Senin, 31 Desember 2012

Pengembangan Sayuran di Lahan Rawa










PERSPEKTIF PENGEMBANGAN SAYURAN DI LAHAN RAWA

Muhammad Noor, Heru Sutikno  dan Achmadi Jumberi

PENDAHULUAN

Pengembangan komoditas hortikultura, termasuk sayuran secara nasional mengalami peningkatan sejalan dengan  kemajuan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan gizi. Kemampuan daya beli dan gaya hidup  masyarakat, khususnya di perkotaan secara tidak langsung mendorong permintaan akan komoditas sayuran yang semakin meningkat. Neraca perdagangan komoditas hortikultura atau sayuran ini baik domestik, regional maupun global menunjukkan dinamika yang cukup tinggi,  tergantung pada banyak faktor antara lain musim dan situasi pasar.
Produksi hortikultura nasional berdasarkan data statistik yang terdiri atas sayuran, buah-buahan dan tanaman hias dalam periode 1977-1999 masing-masing mencapai 7,67 juta ton, 7,65 juta ton, dan 1,12 juta ton.  Total volume ekspor ke tiga jenis hortikultura di atas masing-masing mencapai 101,73 ribu ton sayuran, 111,34 ribu ton buah dan 576,64 ton tanaman hias dengan nilai keseluruhan sekitar US $ 90,045 juta. Tetapi dalam kesempatan yang sama kita juga mengimpor komoditas hortikultura yang nilainya lebih tinggi mencapai sekitar US $ 157,22 juta.  Di Kawasan Asia dibandingkan dengan negara Cina, Thailand, dan Malaysia, kontribusi  Indonesia dalam perdagangan global  untuk komoditas hortikultura  masih sangat rendah. Sasaran produksi hortikultura tahun 2007 ditargetkan rata-rata mencapai 3-5% (Tabel 1).
Sayuran merupakan komoditas pertanian yang dipandang penting sebagai sumber pertumbuhan produksi baru. Peran penting dari komoditas ini antara lain (1) sebagai sumber pendapatan bagi petani dan buruh tani, (2) sebagai sumber gizi dan mineral, dan vitamin, dan (3) sebagai sumber devisi negara non migas. Namun demikian struktur agribisnis hortikultura (termasuk sayuran)  saat ini masih tergolong dispersal atau tersekat-sekat (Simatupang 1995; Irawan, 2003). Dengan kata lain  tidak ada keterkaitan fungsional antara kegiatan satu dengan lainnya karena masing-masing kegiatan agribisnis mengambil keputusan sendiri-sendiri. Artinya masing-masing kegiatan seperti pengadaan sarana produksi, kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemsaranan serta kegiatan jasa penunjang lainnya dilakukan pelaku agribinis yang berbeda dan tidak saling terintegrasi.
Pemasalahan dan kendala yang dihadapi pengembangan komoditas hortikultura - mengacu pada sentra-sentra produksi antara lain adalah : (1) pola usaha masih skala kecil dan tersebar – tidak adanya sistem perwilayahan pengembangan dan sistem usaha tani bersifat sporadis, (2) lemahnya permodalan petani – kegiatan budidaya, pasca panen, dan distribusi produk tergolong padat modal dan siklus perputaran modal berjalan cepat, (3) rendahnya penguasaan teknologi dari pembibitan, pembudidayaan,  penanganan panen dan pasca panen – sehingga produk dan kualitas hasil belum mencapai standar baku, (4)  belum terjalinnya keserasian hubungan antara tingkat produksi pada daerah sentra produksi dengan tingkat permintaan di pusat-pusat konsumsi, (5) belum terbentuknya stabilitas harga – harga saat panen rendah dan penanganan pasca panen belum terlaksana dengan baik, (6) pemasaran yang belum efisien, bagian keuntungan yang diterima petani relatif rendah, dan adanya rantai tata niaga yang cukup panjang,  (7) kebijakan dan strategi pemerintah yang disinsentif, dan (8) kebijakan pemerintah daerah yang cenderung memproduksi berbagai komoditas sayuran untuk tujuan swasembada atau pemenuhan daerah lain yang kurang menguntungkan dari segi pembangunan ekonomi wilayah (Saptana et al., 2005).
Uraian berikut mengemukakan tentang perspektif pengembangan sayuran secara umum dan khususnya di lahan rawa berdasarkan pada  kajian aspek-aspek lahan dan lingkungan, permintaan, produksi dan agribisnis, biaya dan pendapatan petani.

Tabel 1. Sasaran produksi tanaman hortikultura utama tahun 2007

No
Komoditas
Sasaran (x 1.000 ton)
Persen Pertumbuhan
2006
2007
I
Buah-buahan



1
2
3
4
5
6
7
Pisang
Mangga
Jeruk
Durian
Pepaya
Nanas
Alpokat
4.856,9
1,794,8
1.676,3
890,5
704,5
780,6
317,6
5.225,0
1.925,6
1.735,5
967,6
747,6
825,7
339,8
7.58
7,29
3,53
8,66
6,13
5,78
6,97
II
Sayuran



1
2
3
4
5
6
Kentang
Cabai
Bawang merah
Kubis
Tomat
Wortel
1.089,0
1.134,4
880,1
1.454,0
765,3
389,7
1.130,6
1.168,1
948,7
1.507,5
801,9
406,5
3.81
2,97
7,78
3,68
4,78
4,31
Sumber : Renstra Deptan 2005-2009 (Biro Perencanaan Deptan, 2006).





PERSPEKTIF PENGEMBANGAN SAYURAN DI LAHAN RAWA

1.   Kajian Aspek Lahan dan Lingkungan
          Lahan rawa dicirikan oleh genangan karena pengaruh gerakan pasang surut pada rawa pasang surut dan genangan akibat pengaruh curah hujan dan banjir kiriman dari daerah terestarial  khususnya pada rawa lebak.  Oleh karena itu maka pemanfaatan lahan rawa untuk pengembangan sayuran memerlukan penataan lahan dan pengelolaan air. Penataan lahan dengan model surjan memberikan peluang bagi pengembangan sayuran di lahan rawa.  Bentuk dan ukuran surjan disesuaikan dengan sifat-sifat tanah fisik lingkungan seperti tipe luapan, tipologi lahan dan tinggi genangan pada lahan rawa lebak serta kemampuan petani. Pembuatan surjan dapat secara bertahap, khususnya apabila dimanfaatkan juga untuk tanaman keras atau perkebunanan sehingga semakin besar tanaman semakin diperlebar surjannya  (Noor et al., 2006).
          Lahan rawa mempunyai sifat marginal dan rapuh (fragile) yang antara lain mempunyai lapisan gambut dengan berbagai ketebalan.  Budidaya sayuran di lahan gambut ini tergantung pada pengelolaan air, tanah dan tanaman sayuran yang dibudidayakan. Pada lahan gambut budidaya sayuran umumnya pada lahan gambut pasang surut tipe C dan D dengan membuat bedengan dan saluran-saluran kemalir.  Pada lahan gambut tebal atau gambut rawa lebak sayuran dibudidayakan pada musim kemarau dengan membuat bedengan dan saluran-saluran kemalir secara sederhana.   Budidaya sayuran di lahan gambut tebal di Kalimantan Barat (sekitar 2 km dari Kota Pontianak) dan di Kalimantan Tengah (Kelampangan sekitar 7 km dari Kota Palangka Raya) cukup berhasil. Kemampuan dan pengetahuan petani dalam budidaya sayuran di lahan gambut ini cukup baik dan menguntungkan (Lestari et al., 2006; Alwi et al., 2006).  Lahan rawa juga mempunyai lapisan senyawa pirit (FeS2) dengan berbagai kedalaman. Senyawa pirit ini apabila terekspose atau teroksidasi maka akan menghasilkan ion sulfat (SO4-2 dan hidrogen (H+) yang mengakibatkan terjadinya pemasaman tanah dan air (pH 2-3).  Pirit stabil dalam kondisi anaaerob atau tergenang. Pada kondisi masam ini sebagian P dan K terjerap dan tidak tersedia, sebaliknya ion-ion  Al, Fe dan Mn meningkat kelarutannya dalam tanah sehingga meracun tanaman.  Sebaliknya pada kondisi anaerob H2S dan  Fe2+ (besi II) meningkat. Pengelolaan air dan perbaikan tanah dalam pemanfaatan lahan rawa untuk budidaya sayuran merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha tani di lahan rawa (Alihamsyah, et al., 2003, Noor et al., 2006). 
Tanaman sayuran menghendaki pH 6-7 dan ketersediaan hara N, P, dan K yang cukup. Oleh karena itu pemanfaatan lahan rawa untuk budidaya tanaman pertanian, termasuk sayuran memerlukan bahan amelioran (seperti kapur atau dolomit,  fosfat alam),  pupuk organik dan anorganik. Selain itu pada musim kamarau diperlukan mulsa penutup muka tanah untuk mempertahankan lengas dan suhu  tanah. 
Lingkungan rawa merupakan lingkungan yang dikenal mempunyai tingkat virulensi tinggi. Hama, serangga, dan penyakit tanaman cukup tinggi sehingga memerlukan pengelolaan hama dan penyakit terpadu apalagi tanaman sayuran sangat rentan diserang oleh organisme pengganggu tanaman.  Pemilihan jenis komoditas dan varietas yang tahan baik terhadap kondisi lahan maupun sebagai siasat menahan serangan hama dan penyakit tanaman diperlukan untuk menghindari kegagalan dalam usaha tani di lahan rawa.

2.  Kajian Aspek Pemintaan
            Permintaan sayuran meningkat seiring dengan kemajuan pengetahuan dan kesadaran, serta perbaikan sosial ekonomi masyarakat.  Menurut Rachman (1997) konsumen dan permintaan produk sayuran di Indonesia mempunyai ciri-ciri antara lain  (1) konsumsi tetap/datar sepanjang tahun, cenderung meningkat singkat pada hari-hari besar keagamaan, (2) tingkat konsumsi sayuran per kapita (BPS, 1993) pada golongan pendapatan rendah masih terbatas yaitu 25,8 kg/kapita/tahun, dan (3) terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi dengan meningkatnya pendapatan, (4) pusat yang potensial bagi pengembangan hortikultura adalah pusat-pusat konsumsi yang berada di kota-kota besar, dan (5) komditas sayuran yang dikonsumsi  masyarakat bervariasi tergantung pada harga komoditas, ketersedian dan harga barang lain (sebagai substitusi atau komplementer), tingkat pendapatan, dan preferensi masyarakat. 
            Dari 30 jenis sayuran yang dikonsumsi dari data tahun 1990, 1996 dan 2002 menunjukkan bahwa 50% jenis sayuran mengalami penurunan. Beberapa komoditas dataran tinggi seperti kentang, tomat, dan cabai merah mengalami peningkatan, masing-masing 0,5, 2,9, dan 1,6 % per tahun, sebaliknya komoditas sayuran kubis mengalami penurunan 0,2 % per tahun. Pada kawasan rawa konsumsi sayuran sangat erat hubungannya dengan kebiasaan dan adat masyarakat, seperti pada umumnya masyarakat Kalimantan mempunyai kebiasaan mengkonsumsi cabai dan tomat untuk masakan sehari-hari, khususnya pada hari besar dan acara besar keluarga seperti perkawinan.
Neraca Bahan Makanan tahun 2002 menunjukkan bahwa sayur-sayuran yang berada di Kalimantan Selatan hampir seluruhnya berasal dari produksi sendiri kecuali kentang, kubis, wortel, bawang daun, bawang merah dan bawang putih yang didatangkan (impor) dari propinsi lain. Sayur-sayuran yang produksinya terbesar adalah kacang panjang 3,863 ton, cabe 3,357 ton, dan terong 3,097 ton. Impor sayuran pada tahun 2001 mencapai 6.80 ton, yang terdiri dari bawang merah sebanyak 2.503 ton, bawang putih 1,181 ton, kentang 549 ton, kubis/ kol 1.149 ton, wortel 400 ton, cabe 1.002 ton, dan bawang daun 18 ton. Ketersediaan sayur-sayuran di Kalimantan Selatan  sebanyak 37.043 ton atau 11,65 kg per kapita per tahun. Sedangkan rata-rata ketersediaan per jenis sayuran adalah 0,69 kg. Hanya kacang panjang dan cabe yang lebih dari 1 kg per kapita per tahun, sedang sayuran lainnya masih < 1 kg per kapita per tahun (BPS Kalimantan Selatan, 2003).  Keadaan ini menunjukkan peluang usahatani sayuran masih besar, terutama untuk jenis-jenis sayuran yang masih diimpor tersebut yang sebagian besar dapat diusahakan di lahan rawa. Apalagi dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat maka permintaan terhadap sayuran dapat semakin meningkat sehingga diharapkan dengan meningkatkan jumlah konsumen dan pendapatan dapat merangsang pasar sayur dalam negeri (Rachman, 1997). Menurut  FAO selama tiga tahun  (1999-2001) tingkat konsumsi masyarakat terhadap sayur mengalami turun naik misalnya pada tahun 1999 sebesar 31,33 kg/kapita/tahun, pada tahun 2000 menjadi 29,39 kg/kapita/tahun, dan tahun 2001 menjadi 29,70 kg/kapita/tahun.  

3. Kajian Aspek Produksi dan Agribisnis
            Potensi pengembangan sayuran masih terbuka luas dari segi lahan, teknologi budidaya, pasca panen dan pengolahan.  Terkait dengan sifat dan watak lahan rawa maka produksi  sayuran di lahan rawa sangat tergantung pada keberhasilan dalam pengelolaan air, tanah dan tanamannya sebagaimana diuraikan pada bab di atas.
            Luas lahan rawa yang berpotensi untuk pengembangan pertanian diperkirakan antara 9-10 juta hektar, sedangkan yang dibuka baru sekitar 5 juta hektar dan yang dapat dimanfaatkan baru sekitar 2 juta hektar.  Sementara kebanyakan lahan rawa dimanfaatkan untuk budidaya pertanian tanaman pangan (padi), dan secara terbatas untuk tanaman sayuran. Secara keseluruhan tersedia lahan untuk pengembangan hortikultura/sayuran mencakup pekarangan 5,55 juta hektar, tegalan/huma 11,61 juta hektar, lahan tidak diusahakan 7,68 juta hektar, dan lahan untuk kayu-kayuan seluas 9,13 juta hektar (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2001).  Hasil penelitian di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak menunjukkan bahwa lahan rawa dapat menghasilkan  sayuran dengan produktivitas cukup tinggi apabila dikelola dengan baik (Tabel 2).
Pangsa produksi sayuran di Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 8,2 milyun ton.  Sekitar  56% (4,6 milyun ton) merupakam hasil produksi komersial dan sisanya 44% (3,7 milyun ton) hasil  produksi  rakyat/tidak bersifat komersial. Produksi sayuran komersial bertambah kira-kira 7,0% per tahun dan hasil produksi keseluruhan diperkirakan .mencapai 9,0 milyun ton pada tahun 2005.  Permintaan sayuran tahunan  dari produksi komersial diperkirakan meningkat 7% masing-masing 2% dari akibat pertambahan jumlah penduduk, 3,5% dari akibat peningkatnya pendapatan dan 1,5% dari akibat urbanisasi perkotaan. Permintaan sayuran yang bertambah ini menuntut pentingnya penambahan produksi (Subhan, 2005).








Tabel 2.  Jenis dan varietas tanaman hortikultura yang cocok dibudidayakan di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak

Jenis tanaman
Varietas
Hasil (t/ha)
Tomat
Intan, Permata, Berlian, Mirah, AV-22, Ratna
10-16
Cabai
Tanjung-1, Tanjung-2, Hot Chili, Barito, Bengkulu, Tampar, Keriting, Rawit Hijau dan Putih
9-18
Terong
Mustang, Kopek Ungu, Ungu Panjang, No. 4000
17-40
Kubis
KK Cross, KY Cross
20-32
Kacang panjang
Super King, Pontianak, KP-1, KP-2, Lebat
15-28
Buncis
Horti-1, Horti-2, Lebat, Prosessor, Farmer Early, Green Leaf
6-8
Timun
Saturnus, Mars, Pluto, Hercules, Venus
23-40
Sawi
Asveg#1, Sangihe, Talaud, Tosakan, Putih Jabung, Sawi Hijau, Sawi Huma, No. 82-157
10-20
Slada
New Grand Rapids
9-15
Bayam
Maestro, Giti Hijau dan Merah, Cimangkok, Kakap Hijau
10-12
Kangkung
LP-1, LP-2, Sutera
25-30
Lobak
Grand Long
50-85
Pare
Siam, Maya
17-18
Semangka
Agustina, New Dragon, Sugar Baby
10-25
Melon
Monami Red, Sky Rocket
14-18
Sumber : Alihamsyah et al. (2003) dan Hilman et al. (2003).

4. Kajian Aspek Biaya dan Pendapatan
Biaya dan pendapatan petani dalam budidaya  sayuran di lahan rawa sangat beragam, tergantung pada teknologi budidaya dan pengelolaan tanah, air dan tanamannya. Pemilihan komoditas untuk mendapatkan nilai pendapatan yang memadai perlu diarahkan pada multikomoditas atau diversifikasi usaha tani. Komoditas unggulan karena nilai ekonomis yang tinggi merupakan pilihan yang utama.  Pengembangan lahan rawa yang hanya menitik beratkan pada komoditas pangan (misalnya padi saja) tidak akan dapat meningkatkan kesejahteraan petani mengingat nilai tukar padi masih rendah sementara biaya usahatani meningkat terus. Diversifikasi dengan memasukan komoditas sayuran dalam sistem usaha tani terpadu di lahan rawa memberi peluang tambahan pendpatan bagi petani.
Sayuran merupakan komoditas yang dapat diusahakan pada semua jenis tipologi lahan rawa, kecuali pada tipologi lahan rawa lebak dalam. Pola usahatani sayuran di lahan rawa  sangat beragam tergantung  dengan tipologi lahan dan tipe luapan pasang. Pada lahan pasang surut tipe B, tomat dan cabai merupakan tanaman yang paling berpotensial setelah nenas.  Pada lahan rawa lebak dangkal cabai memperlihatkan efisiensi tertinggi (R/C = 3,70) dan lebih kompetitif dibandingkan dengan padi unggul.  Sedangkan pada lebak tengahan labu kuning paling efisien (R/C = 4,40) dan lebih kompetitif dibandingkan dengan sayuran lainnya terhadap padi unggul.  Pada lahan gambut bawang daun lebih efisien dibandingkan dengan sayuran lainnya (R/C = 3,36)  Usahatani sayuran di lahan gambut memberikan kontribusi yang tertinggi (83 %) terhadap total pendapatan petani pertahun dibandingkan dengan usahatani sayuran di lahan sulfat masam (0,34 %) dan lahan lebak dangkal (8,64 %) serta lebak tengahan (32,13 %) (Noorginayuwati dan Rina, 2006). 
Peluang perkembangan usahatani sayuran di lahan rawa ini ke depan perlu mendapat perhatian sebagai  alternatif atau pengganti lahan subur di Jawa yang terus mengalami alih fungsi.

PENUTUP

Peluang pengembangan dan agribisnis sayuran di lahan rawa terbuka luas baik dari segi aspek lahan dan lingkungan serta teknologi produksi.  Permintaan sayuran terus meningkat sehingga peningkatan produksi diperlukan dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri dan menekan semakin gencarnya impor.
Peningkatan produksi dan pengembangan agrbisnis sayuran di lahan rawa memerlukan perangkat kelembagaan pemasaran dan keuangan yang sementara ini masih belum tersedia. Penguatan kelembagaan di tingkat petani diperlukan untuk meningkatkan daya tawar dan pembagian keuntungan yang selama ini lebih banyak jatuh ke tangan pedagang.  Struktur agribisnis hortikultura (termasuk sayuran)  perlu dikembagkan ke arah terpadu (integrated) sehingga lebih efisien dan menguntungkan
Peluang perkembangan usaha tani sayuran di lahan rawa ini perlu mendapat perhatian sebagai  alternatif  untuk mengimbangi kemerosotan yang di alami Pulau Jawa yang selama ini sebagai pemasok utama sayuran secara nasional.


DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah, T.  M. Sarwani, A.Jumberi,  I. Ar-Riza, I. Noor, dan H. Sutikno 2003. Lahan Rawa Pasang Surut : Pendukung Ketahanan Pangan dan Sumber Pertumbuhan Agribisnis. Balittra. Banjarbaru. 53 halaman.

Alwi, M, Y. Lestari, dan M. Noor, 2006.  Teknologi budidaya sayuran di lahan gambut. Dalam M. Noor, I. Noor dan  SS. Antarlina (eds). Budidaya  Sayuran  di Lahan Rawa : Teknologi Budidaya dan Peluang Agribisnis.  Monograf Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru

Hilman, Y, A. Muharam dan A. Dimyati. 2003.  Teknologi agro-produksi dalam pengelolaan lahan gambut. Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Pertanian Lahan Gambut, Pontianak, 15-16 Desember 2003.
Irawan, B. 2003. Agribisnis hortikultura: peluang dan tantangan dalam era globalisasi. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian, Deptan. Bogor.

Lestari, Y., M. Alwi dan M. Noor, Prospek dan kendala budidaya sayuran di lahan gambut: Hasil pengalaman dan penelitian di Kalimantan. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan : Membangunan Ketahanan Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal, Palangka Raya, 03-04  November 2006.  BPTP Kalimantan Tengah. Palangka Raya 

Noorginayuwati dan Rina. 2006.  Sistem usahatani berbasis sayuran di lahan rawa. Dalam M. Noor, I. Noor dan  SS. Antarlina (eds). Budidaya  Sayuran  di Lahan Rawa : Teknologi Budidaya dan Peluang Agribisnis.  Monograf Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. 

Noor, M. . Achmadi dan K. Anwar  2006.  Peranan lahan rawa pasang surut dalam mendukung ketahanan pangan dan diversifikasi pertanian di Kalimantan Selatan. Pros. Seminar Nasional PERAGI : Peran PERAGI dalam revitalisasi pertanian bidang pangan dan perkebunan. Peragi  Pusat dan Komda DIY dengan Fakultas . Pertanian UGM. Yogyakarta. Hlm 74-83.

Noor, M.,  Mukhlis, dan Achmadi. 2006.  Pengelolaan  sumber daya lahan rawa dalam  perspektif pengembangan inovasi teknologi pertanian.  Makalah disajikan pada Seminar Nasional Sumber Daya Lahan dengan tema :  Staretegi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan Pertanian Berbasis Iptek, 14-15 September 2006 di Bogor

Rachman, HPS. 1997. Aspek permintaan, penawaran dan tata niaga hortikultura di Indonesia. Forum Penelitian Agroekonomi Vol 15:1 dan 2. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang pertanian, Deptan. Bogor.

Saptana, M. Siregar, S. Wahyubi, S.K. Dermoredjo, E. Ariningsih, dan V. Darwis. 2005. Pemantapan Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS). Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Deptan. Bogor. 232 hlm.

Simatupang, P. 1995. Industrialisasi pertanian sebagai strategi agribisnis dan pembangaun pertanian dalam era globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Deptan. Bogor.

Subhan. 2005.  Teknologi inovatif tanaman sayuran menunjang keterpaduan usaha pertanian.  Makalah Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering.  Banjarbaru, Kalimantan Selatan.  6 Desember 2005.

________________ 

Keterangan: Tulisan ini merupakan bagian dari Buku Monograf : Budidaya Sayuran  di Lahan Rawa - Teknologi Budidaya dan Peluang Agribisnis. 2006. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru

2 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites