Sabtu, 27 Oktober 2012

Lahan Gambut


LAHAN GAMBUT : Pengembangan, Konservasi dan Perubahan Iklim
Penerbit : Gadjah Mada Press Yogyakarta

Abstrak         :

Lahan gambut adalah sebuah ekosistem alami yang mempunyai nilai tinggi karena fungsinya dalam keanekaragaman hayati,  pengaturan iklim, pengendalian air, dan tempat bergantungnya kehidupan bagi jutaan penduduk bumi. Lahan gambut juga dinilai sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4), dan dinitrooksida (N2O) yang berdampak pada perubahan iklim dan pemanasan global. Lahan gambut yang telah dibuka dapat berubah menjadi lahan bongkor akibat kebakaran dan disinyalir banyak melepaskan emisi GRK. Dilaporkan sekitar 45% emisi GRK disumbang dari lahan gambut dan kerusakan hutan (termasuk alih fungsi lahan).  Keadaan inilah yang menambah rumit dan kusutnya permasalahan tentang lahan gambut dan pemanfaatannya. Pilihan terhadap lahan gambut sebagai lahan pertanian awalnya diilhami oleh keberhasilan masyarakat lokal dalam pemanfaatannya untuk pertanian dan perkebunan.  Akibat kondisi “lapar tanah” karena konversi lahan, kebutuhan pangan, kebutuhan devisa, kebutuhan energi untuk penduduk yang terus membengkak, maka lahan gambut menjadi pilihan untuk pengembangan pertanian/perkebunan, termasuk untuk penghasil energi bahan bakar nabati (biofuel) masa depan. Pemerintah daerah yang mempunyai lahan gambut  mendapatkan dorongan kuat dari masyarakatnya yang lahannya sudah puluhan tahun tanpa menghasilkan sesuatu apapun, kecuali sebagai lahan bongkor yang terbakar setiap tahun. Investasi yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan seperti kelapa sawit bagi daerah merupakan peluang sebagai sumber pendapatan sehingga “menawan” untuk menjadikan kawasan gambut sebagai wilayah pertumbuhan ekonomi baru.
Permasalahan-permasalahan gambut di atas menjadi tema yang sangat menarik untuk dikemukakan. Pengembangan lahan gambut di beberapa lokasi di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi memberikan pembelajaran dan pengalaman yang baik tentang pengelolaan lahan gambut. Bermula dari program kolonisasi pada tahun 1930an, program transmigrasi dan pembukaan secara swadaya oleh masyarakat lokal pada tahun 1970-1995an, sampai pada Proyek PLG (Pengembangan Lahan Gambut) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah pada tahun 1995-1999 yang dilanjutkan dengan Program Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG Sejuta Hektar 2007-2011 (Inpres No. 2/2009) – semuanya memberikan catatan tersendiri tentang gambut. Lebih jauh, sekarang sedang direncanakan pembukaan secara luas lahan rawa/gambut di Merauke, Papua.
Kebijakan pemerintah tentang lahan gambut, seperti Peraturan Menteri Pertanian No 14/2009, 16 Pebruari 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit, peraturan lainnya tentang Pembukaan atau Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB), pembentukan Tim Pengendalian Kebakaran Lahan Gambut, adanya Pokja Pengelolaan Lahan Gambut dan  Konsorsium Pengelolaan Lahan Gambut menunjukkan bahwa pedoman atau arahan pengelolaan lahan gambut sangat penting dan diperlukan. Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan internasional seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Konvensi Ramsar tentang Konservasi Lahan Basah, yang telah dituangkan dalam undang-undang juga merupakan bagian ketentuan-ketentuan tentang pemanfaatan lahan gambut yang perlu diperhatikan, namun  tetap kiranya memperhatikan  kedaulatan dan kepentingan nasional, termasuk hak masyarakat dan kearifan lokal setempat yang sudah melembaga. Komitmen Indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudiyono  di Pittsburg, Amerika Serikat (September, 2009) dan di Copenhagen pada Konferensi G-20 dan COP-15 (Desember, 2009) menyatakan akan menurunkan emisi GRK sebesar 26% secara unilateral dan 41% secara bilateral pada tahun 2020, diantaranya 9,5-13,0% berasal dari lahan gambut – yang akan diikuti dengan program aksi moratorium perlu mendapatkan perhatian bersama, terkait dengan rasa keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat (catatan : moratorium pemanfaatan lahan gambut ini akhirnya menjadi Inpres No. X/2011).
Pemahaman tentang perilaku lahan gambut dan perubahan-perubahan pasca reklamasi serta pemanfaatan kearifan lokal sebagai sumber informasi empirik sangat penting dalam penyusunan strategi dan langkah pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan. Dengan demikian, ke depan pemanfaatan dan pengembangan lahan gambut seyogyanya dapat lebih baik sesuai kaidah-kaidah ”pengelolaan lahan gambut berkelanjutan” artinya gambut tidak saja dipandang secara ekonomi, tetapi juga secara ekologi dan sosial budaya masyarakat setempat.

1 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites