Jumat, 14 Desember 2012

Sejarah Pembukaan Lahan Gambut



SEJARAH PEMBUKAAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN DI INDONESIA


ABSTRAK

Lahan gambut memiliki sejarah panjang dari masa sebelum kolonial sampai era moratorium (2011-sekarang). Pemanfaatan lahan gambut berevolusi dari hanya sekedar untuk pemenuhan hidup sehari-hari dari  pemanfaatan hanya beberapa borong berubah menjadi lahan usaha tani dengan skala usaha beberapa hektar, seterusnya menjadi usaha perkebunan komersial dengan skala ratusan hektar dan kemudian menjadi suatu usaha agribinis modern dengan skala ribuan hektar. Pembukaan lahan gambut dimulai dari sistem handil atau parit kongsi oleh maysarakat setempat di Kalimantan,  Sumatera dan Sulawesi dengan skala puluhan hektar, berkembang menjadi skala skim dengan sistem anjir, system garpu, dan sistem sisir dengan luas pengembangan antara ribuan hektar, dan seterusnya sampai skala rice estate mega proyek dengan luas jutaan hektar. Berawal dari dikenal secara tidak sengaja, kemudian berkembang menjadi lahan untuk budidaya pertanian dan sekarang diwacanakan perlu rehabilitasi dan restorasi untuk kepentingan lingkungan. Sejarah pembukaan lahan gambut, berdasarkan waktu, cara dan luas daerah yang dikembangkan dapat dibagi dalam 3 (tiga) era, yaitu (1) era periode 1945-1960an,  (2) era periode 1969-1995an dan (3) era periode 1995-2000an. Mengingat potensi dan fungsi lahan rawa dan gambut juga berkaitan dengan kekhasan keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah yang dikandungnya,  maka pengembangan dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan perlu mengintegrasikan antara aspek fungsi produksi, fungsi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya. Potensi lahan gambut yang maha luas dan sumber daya manusia Indonesia yang cukup besar merupakan modal utama yang sangat memungkinkan, selain kondisi lingkungan dan perkembangan teknologi yang menjadi pendukung sudah cukup tersedia. Pengembangan pertanian di lahan gambut dapat dipilah berdasarkan jenis komoditas yaitu : (1) tanaman semusim/pangan, (2) tanaman tahunan/perkebunan, (3) tanaman campuran (mix farming).



_____________________________________________________________
Makalah Penunjang disajikan pada Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan, 4 April 2012 di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Bogor.





PENDAHULUAN

Perhatian pada lahan gambut sudah dimulai berabad-abad silam, terlebih pada lahan gambut.  Menurut Nugroho (2012) penyidikan terhadap lahan gambut sebagai salah satu tipologi lahan rawa di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1860an oleh Bernelot Moens, disusul oleh John Anderson pada tahun 1700an, Wichmanp, Koorders dan Potonie pada tahun 1900an. John Anderson (1974) mengemukakan tentang keberadaan tanah gambut, di sekitar Riau. Bernelot Moens (1864) mengemukakan tentang penemuan dari seorang kapten angkatan darat Meyer yang melaporkan adanya gambut yang dapat digunakan sebagai bahan bakar di sekitar Siak Indrapura, Riau. Koorders yang menggiring ekspedisi Ijzerman melintasi Sumatera tahun 1865 melaporkan penyebaran gambut sangat luas, hampir mencapai 1/5 total luas pulau Sumatera yang berupa hutan rawa sepanjang pantai timur pulau Sumatera (Soepraptohardjo dan Driessen, 1976). 
Setelah merdeka, beberapa peneliti Belanda masih bekerja di Indonesia, diantaranya Polak, Druif, dan Schophuys Kemudian setelah tahun 1965, yaitu awal Pelita I, pemerintah melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) (1969-1984) mulai melaksanakan pembukaan secara besar-besaran lahan pasang surut di Sumatera (Lampung, Sumsel, Riau dan Jambi) dan Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan) dengan melibatkan pihak perguruan tinggi sekaligus melakukan penelitian. Pada tahun 1971-1981 Driessen yang bekerja di Lembaga Penelitian Tanah (sekarang menjadi Balai Penelitian Tanah) banyak melakukan kunjungan ke banyak daerah gambut antara lain Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Riau, Jambi, bahkan sampai Sarawak di Kalimantan dan Selangor di Semenanjung Malaysia (Nugroho, 2012).  
Walaupun pengenalan lahan gambut sejak lama, tetapi pembukaan lahan gambut secara terencana dan intensif baru mulai dilakukan seiring dengan adanya Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) yang merencana pembukaan 5,25 juta hektar untuk mendukung peningkatan penyediaan pangan nasional dan program transmigrasi. Pemanfaatan lahan gambut berevolusi dari hanya sekedar untuk pemenuhan hidup sehari-hari dari  pemanfaatan hanya beberapa borong oleh maysarakat setempat berubah menjadi lahan usaha tani dengan skala luas beberapa hektar, seterusnya menjadi usaha perkebunan komersial dengan skala ratusan hektar bahkan suatu usaha agribinis modern dengan luas ribuan hektar.
Pembukaan lahan gambut dimulai dari sistem handil atau parit kongsi dengan skala puluhan hektar, berkembang menjadi skala skim dengan sistem anjir, sistem garpu, atau sistem sisir dengan luas pengembangan antara 2-10 ribu hektar, dan seterusnya skala rice estate mega proyek (PLG) dengan luas 1 juta hektar.  Berawal dari dikenal secara tidak sengaja, kemudian berkembang menjadi lahan untuk budidaya pertanian dan sekarang dihentikan sementara pembukaannnya (Moratorium INRES 10/2011). Tulisan ini mengemukakan tentang sejarah pembukaan dan pengembangan lahan gambut.  Mengingat potensi dan fungsi lahan rawa dan gambut juga berkaitan dengan kekhasan keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah yang dikandungnya,  maka pengembangan dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan perlu mengintegrasikan antara aspek fungsi produksi, fungsi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya.


