KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
Muhammad Noor
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
Jl. Kebun Karet, Lokatabat Utara,
Banjarbaru
RINGKASAN
Lahan gambut yang
maha luas sekitar 17-20 juta hektar ini oleh sebagian pihak dipandang sebagai
sumber daya alam yang sangat potensial untuk dimanfaatkan dan dkembangkan
sebagaimana sumber daya lahan lainnya,
tetapi oleh sebagian pihak lain dipandang penting dipertahankan karena
fungsinya sebagai penyangga lingkungan . Lahan gambut menjadi isu hangat
dalam sepuluh tahun terakhir ini seiring dengan isu perubahan iklim
berkenaan dengan pemanfaatan lahan gambut yang semakin luas untuk pengembangan
perkebunan kelapa sawit. Pemanfaatan lahan gambut sendiri untuk pertanian sudah
sejak lama oleh masyarakat lokal. Pilihan untuk memanfaatkan lahan gambut
tersebut karena keterbatasan sumber daya lahan yang dimiliki, sementara akses ke sumber daya lahan lainnya hampir
tidak memungkinkan. Dari generasi ke generasi, pengalaman dan pengetahuan dalam
pemanfaatan lahan gambut baik kegagalan maupun keberhasilan diwariskan secara
turun temurun melalui tradisi lisan dari mulut ke mulut sehingga menjadi
pembelajaran dan merupakan sumber pengetahuan empirik dalam perencanaan pengelolaan
lahan gambut ke depan.
Tulisan ini
merupakan rangkuman serangkaian hasil penelitian tentang pengetahuan atau
kearifan lokal dalam hubungannya dengan
pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut di beberapa daerah antara lain
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah; Kalimantan Barat, Riau, dan Sulawesi
Barat antara tahun 1999 sampai 2008.
Makalah disampaikan pada Workshop Monitoring Teknologi
Mitigasi dan Adaptasi
Terkait Perubahan Iklim, Surakarta, 8 Desember 2011
I. PENDAHULUAN
Lahan gambut
dikenal sebagai lahan marjinal atau sub-optimal (piasan) yang mempunyai sifat-sifat fisik, kimia dan
biologi, termasuk lingkungan sekitarnya kurang baik untuk dikembangkan,
khususnya untuk pertanian. Namun dengan perbaikan dan perlakuan khusus lahat
gambut dapat menjadi lahan produktif
yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai pengembangan komoditas seperti padi,
sayur-mayur, tanam tahunan, ikan, ternak dan lainnya.
Lahan gambut yang
maha luas sekitar 17-20 juta hektar ini oleh sebagian pihak dipandang sebagai
sumber daya alam yang sangat potensial untuk dimanfaatkan dan dkembangkan
sebagaimana sumber daya lahan lainnya, tetapi
oleh sebagian pihak lain dipandang penting dipertahankan karena fungsinya
sebagai penyangga lingkungan sekitarnya yang apabila dibuka akan menimbulkan
masalah lingkungan yang sangat merugikan antara lain meningkatnya emisi gas
rumah kaca, hilangnya sumber daya air, dan meluasnya degradasi lahan. Ekosistem lahan gambut dikenal unik dan multitalenta mempunyai keragaman hayati
(biodiversity) sangat tinggi, sebagai
tempat produksi dan pengembangan hayati, memiliki fungsi hidrologi alami, dan
sebagai pengendali iklim global dan setempat.
Pemanfaatan lahan
gambut sendiri untuk pertanian sudah sejak lama oleh masyarakat lokal setempat
secara terbatas untuk menopang kehidupan mereka. Pilihan untuk memanfaatkan
lahan gambut tersebut karena keterbatasan sumber daya lahan yang dimiliki,
sementara akses ke sumber daya lahan
lainnya hampir tidak memungkinkan. Dari generasi ke generasi, pengalaman dan
pengetahuan dalam pemanfaatan lahan gambut baik kegagalan maupun keberhasilan
diwariskan secara turun temurun melalui tradisi lisan dari mulut ke mulut
sehingga menjadi pembelajaran dan merupakan sumber pengetahuan empirik dalam
perencanaan pengelolaan lahan gambut ke depan.
Semakin luasnya
pemanfaatan lahan gambut juga tidak lepas dari kebijakan pemerintah tentang
perluasan areal pertanian pada tahun-tahun 1969-1991 dan 1995-1999 yang pertama
dikenal dengan Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) dan Proyek
Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuuta Hektar di Kalimantan Tengah yang
dilatarbelakangi oleh kondisi pangan yang sangat merisaukan dengan impor beras
yang cukup besar mencapai lebih 2 juta ton per tahun. Pada
awalnya pemerintah merencanakan pembukaan lahan rawa di Sumatera dan Kalimantan
seluas 5,25 juta hektar selama kurun waktu 15 tahun (1968-1984) untuk
persawahan pasang surut (Dir Pertanian Rakyat, 1968). Namun sampai tahun 1991 luas lahan rawa yang berhasil dibuka oleh
pemerintah hanya mencapai 1.242.500 hektar dan oleh masyarakat setempat secara
swadaya mencapai 2.537.500 juta hektar. Sampai tahun 1995, luas lahan rawa yang telah dibuka atau direklamasi baru sekitar 4,19 juta hektar, diantaranya
1,53 juta hektar dibuka oleh pemerintah dan 3,0 juta hektar
oleh maysrakat setempat secara swadaya. Dari
keseluruhan luas lahan yang dibuka oleh pemerintah dimanfaatkan antara lain untuk
sawah 688,74 ribu hektar, tegalan 231,04 ribu hektar, 261,09 ribu hektar untuk
lain-lain, termasuk tambak . Sementara lahan rawa yang dibuka masyarakat setempat
umumnya untuk pengembangan tanaman padi atau sawah (Balittra,
2001; Noor, 2004). Apabila lahan Proyek PLG Sejuta Hektar di Kalteng
dimasukan sebagai lahan yang telah dibuka, maka luas lahan rawa yang telah
dibuka mencapai sekitar 5 juta hektar.
Namun sayang, sumbangan lahan rawa terhadap peningkatan produksi
pertanian, khususnya pangan masih rendah. Diperkirakan pasokan pangan dari
lahan rawa berkisar antara 600-800 ribu ton gabah, pada hal apabila
dioptimalkan dari lahan yang telah dibuka di atas dapat menyumbangkan tambahan
produksi beras setara 3-5 juta ton gabah per tahun (Badan Litbang Pertanian,
2011).
Lahan gambut
menjadi isu hangat dalam sepuluh tahun terakhir ini seiring
dengan isu perubahan iklim berkenaan dengan pemanfaatan lahan gambut yang
semakin luas untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Diperkirakan 20% dari
luas tanaman perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia berada di lahan
gambut. Apabila luas lahan kelapa sawit di Indonesia sekarang mencapai 7,2 juta ha (tahun 2009),
maka luas lahan gambut yang dikembangkan untuk perkebunan sawit mencapai 1,5
juta hektar. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dituding dapat
meningkatkan emisi GRK yang akan memicu perubahan iklim. Indonesia telah menyepakati penurunan emisi
GRKnya sebesar 9,5-13% dari lahan gambut pada tahun 2020 sebagai bentuk
appresiasi terhadap perubahan iklim yang dilanjuti dengan terbitnya Inpres No 10/2011 tentang moratorium (penghentian sementara) pembukaan hutan dan lahan gambut
merupakan implementasi dari kesepakatan di atas yang sebetulnya masih menjadi
perdebatan dalam masyarakat (IPB, 2010).
Tulisan ini
merupakan rangkuman serangkaian hasil penelitian tentang pengetahuan atau
kearifan lokal dalam hubungannya dengan
pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut di beberapa daerah antara lain
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah (1999, 2004); Kalimantan Barat (2006),
Riau (2007), dan Sulawesi Barat (2008).
II. KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN LAHAN
Kearifan lokal
dalam pemanfaatan lahan gambut dapat ditunjukkan pada (1) sistem mata
pencaharian, (2) sistem pemilihan tempat usaha bertani, dan (3) pola usaha tani
dan komditas pilihan yang dipengaruhi oleh persepsi individual atau kelompok dalam
menyikapi kondisi lahan dan lingkungannya.
2.1. Sistem Mata Pencaharian
Mata
pencaharian sebagai petani lebih banyak merupakan warisan dari generasi ke
generasi. Petani di lahan gambut atau rawa umumnya mempunyai mata pencaharian
rangkap artinya sebagai petani dapat sekaligus sebagai pencari ikan, peternak
itik atau kerbau rawa, atau buruh tani. Pilihan mata pencaharian tersebut
disesuaikan dengan kondisi alam setempat sehingga kadang-kadang sebagai
individu dapat sebagai petani yang mengusahakan lahannya pada saat musim
kemarau, tetapi pada waktu dan kesempatan lain dapat sebagai pencari ikan atau
peternak itik pada saat kondisi lahannya tergenang, dan juga adakalanya
merantau sebagai pedagang pada saat paceklik atau banjir. Berbeda dengan petani
Jawa (transmigran) yang sangat intensif dalam mengusahakan sawahnya. Hampir
semua waktunya dicurahkan untuk usaha tani di sawahnya. Petani lokal lahan
gambut menaman banyak macam tanaman dari tanaman semusim (pangan) sampai
tanaman tahunan. Sistem mata pencaharian ini disebut juga sebagai pertanian
campuran (Hidayat, 2000). Pilihan-pilihan pekerjaan usaha yang beragam dan luwes tersebut merupakan upaya
penyesuaian terhadap alam dengan cara menghindar (escape mechanism) sebagai kebalikan dari upaya menantang terhadap kondisi
alam yang tidak menentu dan sulit dihadapi serta ketidak berdayaan dalam
menantang alam. Sistem mata pencaharian yang multi usaha di atas juga
dimasudkan untuk mempertahankan keberlanjutan dalam pemenuhan kebutuhan di
daerah yang kondisinya tidak menentu dan menghindari risiko kegagalan secara
total.
2.2. Sistem Pemilihan Tempat
Kondisi
lahan rawa atau gambut sangat beragam dipengaruhi oleh hidrotopografi (luapan
A, B, C, dan D), ketinggian genangan (lebak dangkal, tengahan dan dalam), tipologi lahan (gambut dangkal, sedang, dalam
atau sangat dalam), tutupan lahan (hutan kayu primer, hutan sekunder, semak
atau padang rumput). Sebaran pengusaan lahan menunjukkan bahwa masyarakat
setempat lokal sebagian besar menempati lahan yang berada pada tipe luapan A
untuk daerah pasang surut dan lebak dangkal sampai tengahan untuk daerah lebak,
dan tipologi lahan gambut sebagian besar di gambut dangkal dan tengahan, tetapi
pada beberapa daerah yang mempunyai
lahan gambut sangat luas (seperti di Kalimantan Tengah, Kalimantan
Barat, dan Sulawesi Barat) masyarakat juga memanfaatkan lahan gambut tebal
untuk usaha taninya. Pada umumnya daerah luapan A dan B dimanfaatan untuk
tanaman pangan (padi) dan apabila menjorok masuk ke daerah luapan C digunakan untuk
tanaman tahunan/perkebunan.
Dalam
pemilihan lahan atau tanah, petani setempat di Kalimantan melakukan pengenalan
berdasarkan kedalaman lumpur dan bau
tanah. Kedalaman lumpur menunjukkan jeluk mempan (kedalaman efektif) yang
apabila terdapat sampai sebatas siku maka dikatakan layak ditanami. Bau tanah
yang dikenal dengan bau harum yang
merupakan lawan dari bau busuk yang
menunjukan tingginya kadar pirit (H2S) dikatakan cocok untuk
ditanami. Selain itu petani juga menilai vegetasi yang berkembang di permukaan
lahan sebagai indikator baik tidaknya daerah tersebut dimanfaatkan atau
ditanami. Beberapa jenis gulma atau tanaman pohon dapat dijadikan indikator
adalah purun tikus (Eleocharis dulcis)
yang menunjukkan kondisi sangat masam dan kondisi tumpat air (waterlogging); pohon galam (Meleleuca leucadendron) yang menunjukkan
kondisi masam pH < 3, drainase berlebih, dan tanah matang; karamunting (Melastoma malabatricum) dan bunga merah
jambu (Rhododendron singapura)
menunjukkan tanah yang miskin. Selain vegetasi, keadaan air juga dapat menjadi
indikator oleh petani yaitu apabila tampak bening dan terang menunjukkan sangat
masam (pH 3-4) yang menunjukan daerah lahan sulfat masam, sebaliknya apabila
keruh dan berwarna cokelat menunjukan kemasaman yang kurang dan merupakan
daerah potensial. Warna cokelat tua seperti air teh menunjukan daerah
sekitarnya kawasan gambut tebal. Menurut Maas (2003) adanya keruh menunjukkan
kandungan asam-asam humat dan fulvat yang tinggi.
2.3. Pola Usaha Tani dan Pilihan
Komditas
Lahan gambut mempunyai
sifat rapuh (fragile), yaitu dapat
berubah sewaktu-waktu baik akibat alam seperti kekeringan, kebakaran,
kebanjiran ataupun akibat pengelolaan seperti reklamasi, drainase, pengolahan
tanah, dan atau pertanian intensif. Usaha
tani di lahan gambut bersifat polyculture
dan multiculture yang hakaketnya
merupakan upaya untuk menghindari kegagalan total dari usaha taninya. Namun
para petani lahan gambut dalam memilih komoditas yang dikembangkan sangat
beragam karena dibatasi pemahaman dan pengalaman. Masing-masing suku (etnis)
yang tinggal dan hidup di lahan gambut mempunyai persepsi dan cara-cara yang
berbeda dalam memaknai gambut sebagai sumber daya lahan pertanian, termasuk
para pendatang dari etnis Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Bali dan lainnya yang mempunyai
kebiasaan usaha tani di lahan kering memandang lahan gambut berbeda-beda.
Petani suku
Banjar, misalnya memandang lahan gambut cocok untuk ditanami padi sawah, tetapi
petani suku Jawa yang umumnya sebagai pendatang memandang lahan gambut cocok
untuk palawija dan sayur-sayuran. Lain dengan suku Bugis yang menunjukkan bahwa
lahan gambut lebih tepat ditanami padi sawah, nenas dan kelapa seperti di Riau
dan Kalimantan Timur, tetapi suku Dayak di Kalimantan Tengah berpendapat bahwa
lahan gambut lebih cocok ditanami padi ladang, karet, rotan, jelutung, nibung
atau sagu dan buah-buahan seperti durian atau cempedak. Lain lagi, dengan suku
Bali yang bermukim di Kalimantan
memandang lahan gambut cocok untuk buah-buahan seperti nenas, cempedak
berbeda, tetapi suku Bali di Sulawesi Barat mereka memandang lahan gambut cocok
untuk tanaman jeruk dan cokelat. Orang-orang Cina di Kalimantan Barat memandang
lahan gambut lebih tepat untuk ditanami sayuran daun seperti sawi, ku cai
(sejenis bawang daun), seledri, dan lidah buaya. Sementara suku Melayu di Riau
memandang lahan gambut cocok ditanami nenas,
kelapa, karet atau kelapa sawit.
Pemilihan komoditas
dalam pengembangan di lahan gambut ini sudah sejak ratusan tahun silam
dilakukan petani tradisional.
Hal ini dapat dilihat dari
keberhasilan petani-petani pioner dalam pengembangan kelapa, karet,
kelapa sawit, lada, nenas, tebu, rambutan, cokelat, dan padi umumnya. Tanaman-tanaman ini dikenal sebagai tanaman
yang tahan atau toleran dengan kondisi rawa seperti genangan, kemasaman,
salinitas, keracunan besi dan lain sebagainya.
Uraian di atas
menunjukan bahwa pemanfaatan lahan gambut sangat tergantung pada kemampuan dan
pengalaman petani setempat yang tampaknya dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan
dan kegigihan dalam pencapaian keberhasilan dalam usaha taninya.
Gambar 1. Padi di lahan gambut
(Lamunti, Kalteng) dan karet (Dadahup, Kalteng)
Gambar 2. Sayur kuchai di lahan
gambut (Pontinak) dan kelapa sawit
(Sintang, Kalbar)
Gambar 3. Nenas di lahan gambut
(Riau) dan jeruk (Mamuju, Sulbar)
III. KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAN LAHAN DAN AIR
Pengelolaan lahan
dan air di lahan gambut dalam perspektif kearifan lokal dapat ditunjukkan pada
(1) sistem penyiapan lahan dan pengolahan tanah, (2) penataan lahan, (3)
pengelolaan kesuburan tanah, dan (4) sistem pengelolaan air yang dipengaruhi
oleh komoditas tanaman yang dikembangkan dan persepsi individual atau kelompok
dalam menyikapi kondisi lahan dan lingkungannya.
3.1. Sistem Penyiapan Lahan dan Pengolahan Tanah
Penyiapan lahan
oleh petani di lahan gambut dalam budiaya padi secara tradisional di Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah menggunakan tajak
sejenis parang panjang. Tajak selain sebagai alat penebas rumput juga pemapas dan
pembalik tanah permukaan se dalam 2-5 cm
sehingga juga berfungsi sebagai alat olah tanah terbatas (minimum tillage). Pekerjaan penebasan
rumput atau jerami ini disebut menajak
(dari kata tajak) Gulma atau jerami
yang telah ditebas kemudian dikumpulkan dibentuk seperti bola dibiarkan
terendam yang disebut memuntal (dari kata puntal).
Setelah gulma dan jerami yang berbentuk bola tampak matang lantas dicacah atau
dicincang (dipotong-potong kecil-kecil) lantas disebarkan di permukaan lahan.
Pekerjaan ini disebut menghambur (dari kata
hambur). Sistem penyiapan lahan ini dikenal dengan sistem ” tajak-puntal-hambur”.
Menurut Djajakirana et al (1999)
penyiapan lahan dengan pengembalian gulma dan jerami (puntal) ini dapat menurunkan kemasaman tanah dari pH 3,0 menjadi pH 6,0. Cara tajak
puntal hambur ini juga ternyata berhasil menaikan pH tanah dari pH 3,0 sebelum
penyiapan lahan menjadi pH 5,8 sesudah penyiapan lahan. Pemapasan tanah dalam
sistem penyiapan lahan tradisional ini secara tidak langsung dapat mencegah
terjadinya produksi asam-asam terutama pirit (Mulyanto et al., 1999).
Sistem tajak puntal hambur ini dalam praktek
sekarang dibantu dengan herbisida kemudian setelah gulma-gulma kering ditebas
dan dibersihkan. Petani padi dari etnis Bugis di Riau melakukan hal serupa
dengan bantuan herbisida. Gulma dan jerami padi dibiarkan membusuk di lahan
kemudian langsung ditanami tanpa pembersihan dan pengolahan tanah lagi. Petani
padi dari Jawa dan Madura (transmigran di Kalimantan) sering dalam penyiapan
lahan menggunakan cangkul dan rotari sebagaimana umumnya dilakukan di Pulau
Jawa. Sistem penyiapan lahan dengan cangkul dan rotari ini, termasuk
intensifnya penggunaan tanah dapat mempercepat hilangnya lapisan gambut seperti
yang terjadi di desa Suryakanta (Sakalagun), Barito Kuala, Kalsel yang awalnya
mempunyai lapisan gambut 50-300 cm setelah ditanami padi sejak tahun 1990an
sekarang lapisan gambutnya tinggal 10-20 cm saja lagi.
Seiring dengan
introduksi varietas-varietas unggul (tanaman pangan), penyiapan lahan dipandang
lebih menguntungkan dengan menggunakan herbisida. Penyiapan lahan dengan herbisida menghemat tenaga antara
5-10 HOK per hektar. Penyiapan lahan secara konvensional dengan tangan
memerlukan tenaga antara 20-25 HOK per hektar.
Herbisida yang umum digunakan dalam penyiapan lahan antara lain paraquat
sebanyak 4 liter ha-1 atau diuron
4 liter. ha-1 atau campuran antara paraquat/diuron sebanyak 3
liter. ha-1 ditambahkan 2,4 D
panadin 1 liter. ha-1 (Simatupang dan Ar-Riza, 1991; Widjaja Adhi
dan Alihamsyah, 1998). Namun demikian, penggunaan herbisida banyak
dikhawatirkan akan berdampak terhadap lingkungan hidup dan kesehatan
konsumen. Tuntutan pertanian bersih atau pertanian organik tanpa atau sedikit pestisida semakin meningkat.
Pangsa pasar atas hasil-hasil pertanian bersih ini di negara-negara
maju semakin luas dan kritik atas
penggunaan pestisida berlebihan semakin gencar. Pencekalan dan boikot terhadap
impor hasil pertanian dari negara-negara yang tinggi konsumsi pestisidanya
sering dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika dan Eropah karena
kekhawatiran akan munculnya pengaruh terhadap kesehatan. Lebih jauh, sistem pertanian revolusi hijau
banyak mengambil atau mengangkut sisa panen (apalagi bila penen dengan system
tebasan) untuk dibuang keluar daripada dikembalikan ke dalam tanah.
Gambar 4. Tajak
dan cangkul alat olah tanah minimum dalam budidaya padi
3.2. Sistem Penataan Lahan
Penataan
lahan dimaksudkan apabila petani berkeinginan melakukan penganekaragaman
tanaman (diversifikasi) seperti kelapa,
karet, jeruk, rambutan atau tanaman tahunan lainnya. Penganekaragaman
tanaman ini adakalanya dilakukan karena hasil padinya mulai menurun atau karena
pemilikan lahan yang semakin luas dengan alasan untuk menabung (misalnya untuk
ongkos naik haji) maka sebagian lahan digunakan untuk tanaman tahunan.
Penataan
lahan dilakukan dengan membuat tukungan
(awalnya disebut tongkongan) yaitu
meninggikan sebagian tanah dengan ukuran
. Bibit tanaman tahunan ditanam di atas
tukungan. Tinggi tukungan biasanya dibuat 5-10 cm lebih tinggi dari tinggi
maksimal muka air sehingga tanaman tidak terendam atau kebasahan. Sistem
tukungan banyak sekarang diterapkan pada tanaman perkebunan seperti kelapa
sawit yang disebut dengan tapak timbun.
Cara-cara
budidaya seperti sistem tukungan
untuk budidaya tanaman perkebunan dan pengelolaan lahan oleh petani lokal
tradisional ini kemudian diikuti oleh
migran pendatang yang menempati kawasan
rawa (Collier, 1982; Watson dan Willis, 1984;
Sarwani, et al., 1994).
Gambar 5. Sistem tukungan di lahan
gambut untuk jeruk dan kelapa sawit (Kalsel)
3.3. Sistem Pengelolaan Kesuburan Tanah
Kesuburan lahan gambut
terletak pada hasil biomasa yang dihasilkannya bukan yang terkandung dalam
tanahnya. Menurut Jaya et al. (2004)
hasil biomasa yang berada di atas tanah hutan rawa gambut berkisar antara
73-82% dari total biomasa. Biomasa dari tanaman pohon mencapai 350 sampai 905
ton per hektar. Pertumbuhan gulma
sendiri di lahan rawa sangat cepat dapat menghasilkan antara 2-3 ton bahan kering per musim per hektar. Hasil
analisis jaringan terhadap berbagai gulma yang dikomposkan menunjukkan pada
purun tikus (Eleocharis dulcis) dan bura-bura (Panicum repens),
kerisan (Rhynchospora corymbosa)
terkandung rata-rata 31,74% organik karbon, 1,96 % N;
0,68 % P dan 0,64 % K (Balittra, 2001). Dengan demikian maka kesuburan tanah rawa
tergantung pada masukan dalam rangka mempertahankan tahana (status) bahan
organic tanahnya. Oleh karena itu, kunci keberhasilan pemanfaatan lahan rawa
juga sangat terkait dengan pengelolaan bahan organik. Hal ini boleh jadi sudah disadari oleh para
petani lokal yang memanfaatkan gulma, rumput, dan sisa panen berupa jerami
untuk dikembalikan ke dalam tanah dalam penyiapan lahan.
Dalam upaya
mempertahankan kesuburan lahannya petani lokal jarang menggunakan pupuk (Noor,
1996) dan hanya adakalanya menggunakan garam (NaCl). Petani tradisional di lahan pasang surut Kalimantan
Selatan memberikan garam antara 100-800 kg ha-1 di lahan sawahnya.
Pemberian 75 kg NaCl (garam ikan) per hektar dapat meningkatkan hasil padi
sebesar lebih 50% (Driessen –Discussion dalam
Rorison, 1973). Jumlah garam yang diberikan tergantung tingkat kesuburannya dan
diberikan apabila mulai terjadi
penurunan hasil. Petani di Delta Mekong,
Vietnam kadang-kadang menggenangi sawahnya dengan air laut sebelum musim hujan
datang juga dimaksudkan untuk perbaikan kesuburan tanahnya (Mensvoort et al.,
1996). Hal ini juga dilakukan oleh petani lahan pasang surut tipe A, UPT Tabunganen, Kalsel yang
memasukkan air laut (air payau) ke sawah-sawahnya saat musim kemarau dan
kemudian dibilas saat memasuki musim
hujan (Noor, 2004).
Petani etnis Jawa
di Kalimantan Barat memanfaatkan berbagai limbah seperti tepung kulit
udang, tepung ikan kering, gulma dan
gambut kering setempat dan kotoran ayam dijadikan abu yang kemudian digunakan
sebagai pupuk cukup baik bagi sayuran sperti seldri, tomat, cabai dan kuchai
tanpa menggunakan pupuk anorganik yang umum digunakan petani. Kandungan hara
abu yang diperkaya ini cukup baik kandungan haranya dibandingkan dengan pupuk
kandang konvensional (Tabel 1 dan Gambar 6).
Tabel 1. Kandungan hara, basa-basa, dan pH dari abu yang diperkaya, tepung
kepala/kulit udang, dan tepung ikan dari Kalimantan Barat, 2006.
Sifat kimia
dan hara
|
Tepung kepala/
kulit udang
|
Tepung ikan
|
Abu gambut dan
serasah
|
pH
|
7,73
|
7,53
|
6,33
|
Nitrogen (%)
|
3,08
|
2,35
|
1,22
|
Fostat (%)
|
0,75
|
0,57
|
1,20
|
Kalium (%)
|
0,82
|
0,82
|
0,02
|
Kalsium (%)
|
2,41
|
0,73
|
0,16
|
Magnesium (%)
|
0,17
|
0,13
|
0,01
|
Sumber : Noorginayuwati et al. (2007)
Gambar 6. Tempat pembakaran untuk membuat abu,
Kalbar
3.4. Sistem Pengelolaan Air
Lahan gambut pasang
surut dipengaruhi oleh pasang surutnya air akibat gerakan benda-benda langit.
Pasang tunggal atau purnama terjadi pada hari ke-1 (bulan mati) dan ke -15
(bulan purnama) dalam almanak Qomariah. Selanjutnya, secara berkala selama
lebih kurang 15 hari mengalami pasang ganda atau perbani dengan ketinggian pasang bergoncah (fluctuation) menurut peredaran matahari
dan bulan. Pada beberapa daerah terkadang terjadi pasang yang meluap dan pada
beberapa daerah cekungan terjadi genangan ladung (stagnant) yang dikategorikan sebagai rawa lebak apabila tinggi
genangan > 50 cm dan lama genangan > 3 bulan. Pada lahan-lahan yang mendekati sungai (tipe A
dan B) luapan pasang masih dapat dirasakan, tetapi pada lahan yang menjorok ke
pedalaman >10 km (tipe C dan D) jangkauan pasang tidak lagi dirasakan
dan jeluk (depth) muka air tanah > 50 cm dari permukaan tanah.
Selama musim hujan muka air tanah hampir tidak berbeda secara murad (significantly), khususnya antara hutan
reboisasi maupun hutan alam, tetapi pada musim kemarau muka air turun lebih
dalam pada hutan reboisasi (Jaya et al. (2004).
Berkenaan dengan
sifat dan watak tanah, apabila di lapisan bawah terdapat senyawa pirit,
maka upaya untuk mempertahankan muka air
pada batas di atas lapisan pirit merupakan kunci keberhasilan karena pirit yang
apabila teroksidasi karena misalnya kekeringan atau pengatusan yang berlebih (over drainage) maka pirit bersifat labil dan akan membebaskan
sejumlah ion hydrogen dan sulfat. Pada kondisi ini tanah menjadi sangat masam
(pH 2-3) dan kelarutan Al, Mn, dan Fe
meningkat (Noor, 2004).
Para pioner dalam
membuka lahan rawa yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disebut dengan kepala
Handil pertama kali biasanya dikerjakan adalah menggali saluran yang disebut handil atau tatah (handil dari kata anndeel
= bahasa Belanda, yang artinya gotong royong, bekerjasama). Handil dibuat
menjorok masuk dari pinggir sungai sejauh 2-3 km dengan kedalaman 0,5-1,0 m,
dan lebar 2-3 m (Idak, 1982 dan Noorsyamsi et
al., 1984). Dengan memanfaatkan
tenaga (pukulan) pasang, air sungai masuk ke dalam saluran handil yang
selanjutnya dijadikan sebagai saluran pengairan dan sebaliknya tatkala surut,
air keluar dan air lindian dari sawah ditampung pada saluran handil selanjutnya
bersamaan terjadi surut mengalir memasuki sungai. Handil atau tatah yang dibuat
etnis atau suku Dayak, Banjar, dan Bugis
saling berbeda (Darmanto, 2010).
Gambat 7. Sketsa handil menurut versi
etnis Daya
Gambat 8. Sketsa handil menurut versi
etnis Banja
Gambat 9. Sketsa handil menurut versi
etnis Bugis
Pada saat budidaya berlangsung seperti pengolahan tanah
atau tanam, air dalam saluran handil biasanya ditahan dengan membuat tabat (dam overflow). Upaya ini mempunyai tujuan teknis yaitu agar lahan
mudah diolah dan tanam tidak mengalami kesukaran, tetapi juga mempunyai tujuan
saintifik yaitu memberikan peluang untuk memudahkan perombakan bahan organik dan mencegah
terjadinya pengelantangan (ekpose)
tanah sehingga terhindar terjadinya oksidasi tanah lapisan atas (pirit) yang
dapat berakibat meningkatnya kemasaman dan kejenuhan aluminium.
Gambar 10. Pintu tabat dalam pengelolaan air di lahan
gambut (Lamunti, Kalteng)
IV. KEARIFAN LOKAL DALAM TEKNOLOGI BUDIDAYA PERTANIAN
Kawasan rawa menyimpan banyak sumber keanekaragaman
hayati dan plasma nutfah. Komoditas yang disenangi dan banyak ditanam adalah
padi. Padi kebanyakan dibudidayakan
secara turun-temurun. Para petani
tradisional setempat umumnya
membudidayakan varietas-varietas lokal yang berumur panjang (6-11 bulan). Jenis
varietas lokal ini berjumlah ratusan jenis, antara lain dikenal sebagai padi Bayar,
Pandak, dan Siam. Varietas-varietas padi lokal ini bersifat peka
fotoperiod. Sistem budidaya tanaman padi lokal ini dikenal dengan tanam
pindah yang bertahap yaitu persemaian 1 disebut taradak, persemaian ke 2
disebut ampak, dan persemaian ke 3
disebut lacak.
Sifat padi lokal
ini disenangi petani karena antara lain
(1) mudah mendapatkan bibitnya- karena
petani masing-masing membibitkan sendiri dan menyimpannya dari panen
sebelumnya, (2) mudah memasarkan hasilnya karena rasa nasi yang pera (karau)
banyak disenangi oleh masyarakat setempat seperti Kalsel, Kalteng, Sumbar, Aceh dan Biak, (3) memerlukan pupuk
sedikit bahkan jarang dan pemeliharaan minim antara lain penyiangan hanya
seadanya, (4) tidak mudah rontok,
berdaun lebar dan terkulai – menyebabkan hama burung pipit sukar
bertengger, dan (5) bentuk tanaman nisbi lebih tinggi (140-170 cm) sehingga
memudahkan memanen. Panen umumnya masih
menggunakan ani-ani. Hanya saja hasil produkvitas padi varietas lokal
ini rata-rata hanya mencapai 2-3 t GKG ha-1 dengan intensitas tanam sekali setahun (Noor, 1996).
Adapun padi
varietas unggul introduksi seperti IR 42, IR, 50, IR 64, IR, 66 dan sejenisnya
kurang disenangi petani lokal rawa selain sukar dipasarkan (harga lebih murah)
juga dikenal “manja” karena memerlukan pupuk nisbi lebih banyak dan perawatan
lebih intensif termasuk penggunaan pestisida, insektisida lebih banyak
dibandingkan dengan varietas lokal peka fotoperiod. Hanya saja keuntungan dari varietas unggul
introduksi di atas memiliki umur pendek (3-4 bulan) dan produktivitas lebih
tinggi (4,5-5,5 t GKG ha-1).
Perkawinan silang antara varietas lokal siam dengan varietas unggul cisokan
menghasilkan varietas margasari dan persilangan varietas lokal dengan varietas unggul dodokan menghasilkan varietas martapura dengan
bentuk mirip lokal dan rasa nasi antara pera-pulan atau sedang dan hasil
produktivitas lebih tinggi dapat mencapai 4 t GKG/ha (Balittra, 2001).
Gambar 11. Persemaian ampak dan lacak
dalam budidaya padi lokal fotoperiod
V. PENUTUP
Dalam konteks
falsafah, petani lokal mengartikan bertani adalah untuk mencukupi pangan
keluarga atau sanak saudara se suku atau se marga, sedang petani modern mengartikan
sebagai usaha komersiel (bisnis)
sehingga terkait dengan keuntungan yang harus dilipat gandakan. Misi bertani bagi petani lokal boleh jadi
untuk menopang hidup sehingga diperlukan upaya mempertahankannya secara
berkelanjutan (sustainable) sehingga
cukup puas meskipun hasil hanya untuk dapat memenuhi keluarga. Oleh karena itu
upaya-upaya untuk dapat mempertahankan kelangsungan produksi memdapatkan
perhatian besar.
Pertanian ramah
lingkungan atau pertanian organik yang sekarang banyak menjadi perbincangan
(isue) justru sebetulnya sudah lama dipraktekkan oleh petani lokal, tetapi
sekarang ditinggalkan oleh sistem pertanian modern yang bersifat monokultur,
monokomoditas, penggunaan pestisida, insektisida, pupuk kimia/pabrik yang
semakin meluas. Sistem pertanian yang
dikenalkan negara-neraga maju, seperti Sistem Revolusi Hijau ternyata tidak
sepenuhnya memberikan pengaruh yang menguntungkan terhadap petani. Perlunya
peninjauan kembali terhadap sistem pertanian Revolusi Hijau banyak dilontarkan
oleh pakar lingkungan dan sosiologi. Sistem pertanian revolusi hijau selain
dinilai mengancam pelestarian lingkungan, terselubung bersifat hegemoni
kapitalistik yang mengarah kepada pemiskinan masyarakat petani. Revolusi hijau
memberikan keuntungan lebih banyak kepada negara maju sebagai penggagas yang
sekaligus pengontrol daripada yang diterima negara pemakai notabene sebagai negara berkembang (Shiva, 1997; Fakih, 2000;
Belllo, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Balittra, 2001. Empat Puluh Tahun Balittra: Perkembangan dan Program
Penelitian ke Depan. Deptan. Badan Litbang. Balittra. Banjarbaru. 84 hlm.
Bello, W. 2003. WTO: Menghamba pada
negara kaya. Dalam : A. Widyamartaya
dan AB. Widyanta (Penterjemah). Globalisasi, Kemiskinan dan Ketimpangan.
International Forum on Globalization. CPRC.
Yogyakarta. Hlm. 95-104.
BPS, 2004. Sensus Pertanian
2003: Angka Nasional Hasil Pendaftaran Rumah Tangga (Angka Sementara). Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Collier, W.L.1982. Lima puluh tahun
transmigrasi spontan dan transmigrasi pemerintah di tanah rawa Kalimantan. Dalam: J. Hardjono (ed.). Transmigrasi dari Kolonisasi
Sampai Swakarsa. Gramedia. Jakarta.
Darmanto, 2010. Permasalahan dan prospek Pengembangan Rawa :
Suatu pengalaman kinerja dan manfaatnya. Makalah Workshop Pemanfaatan Rawa.
Jakarta.
Dent, D. 1986. Acid
Sulphate Soils: a baseline for research and development. ILRI.
Wageningen. Publ. No. 39 The Netherlands.
204 p.
Direktorat Pertanian Rakyat. 1968. Persawahan Pasang Surut : Beberapa sumbangan
pikiran dan bahan dari Departemen Pekerjaan Umum dalam rangka usaha peningkatan
produksi beras. Dirtan Rakyat. Jakarta.
Djajakirana , G., Sumawinata, B, Mulyanto, B, dan Suwardi. 1999. The importance of organic matter
and water management in sustaining Banjarese traditional land management in
Pulau Petak, South Kalimantan. Dalam : Proc. Seminar Toward Sustainable
Agriculture in Humid Tropics Facing 21st Century. Bandar Lampung,
Sept 27-28 1999. 178-191 pp.
Fakih, M. 2000.
Tinjauan kritis terhadap Revolusi Hijau. Dalam : Dadang Yuliantara (eds.). Menggeser Pembangunan, Memperkuat
Rakyat: Emansipasi dan Demokrasi Mulai
dari Desa. LAPERA. Pustaka Utama. Yogyakarta. Hlm 3-22.
Idak, H. 1982. Perkembangan dan
Sejarah Persawahan di Kalimantan Selatan. Pemda Tingkat I. Kalimantan Selatan.
Banjarmasin.
Jaya, A., Inoue, T., Rielley, J.O, dan Limin, S. 2004. Enviromental change
caused by development of peatland landscapes in Central Kalimantan, Indonesia. Dalam Proc. of the 12th Int.
Peat Congress: Wise Use of Peatland. Finlad.
pp. 660-667.
Mackinnon, K., Hatta, M. Gt, Halim, H.
dan Mangalik, A. 2000. Ekologi
Kalimantan. (Alih bahasa oleh G. Tjitrosoepomo, S.N. Kartikasari, Agus
Widyanto). Prenhallindo.
Jakarta. 806 hlm.
Maas, A. 2003. Peluang dan
konsekuensi pemanfaatan lahan rawa pada
masa mendatang. Makalah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta,
19 juli 2003.
Mulyanto, B., Sumawinata, Djajakirana, G, dan Suwardi. 1999.
Micromorphological characteristics of (potential) acid sulphate soils under the
Banjarese Traditional Land Management (BTLM) System. Dalam : Proc. Seminar Toward Sustainable
Agriculture in Humid Tropics Facing 21st Century. Bandar Lampung,
Sept 27-28 1999. 277-292 pp.
Noor, M. 1996. Padi Lahan Marjinal. Penebar Swadaya. Jakarta.
213 hlm.
________ 2004. Upaya
Perbaikan Produktivitas Tanah Sulfat Masam. Disertasi
Doktor Fakultas Pertanian bidang
studi Ilmu Tanah pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Noorginayuwati,
Rafieq, Muhammad Noorr dan Achmadi Jumberi, 2007. Kearifan local dalam
pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian di Kalimantan. Dalam Mukhlis et al
(eds). Kearifan Lokal Pertanian di Lahan Gambut. BBSDLP. Bogor
Notohadiprawiro, T.
1984. Tanah Estuarin : Watak, Sifat, Kelakuan dan Kesuburannya. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Rorison, I.H.
1973. The effect of extreme soil acidity
on the nutrient uptake and physiology of plant. Dalam: H. Dost (ed.).
Acid Sulphate Soils. I. Introduction Paper and Bibliography. Proc. Int. Symp.
Pulb. 18 Vol. I. ILRI. Wageningen. The
Netherland. p. 223-254.
Sarwani, M. Noor, M.
dan Maamun, M.Y. 1994. Pengelolaan Air dan Produktivitas Lahan Rawa
Pasang Surut: Pengalaman dari Kalimantan
Selatan dan Tengah. Balittan. Banjarbaru, 155 hlm.
Seiler, E. 1992. Acid
sulphate soils –their formation and
agricultural use. Natural & Resources & Development. Vol. 35:
92-110. Inst. for Sci Co- Tubingen.
Simatupang, I. S dan
Ar-Riza, I. 1991. Efektivitas cara
pengendalian gulma pada pertanaman padi di sawah pasang surut. Makalah Seminar
Menuju Kebijaksanaan Terpadu Pengembangan Pertanian Daerah Irigasi Riam Kanan,
2-3 Oktober 1991. Fak. Pertanian Univ. Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
Shiva, V. 1997. Bebas dari
Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India. YOI.
Jakarta. 284 hlm.
Watson, G. dan Willis, M. 1985. Famers’ local and traditional rice crop protection techniques: some
examples from coastal swamps, Kalimantan Indonesia. IARD Journal (7)
1 & 2: 25-30.
Widjaja Adhi, I.P.G. dan Alimhamsyah, T.1998. Pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan
lahan rawa untuk usahatani dalam pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Dalam : Pros. Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komda
Himp. Il. Tanah Indonesia.
Buku I.