanian dengan jenis komoditas yang
beragam. Hanya saja diperlukan cara pengelolaan dan pengembangan yang
seharusnya memperhatikan sifat dan kelakuan dari gambut yang sangat spesifik
seperti mudah amblas, mudah kering, dan mudah rusak selain memerlukan asupan
yang cukup tinggi untuk mencapai produktivitas yang optimal.
3 komentar:
Untuk saya yang menyukai sejarah, sangat menarik tulisan bapak tentang sejarah pembukaan lahan gambut di Indonesia ini, bisa untuk dijadikan bahan referensi. Kunjungi blog saya di http://nurindarto.blogspot.com/
KISAH NYATA..............
Ass.Saya ir Sugianto.Dari Kota Timor Leste Ingin Berbagi Cerita
dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi tapi semenjak
saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis,
saya sempat putus asa hampir bunuh diri,tapi saya buka
internet dan menemukan nomor Ki Kanjeng saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya di kasih solusi,
awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari Ki Kanjeng alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya,
sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI,terimah kasih Ki,mau seperti saya silahkan hub Ki
Kanjeng di nmr 085320279333 Kiyai Kanjeng,ini nyata demi Allah kalau saya tidak bohong,indahnya berbagi,assalamu alaikum.
KEMARIN SAYA TEMUKAN TULISAN DIBAWAH INI SYA COBA HUBUNGI TERNYATA BETUL,
BELIAU SUDAH MEMBUKTIKAN KESAYA !!!
((((((((((((DANA GHAIB)))))))))))))))))
Pesugihan Instant 10 MILYAR
Mulai bulan ini (Oktober 2015) Kami dari padepokan mengadakan program pesugihan Instant tanpa tumbal, serta tanpa resiko. Program ini kami khususkan bagi para pasien yang membutuhan modal usaha yang cukup besar, Hutang yang menumpuk (diatas 1 Milyar), Adapun ketentuan mengikuti program ini adalah sebagai berikut :
Mempunyai Hutang diatas 1 Milyar
Ingin membuka usaha dengan Modal diatas 1 Milyar
dll
Syarat :
Usia Minimal 21 Tahun
Berani Ritual (apabila tidak berani, maka bisa diwakilkan kami dan tim)
Belum pernah melakukan perjanjian pesugihan ditempat lain
Suci lahir dan batin (wanita tidak boleh mengikuti program ini pada saat datang bulan)
Harus memiliki Kamar Kosong di rumah anda
Proses :
Proses ritual selama 2 hari 2 malam di dalam gua
Harus siap mental lahir dan batin
Sanggup Puasa 2 hari 2 malam ( ngebleng)
Pada malam hari tidak boleh tidur
Biaya ritual Sebesar 10 Juta dengan rincian sebagai berikut :
Pengganti tumbal Kambing kendit : 5jt
Ayam cemani : 2jt
Minyak Songolangit : 2jt
bunga, candu, kemenyan, nasi tumpeng, kain kafan dll Sebesar : 1jt
Prosedur Daftar Ritual ini :
Kirim Foto anda
Kirim Data sesuai KTP
Format : Nama, Alamat, Umur, Nama ibu Kandung, Weton (Hari Lahir), PESUGIHAN 10 MILYAR
Kirim ke nomor ini : 085320279333
SMS Anda akan Kami balas secepatnya
Maaf Program ini TERBATAS . 20 orang saja
blognya sangat bermanfaat sekali
al falaq
Posting Komentar