SEJARAH PEMBUKAAN LAHAN GAMBUT

Pembukaan dan pengembangan lahan gambut dapat diruntut dari abad ke 13 pada era Kerajaan Majapahit. Raja Prabu Jaya sebagai keturunan Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit pada zamannya dicatat telah mengadakan ekspansi dengan pembukaan lahan gambut untuk pemukiman dan pertanian di daerah aliran Sungai Pawan, Kalimantan Barat. Kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Belanda yang tercatat pada tahun 1920an telah melakukan kolonisasi (sekarang disebut dengan transmigrasi) dengan menempatkan orang Jawa di rawa-rawa gambut Kalimantan tepatnya daerah Tamban dan Serapat serta pembukaan lahan gambut jalan sepanjang 40 km dari Banjarmasin-Martapura (Aluh-aluh, Kurau, Gambut). Waktu itu orang-orang Jawa “dipaksa” untuk membuka lahan rawa atau gambut  secara konvensional dan menanaminya dengan tanaman  kelapa dan karet.
Setelah Indonesia merdeka mulailah dilakukan survei-survei investigasi dan pendataan tentang rawa dan gambut yang lebih rinci, tetapi masih dibantu oleh beberapa tenaga ahli Belanda yang masih menetap di Indonesia, antara lain Schophuys (1952) yang telah mempromosikan sistem polder untuk pengembangan lahan rawa.  Sejarah pengembangan rawa dan atau gambut, berdasarkan waktu dan cara serta luas wilayah yang dikembangkan dapat dibagi dalam 3 (tiga) era, yaitu (1) era periode 1945-1960an,  (2) era periode 1969-1995an dan (3) era periode 1995-2000an.

Era Periode  1945-1960an
Pembukaan rawa pertama di Indonesia digagas oleh Ir. Pangeran Mohammad Noor yang menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (1956-1958) yang disebut dengan Proyek Dredge, Drain and Reclamation, yaitu menghubungkan dua sungai besar dengan membangun kanal sehingga akses ke lahan rawa dapat mudah dilakukan. Gagasan ini pada awalnya direncanakan meliputi pembuatan kanal (anjir) antara Banjarmasin-Pontianak (760 km) dan Palembang-Tanjung Balai (850 km). Namun kemudian berhasil hanya dibangun beberapa saja dari yang direncanakan antara lain  yang menghubungkan Sungai Barito (Kalimantan Selatan) dengan Kapuas Murung (Kalimantan Tengah) yaitu meliputi Anjir Serapat (28,5 km), Anjir Tamban (25,3 km), dan Anjir Talaran (26 km); antara Sungai Kahayan dengan Sungai Kapuas Murung (Kalimanyan Tengah) yaitu Anjir Basarang (24,5 km), Anjir Kelampan (20 km), dan beberapa anjir lainnya di Sumatera dan Kalimantan Barat (Gambar 1). Anjir pertama dibangun adalah anjir Serapat yang pada awalnya digali dengan tangan pada tahun 1886, kemudian direhabilitasi dengan penggalian kembali menggunakan kapal keruk pada tahun 1935.


Gambar 1.  Sistem anjir yang dibangun di Kalimantan Seletan

Dengan dibangunnya anjir tersebut berkembang pembukaan lahan dengan sistem handil  yaitu sistem jaringan tata air yang dibuat dari tepian sungai masuk ke pedalaman dengan ukuran lebar 2-3 meter, dalam 0,5-1,0 meter, dan panjang 2-3 km. Jarak antar handil 200-300 meter (Gambar 2). Adakalanya antar handil dihubungkan dengan saluran handil atau parit lainnya sehinga menyerupai susunan sirip ikan atau susunan tulang daun nangka. Ribuan handil dibangun masyarakat rawa Kalimantan Selatan, umumnya diberi nama ketua kelompok atau orang yang dituakan yang menginisiasi pembuatan handil tersebut atau diberi nama lokasi/daerah tersebut misalnya Handil Haji Ali, Handil Banyiur, Handil Barabai dan lain sebagainya. Pada era ini wilayah rawa yang berkembang hanya di sekitar sepanjang anjir menjorok masuk 2-3 km sebatas kemampuan masyarakat membuat handil masuk ke dalam. Namun handil-handil yang dibuat masyarakat sekarang telah bertambah panjang mencapai 5-10 km masuk dari muara anjir.


    Gambar 2. Sistem handil

Pada masa yang bersamaan Prof. Dr. Schophuys (1952) mulai merencanakan pembangunan polder di daerah lebak Alabio, pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Negara - Anak Sungai Barito, Kalimantan Selatan seluas 6.500-7.000 hektar dan polder daerah pasang surut Mentaren, tepian Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah seluas 3.000 hektar dan beberapa poldr lainnya di Sumatera. Pembangunan polder, khususnya polder Alabio tersebut di atas menghadapi banyak kendala selain fisik juga masyarakat yang menjebol tanggul hingga sampai tahun 1972 dilakukan pemberhentian pembiayaan. Sejak 2010 pembangun polder Alabio tersebut kemudian dilanjutkan lagi dengan perbaikan dan penambahan bangun air dan saluran-saluran serta rumah pompa. 

Era  Periode 1969-1995an
 Kondisi pangan yang sangat memprihatinkan pada dekade 1970, dimana pemerintah telah mengimpor beras sekitar 2 juta ton beras sehingga cukup  menguras devisa Negara. Oleh karena itu pemerintah orde baru waktu itu berupaya sedemikian rupa untuk meningkatkan ketersediaan pangan, yaitu dengan salah satunya pembukaan lahan rawa yang direncanakan sekitar 5,25 juta hektar untuk sekaligus mendukung program peningkatan penyediaan pangan bersamaan dengan program transmigrasi dalam waktu 15 tahun. Dilaksanakanlah Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) di bawah koordinasi Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik  yang dijabat oleh Prof. Dr. Ir. Sutami.  Dalam proyek ini telah berhasil dibuka sekitar 1,24 juta hektar lahan rawa yang terdiri atas  29  skim/jaringan tata air  sistem garpu di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dan 22 skim/jaringan sistem sisir di Sumatera dan Kalimantan Barat (Gambar 3 dan 4). Beberapa daerah rawa yang telah dibangun ini telah berkembang menjadi kota-kota kabupaten, kecamatan bahkan kota provinsi yang menjadi sentra produksi pertanian dan pusat-pusat pertumbuhan. Sampai tahun 1995, luas lahan rawa yang telah dibuka 1,18 juta hektar oleh pemerintah dan 3,0 juta hektar oleh masyarakat setempat secara swadaya. Dari keseluruhan luas lahan yang dibuka oleh pemerintah dimanfaatkan untuk sawah 688,740 hektar, tegalan 231,040 hektar dan 261,090 hektar untuk lain-lain, termasuk untuk perikanan atau budidaya tambak. Sementara lahan rawa yang dibuka masyarakat setempat umumnya untuk pengembangan tanaman padi atau sawah dan perkebunan rakyat (Balittra, 2001; Noor, 2004). Diantaranya daerah yang dibuka diatas dikenal sebagai lahan gambut dan komoditas yang dibudiayakan disajikan pada Tabel 1. Diantara daerah yang dikenal bermasalah kemudian antara lain Air Sugihan, Rantau Rasau, Pangkoh  sehingga para transmigrasinya direlokasikan ke tempat lain.

Tabel 1.  Lokasi (UPT) lahan gambut yang dibuka untuk transmigrasi 1970-1995
No
Provinsi
Nama UPT/Lokasi
Pola/Komoditas
1
Sumatera Selatan
Karang Agung, Delta Upang, Air Saleh, Air Sugihan, Air Telang, Pulau Rimau
Tanaman Pangan
2
J a m b i
Sungai Bahar, Rantau Rasau, Lagan Hulu
Perkebunan dan Tanaman Pangan
3
R i a u
Pulau Burung, Gunung Kaleman, Delta Reteh, Sungai Siak
Perkebunan
4
Sumatera  Barat
Lunang
Tanaman Pangan
5
Kalimantan Selatan
Tamban, Sakalagun
Tanaman Pangan
6
Kalimantan Barat
Rasau Jaya, Padang Tikar, Teluk Batang, Sei Bulan
Tanaman Pangan
7
Kalimantan Tengah
Pangkoh/Pandih Batu, Kanamit, Kantan, Talio, Maliku, Basarang, Sebangau, Seruyan, Lamunti (eks PLG Blok A)
Tanaman Pangan dan  Perkebunan
Sumber : diadopsi dari Noor (2011)




Gambar 3. Sistem garpu

Gambar 4. Sistem sisir

Era Periode 1996-2000an
  Masalah pangan kembali menjadi perhatian seiring dengan impor yang cukup besar pada tahun 1995. Impor beras Indonesia meningkat sejak tahun 1990an, padahal sebelumnya  (1985)  diakui oleh Badan Pangan Dunia (FAO) berhasil swasembada pangan. Indonesia ingin menjadi “gudang pangan dunia” maka Presiden Soeharto meminta Menteri Pekerjaan Uumum yang dijabat oleh Dr. Radinal Muchtar dan menteri terkait lainnya untuk menyusun pembukaan sejuta hektar lahan rawa yang dikenal dengan Proyek Lahan Gambut  Sejuta Hektar (Mega Rice Estate Project) di Kalimantan Tengah (1995-1999) dengan menerapkan Sistem Tata Air Satu Arah (Gambar 5). Namun proyek ini mengalami banyak hambatan yang sempat dihentikan tahun 1999 dan kemudian dilanjutkan kembali secara bertahap sejak tahun 2007-2011 (Inpres No2/2007). Pemerintah provinsi Kalimantan Tengah merencanakan kerjasama dengan pemerintah Australia untuk membuka kembali sekitar 100 ribu hektar lahan PLG di atas menjadi rice estate. 


Gambar 5. Sistem jaringan saluran tata air PLG Sejuta Hektar
Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah semakin luasnya lahan bongkor atau lahan tidur di daerah rawa yang diperkirakan mencapai 600-800 ribu hektar. Hampir 50% dari lahan yang dibuka pada kawasan PLG Kalimantan Tengah juga terancam menjadi lahan tidur. Sebagian besar  jaringan tata air yang telah dibangun pada periode 1970-1995 sudah banyak yang mengalami kemunduran dan kerusakan, termasuk di kawasan PLG yang rusak karena pencurian terhadap besi-besi dan kayu-kayu penyusun bangunan air yang dilakukan masyarakat. 
Berbeda dengan lahan irigasi, dimana air dapat diatur semaunya, maka di lahan rawa air yang mengatur kita. Oleh karena itu, apabila keliru  dalam perkiraan musim tidak jarang akan mengalami gagal panen. Pengembangan lahan rawa tidak lebih adalah pekerjaan mengatur air sehingga diperlukan pembuatan saluran atau kanal, tanggul, pintu air, tabat dan sebagainya yang bertujuan agar ketersediaan air buat tanaman dapat terpenuhi dan sekaligus lahan dapat mempertahankan kebasahan tanahnya.  Kekeringan di lahan rawa dapat menurunkan produktivitas lahan akibat berubahnya sifat dan watak tanah setelah deraan kekeringan.   

SEJARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN Di LAHAN GAMBUT
Pembukaan lahan gambut dimulai dari sistem handil dengan skala puluhan hektar, berkembang menjadi skala skim dengan sistem anjir, sistem garpu, dan sistem sisir dengan luas pengembangan antara ribuan hektar, dan seterusnya skala rice estate mega proyek dengan luas sejuta hektar yang dikemukakan di atas.  Berawal dari dikenal secara tidak sengaja, kemudian berkembang menjadi lahan untuk budidaya tanaman pertanian/perkebunan dan sekarang dihentikan pembukaannya (moratorium).  Mengingat potensi dan fungsi lahan rawa dan gambut juga berkaitan dengan kekhasan keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah yang dikandungnya,  maka pengembangan dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan perlu mengintegrasikan antara aspek fungsi produksi, fungsi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya.
Pembangunan dan pengembangan lahan gambut untuk pertanian berjalan seiring dengan komitmen pemerintah. Pengembangan lahan rawa dan atau gambut sebagai lumbung pangan dan energi untuk masa depan sangat strategis, meskipun barangkali tidak sedikit perbaikan yang diperlukan baik fisik maupun non fisik, termasuk sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang harus dibenahi dan ditumbuhkembangkan. Potensi lahan gambut yang maha luas dan sumber daya manusia Indonesia yang cukup besar merupakan modal utama yang sangat memungkinkan, selain kondisi lingkungan dan perkembangan teknologi yang menjadi pendukung sudah cukup tersedia. Pengembangan pertanan di lahan gambut dapat dipilah berdasarkan komoditas yaitu : (1) tanaman semusim (pangan), (2) tanaman tahunan (perkebunan), dan (3) tanaman campuran (mix farming).
Pembukaan lahan gambut sejak awal ditujukan untuk mendukung kebijakan nasional tentang peningkatan produksi pangan sehingga secara umum peruntukan lahan seluas 2,25 hektar dibagi untuk pekarangan 0,25 hektar ditanami padi, palawija, sayuran dan hortikultura, 1 hektar lahan usaha tani I ditanami tanaman semusim utamanya padi atau palawija, dan 1 hektar lahan usaha tani II ditanami tanaman tahunan.  Dalam perkembangannya beberapa daerah yang dibuka seperti Pangkoh (Kalteng), Rasau Jaya (Kalbar), Siak (Riau), Wendang (jambi), dan Air Sugihan (Sumsel) dilaporkan kurang berhasil pada awal-awalnya diantaranya karena sebagian gambut  tebal > 3 m, pada substratum bawah didapati lapisan pirit atau pasir, dan intrusi air laut pada musim kemarau sehingga dilakukan relokasi bagi transmigran yang terlanjut menempati ke tempat yang lebih baik. Namun sebagian daerah dari lahan gambut yang dibuka ini  berkembang dengan baik dan maju sehingga menjadi sentra produksi padi dan atau perkebunan seiring dengan penipisan gambut, pematangan tanah, dan perbaikan tata airnya seperti Delta Upang (Sumsel), Silaut Lunang (Sumbar), Pulau Burung (Riau), Suryakanta dan Gambut-Kertak Hanyar (Kalsel).   
Hasil survei dan penelitian Balittra (2007) menunnjukkan bahwa pemanfaatan gambut sangat beragam dan sangat ditentukan atau dibatasi oleh pemahaman, pengalaman, atau persepsi petani dan masyarakatnya. Masing-masing suku (etnis) yang tinggal dan hidup di lahan gambut mempunyai persepsi dan cara-cara yang berbeda dalam memanfaatkan gambut sebagai sumber daya lahan pertanian, termasuk para pendatang dari etnis Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Bali dan lainnya yang mempunyai kebiasaan usaha tani di lahan kering memandang lahan gambut berbeda-beda.  Misalnya, petani suku Banjar memandang lahan gambut cocok untuk ditanami padi sawah, tetapi petani suku Jawa yang umumnya sebagai pendatang memandang lahan gambut cocok untuk ditanami palawija dan sayur-sayuran.  Demikian juga suku-suku lainnya, seperti suku Bugis berpendapat bahwa lahan gambut lebih tepat ditanami padi sawah, nenas dan kelapa seperti di Riau dan Kalimantan Timur, suku Dayak di Kalimantan Tengah berpendapat bahwa lahan gambut lebih cocok ditanami padi ladang, karet, rotan, jelutung, nibung atau sagu dan buah-buahan seperti durian atau cempedak. Lain lagi, dengan suku Bali yang bermukim di Kalimantan  memandang lahan gambut cocok untuk buah-buahan seperti nenas, cempedak berbeda dengan di Sulawesi Barat mereka memandang lahan gambut cocok untuk tanaman jeruk dan cokelat. Orang-orang Cina di Kalimantan Barat umumnya memandang lahan gambut lebih tepat untuk ditanami sayuran daun seperti sawi, ku cai (sejenis bawang daun), seledri, dan lidah buaya. Sementara suku Melayu di Riau memandang lahan gambut cocok ditanami nenas,  kelapa, karet atau kelapa sawit. Gambar 6 dan 7 di bawah menunjukkan keragaan berbagai tanaman pangan, sayuran dan hortikultura di lahan gambut pada berbagai lokasi di Kalimantan, Sumatera,dan Sulawesi.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini perkembangan perkebunan, khususnya kelapa sawit berkembang sangat pesat di lahan rawa, khususnya lagi lahan gambut sehingga pemerintah perlu membatasi dengan terbitnya Permentan N0 14/2009 dan dilanjti kemudian Inpres No 10/2011. Diperkirakan 20% (1,5 juta hektar) perkebunan kelapa sawit yang ada sekarang menempati lahan gambut (Gambar 8). Fakta ini menunjukkan bahwa lahan gambut dapat dikembangkan sebagai lahan pertanian dengan jenis komoditas yang beragam. Hanya saja diperlukan cara pengelolaan dan pengembangan yang seharusnya memperhatikan sifat dan kelakuan dari gambut yang sangat spesifik seperti mudah amblas, mudah kering, dan mudah rusak selain memerlukan asupan yang cukup tinggi untuk mencapai produktivitas yang optimal.



Gambar  6.  Tanaman kacang tanah, padi, sayuran ku cai, jagung tumpang sari dengan jeruk di lahan gambut  Lamunti (Kalteng), Pontianak (Kalbar) dan Mamuju Utara  (Sulbar) (Dok M. Noor  dkk/Balittra, 2008).


   
Gambar 7.  Keragaan tanaman lidah buaya (Aloe sp), nenas,  pisang dan pepaya di lahan gambut/bergambut Kalbar, Sulbar, dan Kalteng (Dok M. Noor  dkk/Balittra, 2008).  


Gambar 8.  Keragaan tanaman karet dan kelapa sawit di lahan gambut Kalteng, Kalbar, dan Kalsel (Dok M. Noor  dkk/Balittra, 2008).  



  
PENUTUP

Pemanfaatan lahan gambut berevolusi dari hanya sekedar untuk pemenuhan hidup sehari-hari dari  pemanfaatan hanya beberapa borong berubah menjadi lahan usaha tani dengan skala usaha beberapa hektar, seterusnya menjadi usaha perkebunan komersial dengan skala ratusan hektar dan kemudian menjadi suatu usaha agribinis modern dengan skala ribuan hektar. Pembukaan lahan gambut dimulai dari sistem handil atau parit kongsi oleh maysarakat setempat di Kalimantan,  Sumatera dan Sulawesi dengan skala puluhan hektar, berkembang menjadi skala skim dengan sistem anjir, system garpu, dan sistem sisir dengan luas pengembangan antara ribuan hektar, dan seterusnya sampai skala rice estate mega proyek dengan luas jutaan hektar.
Sejarah pembukaan lahan gambut, berdasarkan waktu, cara dan luas daerah yang dikembangkan dapat dibagi dalam 3 (tiga) era, yaitu (1) era periode 1945-1960an,  (2) era periode 1969-1995an dan (3) era periode 1995-2000an. Mengingat potensi dan fungsi lahan rawa dan gambut juga berkaitan dengan kekhasan keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah yang dikandungnya,  maka pengembangan dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan perlu mengintegrasikan antara aspek fungsi produksi, fungsi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya. Potensi lahan gambut yang maha luas dan sumber daya manusia Indonesia yang cukup besar merupakan modal utama yang sangat memungkinkan, selain kondisi lingkungan dan perkembangan teknologi yang menjadi pendukung sudah cukup tersedia.
Fakta ini menunjukkan bahwa lahan gambut dapat dikembangkan sebagai lahan pertanian dengan jenis komoditas yang beragam. Hanya saja diperlukan cara pengelolaan dan pengembangan yang seharusnya memperhatikan sifat dan kelakuan dari gambut yang sangat spesifik seperti mudah amblas, mudah kering, dan mudah rusak selain memerlukan asupan yang cukup tinggi untuk mencapai produktivitas yang optimal.

3 komentar:

Untuk saya yang menyukai sejarah, sangat menarik tulisan bapak tentang sejarah pembukaan lahan gambut di Indonesia ini, bisa untuk dijadikan bahan referensi. Kunjungi blog saya di http://nurindarto.blogspot.com/

KISAH NYATA..............
Ass.Saya ir Sugianto.Dari Kota Timor Leste Ingin Berbagi Cerita
dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi tapi semenjak
saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis,
saya sempat putus asa hampir bunuh diri,tapi saya buka
internet dan menemukan nomor Ki Kanjeng saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya di kasih solusi,
awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari Ki Kanjeng alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya,
sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI,terimah kasih Ki,mau seperti saya silahkan hub Ki
Kanjeng di nmr 085320279333 Kiyai Kanjeng,ini nyata demi Allah kalau saya tidak bohong,indahnya berbagi,assalamu alaikum.

KEMARIN SAYA TEMUKAN TULISAN DIBAWAH INI SYA COBA HUBUNGI TERNYATA BETUL,
BELIAU SUDAH MEMBUKTIKAN KESAYA !!!

((((((((((((DANA GHAIB)))))))))))))))))

Pesugihan Instant 10 MILYAR
Mulai bulan ini (Oktober 2015) Kami dari padepokan mengadakan program pesugihan Instant tanpa tumbal, serta tanpa resiko. Program ini kami khususkan bagi para pasien yang membutuhan modal usaha yang cukup besar, Hutang yang menumpuk (diatas 1 Milyar), Adapun ketentuan mengikuti program ini adalah sebagai berikut :

Mempunyai Hutang diatas 1 Milyar
Ingin membuka usaha dengan Modal diatas 1 Milyar
dll

Syarat :

Usia Minimal 21 Tahun
Berani Ritual (apabila tidak berani, maka bisa diwakilkan kami dan tim)
Belum pernah melakukan perjanjian pesugihan ditempat lain
Suci lahir dan batin (wanita tidak boleh mengikuti program ini pada saat datang bulan)
Harus memiliki Kamar Kosong di rumah anda

Proses :

Proses ritual selama 2 hari 2 malam di dalam gua
Harus siap mental lahir dan batin
Sanggup Puasa 2 hari 2 malam ( ngebleng)
Pada malam hari tidak boleh tidur

Biaya ritual Sebesar 10 Juta dengan rincian sebagai berikut :

Pengganti tumbal Kambing kendit : 5jt
Ayam cemani : 2jt
Minyak Songolangit : 2jt
bunga, candu, kemenyan, nasi tumpeng, kain kafan dll Sebesar : 1jt

Prosedur Daftar Ritual ini :

Kirim Foto anda
Kirim Data sesuai KTP

Format : Nama, Alamat, Umur, Nama ibu Kandung, Weton (Hari Lahir), PESUGIHAN 10 MILYAR

Kirim ke nomor ini : 085320279333
SMS Anda akan Kami balas secepatnya

Maaf Program ini TERBATAS . 20 orang saja

blognya sangat bermanfaat sekali

al falaq

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites