Sabtu, 29 Desember 2012

Kearifan Lokal Pertanian Lahan Rawa


KEARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM PERSPEKTIF PENGEMBANGAN PERTANIAN  DI LAHAN RAWA

Muhammad Noor  dan Achmadi Jumberi
  

PENDAHULUAN

Naiknya ikan-ikan jumlah besar di sekitar pantai Maluku Utara sebuah fenomena alam yang ternyata merupakan pertanda akan terjadinya gempa.  Fenomena ini telah diyakini oleh masyarakat Maluku Utara sehingga telah menyelamatkan mereka dari bencana letusan Gunung Kiebesi pada tahun 1988. Demikian juga, tsunami yang memporakporandakan Aceh dan Sumatera Utara pada bulan Desember 2005, dan juga tsunami yang melanda Daerah Istimewa dan Jawa Tengah pada bulan Juni 2006  lalu sebetulnya dapat dibaca, karena menurut pakar margasatwa Ratnayake, hewan-hewan mampu mendeteksi secara dini adanya bencana alam. Konon sebelum tsunami terjadi di atas angkasa wilayah Aceh Darussalam terlihat segerombolan kalong  yang sedang melakukan migrasi. Hal ini juga ditunjukkan oleh bukti, ternyata pada pasca tsunami tidak banyak ditemukan bangkai-bangkai hewan liar (Fauzi, 2006). Pengetahuan membuktikan bahwa hewan tertentu memiliki keunikan berupa kemampuan dan ketajaman insting yang lebih dibandingkan manusia. Misalnya kelelawar mampu memancarkan gelombang ultrasonik dari mulutnya sehingga dapat terbang cepat dan aman dalam keadaan gelap gulita malam.
Dalam perspektif kearifan budaya lokal, satwa seperti ikan, buaya, burung, kalong dan binatang liar lainnya juga bintang-bintang oleh masyarakat tradisional diamati sebagai fenomena alam yang kemudian dijadikan petunjuk baik sebagai tanda-tanda datangnya bencana alam ataupun musim dalam pertanian, seperti masyarakat Jawa Tengah mengenal Pranata Mangsa, masyarakat Bali mengenal Kerta Masa, masyarakat Sulawesi Selatan menyebutnya Palontara dan masyarakat Nusa Tenggara menyebutnya Nyali, maka  orang Dayak menyebutnya Bulan Berladang.    Masyarakat Dayak memilah Bulan Berladang yang membagi waktu menjadi Bulan 1, 2 sampai Bulan 12.   Bulan-4 sampai Bulan-6 yang menandakan saatnya penyiapan lahan, kemudian dilanjutkan dengan pembakaran dan Bulan-7 sampai Bulan-9 saatnya menyemai benih. Bulan-4 ditandai apabila buaya mulai naik ke darat untuk bertelur. Bulan-6 ditandai munculnya “Bintang Tiga” pada dinihari seperti kedudukan matahari jam 9.00 pagi bertepatan dengan bulan Juli, saat kegiatan penebangan telah selesai. Bintang-bintang yang ribuan banyaknya diantaranya yang muncul secara periodik juga diyakini oleh masyarakat, khususnya di Kalimantan sebagai pertanda akan datangnya air pasang atau mulainya air surut (Wisnubroto dan Attaqi, 1997). Masyarakat rawa lebak di Kalimantan Selatan menganal adanya bintang Baur Bilah yang apabila muncul di ufuk Barat pada senja hari menanda terjadinya kemarau panjang atau pendek dan sebaliknya apabila yang muncul bintang Karantika menandakan  tibanya musim hujan (Noorginayuwati dan Rafieq, 2007).  
Menurut Sutanto (2002) sangat sedikit pengetahuan tentang bagaimana pengelolaan lahan piasan (marginal) secara berkelanjutan, termasuk lahan rawa. Lahan piasan berarti lahan dengan kendala sosial ekonomi berat karena keadaan biofisik alaminya. Penelitian tentang potensi dan pengembangan lahan rawa yang termasuk wilayah tropika baru di mulai setelah tahun 1950-an yang jauh di belakang dari lahan di wilayah iklim sedang (temperate). Strategi pengembangan dan pembangunan di wilayah rawa ini lebih banyak bersifat coba-coba atau direncanakan sambil jalan atau sambil dikerjakan (Noor, 2001).  Kiblat dari para pemegang kebijakan dan para pakar di lahan piasan tropika pada dasarnya lebih banyak mengapresiasi cara-cara yang dilakukan atau dicapai di wilayah iklim sedang yang justru sering bertentangan dan menyebabkan banyak kegagalan (Sutanto, 2002). Tanpa disadari penawaran cara-cara dan teknologi inovasi yang diharapkan dapat diadopsi para petani dari para peneliti, malah ditolak oleh para petani. Penolakan ini disebabkan karena teknologi tersebut belum banyak menunjukkan hasil yang menguntungkan dan belum mampu meningkatkan pendapatan petani bahkan sebaliknya menimbulkan dampak kerusakan terhadap lingkungan. 
Menurut Fujisaka (1993) dan Pretty (1995) dalam Sunaryo dan Joshi (2003) ada beberapa alasan yang menyebabkan teknologi dan informasi yang ditawarkan ditolak para petani, antara lain: (1) Teknologi yang direkomendasikan seringkali tidak menjawab masalah yang dihadapi petani sasaran. (2) Teknologi yang ditawarkan sulit diterapkan petani dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan teknologi lokal yang sudah ada. (3) Inovasi teknologi justru menciptakan masalah baru bagi petani karena kurang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya setempat. (4) Penerapan teknologi membutuhkan biaya tinggi sementara imbalan yang diperoleh kurang memadai. (5) Sistem dan strategi penyuluhan yang masih lemah sehingga tidak mampu menyampaikan pesan dengan tepat. (6) Adanya ketidak-pedulian petani terhadap tawaran teknologi baru, seringkali akibat pengalaman kurang baik di masa lalu. (7) Adanya ketidak-pastian dalam penguasaan sumber daya (lahan, dan sebagainya).
Para pemegang kebijakan, pakar atau peneliti kadang kala kurang dapat memahami hambatan dan peluang yang berkembang di masyarakat sehingga teknologi yang dianjurkan tidak menyentuh pada akar permasalahan yang ada. Dengan demikian, diseminasi teknologi yang tidak tepat guna banyak yang tidak diadopsi oleh masyarakat. Para pakar pertanian membantah bahwa gagalnya masyarakat mengadopsi teknologi anjuran dikarenakan mereka konservatif, irrasional, malas atau bodoh (De Boef et al. dalam Sunaryo dan Joshi, 2003), tetapi lebih dikarenakan rancang-bangun teknologi anjuran tersebut tidak sesuai dengan  kondisi sosio-ekonomi dan ekologi masyarakat tani.
Perkembangan teknologi pada dasarnya tidak lepas dari perkembangan masyarakatnya dalam menyikapi perubahan atau dinamika lingkungan tempat mereka tinggal. Cerita panjang dan kejadian alam dari tempat mereka tinggal menjadi sumber inspirasi, termasuk tanggapan mereka dalam mengatasi gejolak alam yang menjadi catatan penting mereka, yang kemudian diceritakan dari generagi ke generasi sebagai pengetahuan dalam menyikapi alam dan perubahannya.  
Kesadaran untuk mengangkat dan menggali kembali pengetahuan lokal atau kearifan budaya masyarakat etnik muncul karena kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat dunia sekarang telah diiringi oleh pelbagai kerusakan lingkungan. Ke depan, masyarakat dunia dihantui akan berhadapan dengan semakin meningkatnya degradasi sumber daya lahan dan lingkungan serta pencemaran yang meluas baik di daratan, laut maupun udara.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengemukakan tentang pengertian kearifan budaya lokal dan kearifan budaya lokal dalam perspektif pengembangan pertanian di lahan rawa.


PENGERTIAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL



Manusia mempunyai kapasitas untuk mencerap apa yang terjadi di sekelilingnya, selanjutnya menganalisis dan menafsirkan baik sebagai hasil pengamatan maupun pengalaman, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Jadi pengetahuan merupakan keluaran dari proses pembelajaran, penjelasan berdasarkan pemikiran dan persepsi mereka. Namun demikian dalam tataran falsafah ilmu, pengetahuan bukanlah merupakan kebenaran yang bersifat mutlak atau hakiki. Pengetahuan sendiri tidak mengarah ke suatu tindakan nyata. Di balik pengetahuan atau di sisi pengetahuan dalam masyarakat ada norma budaya atau kewajiban yang dapat mempengaruhi arah keputusan yang diambil baik kemudian bersifat positif maupun negatif.
Pilihan tindakan tidak lepas juga dari pertimbangan faktor-faktor eksternal seperti kekuatan pasar, kebijakan pemerintah, termasuk kondisi keuangan rumah tangga petani sendiri sehingga mungkin mendorong petani untuk memilih tindakan pengelolaan yang sederhana (sub-optimal) baik secara teknis maupun ekologis. Namun petani dapat belajar akibat dari tindakan mereka dan akan memperkaya serta mempertajam pengetahuannya. Pengamatan dan tanggapan seksama terhadap hasil uji coba atau observasi, bahkan kerugian akibat serangan hama dan penyakit serta kerusakan akibat alam (musim, iklim) akan lebih memperkaya sistem pengetahuannya. Lebih lanjut, tambahan pengetahuan petani juga mungkin diperoleh dari sumber eksternal seperti radio, televisi, tetangga dan penyuluh. Ringkasnya, sistem pengetahuan petani bersifat dinamis, karena terus berubah sesuai dengan waktu dan interaksi dengan lingkungan yang berkembang.
Menurut Johnson (1992) dalam Sunaryo dan Joshi (2003), pengetahuan indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan inovasi atau uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan masukan internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru setempat. Oleh karena itu pengetahuan indigenous ini tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis atau tak berubah.
Pengetahuan indigenous ini berkembang melalui tradisi lisan dari mulut ke mulut atau melalui pendidikan informal dan sejenisnya dan selalu mendapatkan tambahan dari pengalaman baru, tetapi pengetahuan ini juga dapat hilang atau tereduksi. Sudah tentu, pengetahuan-pengetahuan yang tidak relevan dengan perubahan keadaan dan kebutuhan akan hilang atau ditinggalkan. Kapasitas petani dalam mengelola perubahan juga merupakan bagian dari pengetahuan indigenous. Dengan demikian, pengetahuan indigenous dapat dilihat sebagai sebuah akumulasi pengalaman kolektif dari generasi ke generasi yang dinamis dan yang selalu berubah terus-menerus mengikuti perkembangan zaman.
Indigenous berarti asli atau pribumi. Kata indigenous dalam pengetahuan indigenous merujuk pada masyarakat indigenous. Yang dimaksud dengan masyarakat  indigenous di sini adalah penduduk asli yang tinggal di lokasi geografis tertentu, yang mempunyai sistem budaya dan kepercayaan yang berbeda dengan sistem pengetahuan dunia intelektual/internasional. Kenyataan ini menyebabkan banyak pihak yang berkeberatan dengan penggunaan istilah pengetahuan indigenous dan mereka lebih menyukai penggunaan istilah pengetahuan lokal (Sunaryo dan  Joshi, 2003).
Pengetahuan lokal merupakan konsep yang lebih luas yang merujuk pada pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu untuk jangka waktu yang lama. Pada pendekatan ini, kita tidak perlu mengetahui apakah masyarakat tersebut penduduk asli atau tidak. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana suatu pandangan masyarakat dalam wilayah tertentu dan bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungannya, bukan apakah mereka itu penduduk asli atau tidak. Hal ini penting dalam usaha memobilisasi pengetahuan mereka untuk merancang intervensi yang lebih tepat-guna.
Dalam beberapa pustaka istilah pengetahuan indigenous sering kali dirancukan dengan pengetahuan lokal. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kata indigenous dalam pengetahuan indigenous lebih merujuk pada sifat tempat, dimana pengetahuan tersebut berkembang secara ‘in situ’, bukan pada asli atau tidaknya aktor yang mengembangkan pengetahuan tersebut. Jika kita berpedoman pada konsep terakhir ini, maka pengetahuan indigenous sama dengan pengetahuan lokal dan dalam paparan selanjutnya kedua istilah tersebut berarti sama. Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan wilayah yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Adakalanya suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem bertani mereka. Karenanya teknologi eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri. Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, sumber daya alam dan bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik di dalam teknik bertani maupun keterampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam. Jadi pengetahuan indigenous tidak hanya sebatas pada apa yang dicerminkan dalam metode dan teknik bertaninya saja, tetapi juga mencakup tentang pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan meteorologis. Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos, yang dianut dalam jangka waktu cukup lama inilah yang disebut ’kearifan budaya lokal’. 


KEARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM PERSPEKTIF PERTANIAN DI LAHAN RAWA


Pertanian di lahan rawa berkembang seiring dengan keberhasilan para petani pioner yang menggeluti lahan rawa ratusan tahun silam. Keberhasilan para pioner ini memberikan inspirasi bagi pemerintah kemudian untuk membuka lahan rawa secara besar-besaran di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi seiring dengan krisis pangan yang menimpa Indonesia setelah Perang Dunia II (Notohadiprawiro, 1996).
Pengembangan daerah rawa di Kalimantan dimulai sejak abad 13 Masehi saat Kerajaan Majapahit memperluas pengaruhnya. Raja Prabu Jaya sebagai keturunan Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit dicatat telah mengadakan pembukaan lahan rawa untuk pemukiman dan pertanian di Sungai Pawan, Kalimantan Barat.  Pengembangan rawa di Kalimantan Selatan di mulai pada tahun 1920, yaitu seiring dengan pembangunan jalan besar melintasi rawa gambut sepanjang 14 km yang bersambungan dengan tanah pasir (sekarang termasuk dalam Kec. Kertak Hanyar dan Kec. Gambut, Kabupaten Banjar). Dikedua sisi jalan tersebut terbentuk saluran air (sungai), sehingga air di lahan rawa tersebut dapat tersalurkan ke sungai besar. Dengan terbukanya jalan tersebut, orang mencoba bersawah dan ternyata memberikan hasil yang baik.  Pada tahun 1927 lahan di kedua sisi jalan tersebut sudah habis terbuka. Petani yang baru datang mulai membuat parit-parit melintang di kedua sisi jalan untuk membuka lahan di bagian dalam dari jalan tersebut. Pembukaan sawah ini berlanjut dari tahun ke tahun dengan cara pembuatan parit-parit.  Kemudian pada tahun 1928, mulai juga dibuka dengan pembuatan sawah di Anjir Serapat, pada lahan bekas kebun karet yang terbakar, sehingga daerah Anjir Serapat pun menjadi tempat tujuan petani untuk bersawah.
Pada tahun 1935, dibuat parit besar dari km 14 (sekarang Kec. Gambut) sampai ke Aluh-aluh serta perbaikan Sungai Pemurus dan Sungai Kelayan, sehingga lahan di wilayah rawa tersebut berangsur menjadi sawah dan pembukaan sawah meluas hingga ke Kurau dan Aluh-aluh.  Pada tahun 1937, penduduk dari Hulu Sungai berdatangan ke daerah Anjir Serapat untuk membuka sawah. Kondisi Anjir Serapat menjadi lebih baik setelah selesai diperdalam dengan kapal kerok pada tahun 1935.
Pada tahun 1938, oleh pemerinmtah Belanda dilakukan program kolonisasi (sekarang diistilahkan dengan transmigrasi) yaitu petani dari Jawa didatangkan untuk memanen padi di daerah Kertak Hanyar, sambil belajar bersawah di lahan rawa pasang surut. Kemudian mereka disediakan lahan di Kampung Tamban, daerah Anjir Serapat, sekarang menjadi Kampung Purwosari (Idak, 1948). Petani dari Jawa selanjutnya didatangkan lagi setiap tahun hingga tahun 1941.
Pembuatan Anjir Tamban dimulai tahun 1941, berawal dari Sungai Barito dan setelah mencapai dua kilometer pembuatan terhenti karena Perang Dunia II. Kemudian pembuatan Anjir Tamban dilanjutkan hingga mencapai 14 km pada tahun 1952. Pada tahun 1956-57, pembuatan anjir dilanjutkan sepanjang 25 km, hingga mencapai Sungai Kapuas (Sarimin and Bernsten, 1984).
            Pemerintah (Belanda) sejak tahun 1934 juga sudah menaruh perhatian terhadap pertanian di lahan rawa lebak yaitu dengan dimulai pembuatan polder untuk mengendalikan air di lahan rawa lebak di daerah Alabio dan Martapura. Pada tahun 1939 disusun Rentjana Perbaikan dan Perluasan Persawahan dalam Groupsgemeenschap Bandjar yang mencakup wilayah rawa pasang surut. Pada tahun 1958 pemerintah membuka Rice Project komplek Belandean secara besar-besaran di lahan pasang surut, sejak saat itu nama Sawah Pasang surut dikenal di Indonesia (Idak, 1967).
Dengan demikian, maka praktek-praktek pertanian di lahan rawa yang sekarang berkembang tidak lepas dari upaya petani-petani pioner yang dengan gigih menyiasati kondisi alam yang penuh dinamika dan bahkan adakalanya kurang bersahabat. Keadaan tanah dan lingkungan rawa bersifat khas dan sangat beragam. Salah satu aspek yang sangat khas adalah kondisi air yang silih berganti pasang dan surut. Sebagian, hampir sepanjang tahun tergenang yang dapat bersifat mendadak ataupun bertahap pasang/banjir. Sifat tanah dan air cepat berubah masam (bangai = bahasa Banjar) serta kelarutan besi, alminium, sulfat dan asam-asam organik yang tinggi. Praktek-praktek pertanian di lahan rawa ini konon juga tidak lepas dari introduksi bangsa China yang sejak abad ke 13 Masehi telah melakukan invasi perdagangan ke Kalimantan yang secara tidak langsung mengajarkan juga cara bertani dan beternak.   
            Penggalian terhadap kearifan budaya lokal di lahan rawa ini sudah dilakukan oleh para peneliti dari berbagai lembaga dan institusi baik di Indonesia maupun dari luar Indonesia, namun lebih menitik beratkan pada aspek antrophologi dan ekologi.  Beberapa kearifan budaya lokal dalam pertanian di lahan rawa berpotensi untuk dikembangkan seperti halnya yang telah berkembang di Jawa seperti sistem walik jerami, di Bali seperti sistem subak, dan di Jawa Barat sistem embung. Kearifan budaya lokal dalam pertanian di lahan rawa sebagai contoh antara lain dikenal dengan tanam padi sistem banjar yaitu sistem penyiapan lahan tajak-puntal-balik-hambur dan sistem persemaian taradak-ampak-lacak, serta sistem penataan lahan tongkongan yang sudah banyak dikenal dan diteliti. Kearifan budaya lokal ini tentu saja sudah berakar di masyarakat sehingga dapat memperkaya inovasi yang terus berkembang. Hasil penelitian dan penggalian terhadap petani di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat menunjukkan ada beberapa hal yang menarik dari masyarakat petani di lahan rawa (Hidayat, 2000; Noor, 2007; Supriyo dan Jumberi, 2007; Ar-Riza et al., 2007; Noor, HDj. et al., 2007; Noorginayuwati dan Rafieq, 2007; Noorginayuwati et al., 2007)  antara lain:
1.    Pola pemukiman dan konstruksi rumah yang dikenal dengan rumah lanting untuk di pinggir tepian sungai dan rumah panggung, rumah betang atau bertiang tinggi di daratan lahan atas.
2.    Pola pertanian dan pola tanam yang dikenal dengan banih tahun, padi surung, padi rintak.
3.    Pengelolaan dan konservasi tanah dan air yang dikenal antara lain sistem handil, sistem anjir, dan sistem tabat
4.    Pengelolaan kesuburan lahan yang dikenal antara lain pemberian garam, abu, pengelolaan kompos (tajak-puntal-hambur) untuk padi sawah, dan melibur untuk tanaman tahunan seperti jeruk, kelapa dan karet.
5.    Peralatan pertanian yang merupakan produk lokal dan secara meluas digunakan di lahan rawa antara lain sundak, tajak, tatajuk, ranggaman, lanjung, tikar purun, kakakar, gumbaan, kindai, kalumpu dan lain sebagainya.
6.    Sistem sosial kemasyarakatan yang berhubungan dengan organisasi/kelompok seperti handil (saluran irigasi dan drainase) dipimpin oleh kepala handil meliputi kawasan handil sepanjang 2-3 km dan berperan sebagai pengelolaan air dan pertanian setempat, termasuk perawatan saluran.

Kearifan budaya lokal di atas sekarang sebagian masih bertahan, tetapi sebagian juga sudah mulai pudar atau hilang karena tuntutan perkembangan sosial budaya masyarakat  dengan muncul berbagai pilihan.  Sejatinya pilihan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan sementara atau jangka pendek,  tetapi mengakibatkan kemerosotan jangka panjang dalam aspek lingkungan. Pada hakekatnya kearifan budaya lokal dapat bertahan dengan upaya adaptasi atau penyesuaian-penyesuaian dengan mengikuti kondisi atau tuntutan yang berkembang.

 

PENUTUP


            Kesadaran untuk mengangkat dan menggali kembali pengetahuan lokal atau kearifan budaya lokal adalah karena kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat dunia sekarang telah diiringi oleh pelbagai kerusakan lingkungan. Ke depan  semakin dirasakan terjadinya peningkatan baik luas maupun intensitas adanya degradasi sumber daya lahan dan lingkungan serta pencemaran baik di biosfer, hidrosfer, maupun atmosfer.  Sementara di beberapa belahan dunia yang bertahan dengan praktek-praktek pertanian berdasarkan pengetahuan lokal dan indegenous telah berhasil mewariskan sumber daya lingkungannya (hutan, lahan, tanah dan keanekaragaman hayatinya) secara utuh dari generasi ke generasi.  Hal ini menunjukkan pentingnya pembelajaran dan penggalian terhadap sumber-sumber kearifan budaya lokal.
Dengan demikian pengetahuan indigenous atau kearifan budaya lokal sebagai sebuah akumulasi pengalaman kolektif dari generasi ke generasi perlu dikembangkan sebagai bagian dalam memperkaya dan melengkapi rakitan inovasi teknologi pertanian masa depan yang berkelanjutan, termasuk untuk pengelolaan dan pengembangan budidaya pertanian di lahan rawa.
Penggalian terhadap kearifan budaya lokal di lahan rawa ini sudah dilakukan oleh para peneliti dari berbagai lembaga dan institusi baik di Indonesia maupun dari luar Indonesia. Beberapa kearifan budaya lokal dalam pertanian di lahan rawa berpotensi untuk dikembangkan seperti halnya yang telah berkembang di beberapa wilayah dalam sistem pertanian organik atau sistem pertanian dengan masukan rendah (LIESA).


DAFTAR PUSTAKA

Ar-Riza, I., H.Dj. Noor dan N. Fauziaty. 2007.  Kearifan lokal dalam budidaya padi di lahan rawa lebak. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.

Fauzi, H. 2006.  Memahami fenomena alam pertanda bencana. Opini dalam Banjarmasin Post, 30 September 2006

Hidayat, T. 2000. Studi kearifan budaya petani Banjar dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut. Jurnal Kalimantan Agrikultura 7(3), Desember 2000. Hlm. 105-111. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

Idak, 1948. Rentjana guna memperbaiki dan menambah luas sawah dalam District Bandjermasin dan Bakumpai. Adjunct Landbouwconsulent. Bandjermasin.

Idak, 1967. Perkembangan dan sedjarah persawahan di Kalimantan Selatan.

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Kanisuis. Yogyakarta. 179 hlm.

Noor,  M., M. Alwi, dan K. Anwar 2007.  Kearifan budaya lokal dalam perspektif kesuburan tanah dan konservasi air di lahan gambut. Dalam  Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.

Noor, H.Dj., S.S. Antarlina dan I. Noor. 2007;  Kearifan lokal dalam  budidaya jeruk  di lahan rawa. Dalam  Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.

Noorginayuwati dan A. Rafieq. 2007. Kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan lebak untuk pertanian di Kalimantan. Dalam  Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.

Noorginayuwati, A. Rafieq, M. Noor, dan A. Jumberi. 2007. Kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian di Kalimantan. Dalam  Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.

Notohadiprawiro, 1996. Contrains to achiving the agricultural potential of tropical peatlands – an Indonesien perspective. In E. Maltby et al. (eds). Proc. of A Workshop on Integrated Planning and Management of Tropical Lowland  Peatland. IUCN. p.139-154.

Sarimin, T. and RH. Bernsten, 1984. Agroeconomic profile of an old transmigration area in the tidal swamp environment. p. 197-207 In Workshop on Research Priorities in Tidal Swamp Rice. International Rice Research Institute.

Sunaryo dan L. Joshi. 2003. Peranan pengetahuan ekologi lokal dalam sistem agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor, Indonesia

Supriyo, A.  dan A. Jumberi, 2007. Kearifan lokal dalam  budidaya padi di lahan rawa pasang surut. Dalam  Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.

Sutanto, R. 2002. Tantangan global menghadapi kerawanan pangan dan peranan pengetahuan tradisional dalam pembangunan pertanian. Dalam F. Wahono et al. (eds) Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. CPRC. Yogyakarta. Hlm. 67-84.

Wisnubroto, S. dan R. Attaqi. 1997. Pengenalan waktu tradisional ”Bulan Berladang” kesamaaannya dengan keadaan meteorologis dan pemanfaatannya untuk pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan:1(1), Desember 1997: Hlm. 61-66. Fak. Pertanian Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta.

________________________________

Keterangan : Tulisan ini bagian dari Buku Monograf  yang berjudul : Kearifan Lokal Pertanian di Lahan Rawa, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, 2006.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites