Lidah Buaya di Lahan Gambut

budidaya lidah buaya di lahan gambut Kalimantan Barat mempunyai nilai komparatif yang cukup baik

Budidaya Kelapa Sawit Di Lahan Gambut

Pengembangan kelapa sawit sangat pesat termasuk di lahan gambut yang menjadi primadona

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 24 Januari 2013

Ubi Alabio: Komoditas Rawa Lebak




Ubi Alabio  :  Potensial Menjadi Komoditas Ekspor 

Ubi  Alabio (Dioscorea alata, L) adalah sejenis umbi-umbian yang  sudah lama dikenal sebagai tanaman pangan yang di Pulau Jawa disebut dengan uwi atau huwi. Ubi alabio oleh masyarakat Kalimantan Barat disebut juga dengan Kribang. Ubi alabio dibudidayakan cukup luas di lahan rawa lebak yaitu wilayah yang  dicirikan oleh genangan 50 cm sampai > 2 m dengan lama genangan 3-6 bulan. Komoditas ini sekarang banyak diminati petani, khususnya di Kalimantan Barat karena permintaan eksporter dari Malaysia dan Singapore dengan harga cukup baik.   Nama Alabio sendiri diambil dari nama salah satu daerah di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang sering diplesetkan dengan kalimat satir  I love you.   

Sejarahnya masuknya ubi alabio ini dan kapan mulai dibudidayakan belum diketahui secara pasti. Namun dapat dipastikan, keberadaan ubi alabio  sekarang adalah merupakan warisan secara turun temurun dari masyarakat generasi jauh sebelumnya di lahan rawa lebak. Boleh jadi masuknya ubi alabio bersamaan dengan mulai dibukanya rawa untuk budidaya pertanian yang tercatat dimulai pada abad  ke 13, yaitu pada era Kerajaan Majapahit. Raja Prabu Jaya sebagai keturunan Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit pada zamannya dicatat telah mengadakan ekspansi dengan pembukaan lahan rawa gambut untuk pemukiman dan pertanian di daerah aliran Sungai Pawan, Kalimantan Barat.  

Budidaya ubi alabio di lahan rawa sangat unik terkait dengan keunikan agroekosistem rawa lebak  baik lebak dangkal dan tengahan dengan sistem monokultur atau dengan sistem tumpangsari.  Ubi alabio di lahan rawa lebak pada musim hujan yang biasanya tergenang, ditanam dengan sistem surjan atau galangan yang ditumpang sari dengan padi, sedang pada musim kemarau ditanam secara monokultur dengan hamparan.  Padi ditanan pada bagiaan bawah surjan, sedang uwi ditaanam di atas surjannya. Kadang-kadang uwi ditanam bersama-sama dengan tanaman sayur disela-sela antara tanaman uwi seperti cabai, tomat, terung, jagung dan kacang panjang.

Ubi Alabio di  Rawa Lebak
Kelompok (genus) Dioscorea sebetulnya cukup banyak terdiri sekitar 600 spisies, diantaranya 50- 60 spisies yang dibudidayakan dan telah dimanfaatkan sebagai tanaman pangan dan obat.   Hasil eksplorasi di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur menunjukkan terdapat 13 macam varian ubi Dioscorea alata.L.  yaitu : uwi kelopo, uwi bangkulit, uwi ireng,  uwi alas, uwi kletet, uwi randi, uwi layer, uwi senggrani, uwi  bangkong, uwi putih, uwi gantung, uwi ndoro, dan  uwi dursono  (Trimanto,2012).  Sementara di Kalimantan Selatan juga dibemukan banyak jenis yang dapat dibedakan bentuk, warna dan rasa terdapat beberapa varietas komoditas ini antra lain seperti uwi Nyiur, uwi Jawa, uwi Cina, uwi habang harum, uwi kesumba atau jaranang uwi tongkat atau tiang, uwi ketan atau tongkol.  Khusus di lahan rawa lebak  Kalimantan Selatan dikenal beberapa varietas lokal antara lain ubi alabio, diantaranya ubi alabio putih, ungu dan ungu carang. Selain untuk pangan segar, ubi alabio juga dapat dijadikan bahan industry pati dan alcohol terakhir diduga mempunyai nilai karoten tinggi sehingga  dapat menjadi bahan biofarmaka.

Karakteristik Agronomi Ubi Alabio
Ubi alabio tumbuh merambat termasuk tanaman perdu. Tinggi tanaman pada umur 2 bulan rata-rata 203,4 cm.  Menjelang panen 4-6 bulan merambat dapat mencapai 3,0 sampai 10 meter.  Jumlah cabang rata-rata 16  jumlah umbi rata-rata 1 buah/cabang, bentuk umbi bundar, panjang umbi rata-rata 20,7 cm. Pemupukan dapat menambah panjang dan besar umbi, misalnya pada ubi alabio putih dengan pemupukan, panjang umbi meningkat mencapai kisaran 20 sampai dengan 28 cm. Diameter umbi mempunyai kisaran antara 6,2-7,6 cm dan lingkar keliling umbi rata-rata 31,8 cm. Berat umbi antara 0,5  sampai 1,3 kg dengan rata rata 0,9 kg. 

Kandungan Gizi
Ubi alabio mengandung selain karbohidrat, juga protein, lemak dan vitamin-vitamin penting bagi kesehatan.  Kandungan protein dari ubi alabio antara 5,5- 14,0 %, dengan rata rata  9,0 % lebih besar dibadingkan dengan ubi jalar.  Kandungan protein, lemak dan dan serat dari ubi alabio lebih tinggi dibandingkan umbi-umbi lain Tabel 1.

Tabel 1. Nilai komposisi gizi ubi alabio, buka kayu, ubi jalar dan kentang
No.
Kandungan

Nilai  kandungan gizi

Ubi Alabio
Ubi kayu
Ubi jalar
Kentang
1
Air (%)
13-16,4
62
57-68
77
2
Lemak (%)
1,0-2,0
0,0
0,7
0,1
3
Protein (%)
5,5-14,0
0,7
1,8
2,0
4
Kabohidrat (%)
55,9-68,4
35
19-27
19
5
Abu (%)
2,3-6,5
0,8
1,0
0,8
6
Serat kasar (%)
5,5-9,6
0,8
1,0
1,0







Sumber : BIP  dalam Noor  (1997)

Potensi Produksi & Ekspor 
Potensi produksi ubi alabio di lahan rawa lebak masih tergolong rendah karena umumnya petani tidak menerapkan pemupukan yang cukup dan tepat,perawatan, dan  teknik budidaya yang baik. Hasil penelitiian menunjukkan sumbangan ubi alabio dapat mencapai antara 31-39% dari total pendapatan usaha tani di lahan rawa lebak. Produktivitas ubi alabio sendiri antara 30-40 ton umbi segar per hektar yang tidak kalah dengan ubi jalar. Berdasarkan informasi petani di Kalimantan Barat permintaan ubi alabio atau kripang untuk pangsa ekspor Malaysia dan Singapure belum dapat dipenuhi seluruhnya sehingga peluang untuk perluasan ataupun peningkatan produksi karena pasar sudah tersedia .  Harga sekarang di tingkat petani di Kalimantan Barat sekitar Rp. 8.000,0/kg harga ini jauh dibandingkan umbi-umbi lainnya hanya sekitar Rp. 4.000-5.000 ribu/kg. Apabila tingkat produktivitas dapat dicapai 20 ton/ha maka penerimaan petani dapat mencapai Rp. 160 juta per hektar/musim dengan dipotong upah Rp.15-25 juta (265 HOK) maka pendapatan petani dapat mencapai Rp.135-145 juta. Namun apabila para petani menanamnya hanya di guludan (surjan) produktivitasnya hanya 1,6-3,5 ton/ha maka penerimaan dari ubi alabio mencapai Rp. 12,8-28,0 juta, diluar penerimaan padi dan sayur-sayuran.
________________________________
Penulis : Muhammad Noor, Dakhyar Nazemi dan Muhammad Saleh masing-masing Peneliti Utama bidang Kesuburan dan Biologi Tanah, Peneliti Madya bidang Agronomi, dan  Bidang Genetika dan Pemuliaan Tanaman pada Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa

Kamis, 03 Januari 2013

Karakterisasi dan Reklamasi Rawa Gambut Bongkor





Karakteristik dan Reklamasi Lahan Rawa Pasang Surut Gambut Bongkor dengan Pemanfaatan Bahan Alami untuk Meningkatkan Produktivitas
Padi dan Palawija

Muhammad Noor,  Anna Hairani, Muhammad,
Siti Nurzakiah,
dan Yanti Rina


PENGANTAR

Laporan penelitian ini merupakan penelitian kerjasama kemitraan antara Badan Litbang Pertanian (KEMTAN) dengan Kementerian Riset dan Teknologi (RISTEK) melalui APBN 2011. Penelitian disusun dalam bentuk percobaan laboratorium dan rumah kaca pada 2 (dua) lokasi penelitian kegiatan, yaitu Sidomulyo Wanaraya (Kab Barito Kuala, Kalsel) dan Pangkoh (Kab Pulang Pisau, Kalteng). Hasil yang disampaikan dalam laporan ini dibatasi oleh waktu kontrak sehingga hanya sampai batas akhir pengamatan yang terkumpul. Data lain yang belum dilaporkan sedang diolah palawija (jagung) dan sosial, ekonomi dan persepsi petani tentang lahan bongkor. 
Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada para staf penelitian dan litkayasa Sdr Nadlir, M. Hatta dan Wahyudi yang banyak membantu dan bapak petani yang lahannya digunakan, yaitu bapak Supani dan kawan-kawan di Pangkoh, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah dan bapak Achmad di Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Akhir kata kami mengucapkan banyak terima kasih atas segala saran dan kritiknya dan semoga kiranya bermanfaat.

RINGKASAN

Penelitian disusun dalam bentuk percobaan laboratorium dan rumah kaca pada 2 (dua) lokasi penelitian kegiatan, yaitu Sidomulyo Wanaraya (Kab Barito Kuala, Kalsel) dan Pangkoh (Kab Pulang Pisau, Kalteng). Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter penciri utama yang dapat dijadikan indikator untuk lahan bongkor  tingkat kemasaman tanah (pH > 4,0) dan air (pH < 3,5), besi tinggi (Fe2+ > 285 ppm), dan  sulfat masam (SO42- > 3500 ppm). Intensitas kebongkoran pada lahan sulfat masam menunjukkan lebih tinggi dibandingkan lahan gambut.  Perbaikan kemasaman untuk mencapai pH 4,0 dan 4,5 diperlukan  1,75 t kapur dolomit/ha 5,19 t kapur  dolomit/ha, dan 8,62 t kapur dolomit/ha untuk lahan sulfat masam, sedangkan untuk lahan gambut karena pH awal sudah mencapai  pH 4,5 maka untuk perbaikan kemasaman hanya diberikan kapur dolomit secukupnya 0,25 t/ha yang sifatnya menjaga kesetimbangan hara.  Perbaikan kemasaman menunjukkan semakin kuat reaktivitasnya dengan semakin lama. Pupuk kandang (P) menunjukan pengaruh lebih baik dibandingkan dengan biotara (B) dan organowa (O). Pengaruh masing-masing bahan amelioran, khususnya biotara tampak lebih efektif apabila diikuti dengan perbaikan kemasaman (pH 4,5).  Pertumbuhan tanaman padi di lahan gambut lebih baik dibandingkan dengan tanah sulfat masam.  Pengaruh pemberian bahan baik biotara, organowa, pupuk kandang pada lahan sulfat masam tidak berbeda nyata. Pengaruh biotara terhadap tinggi tanaman padi di lahan gambut menunjukkan paling rendah, sementara  di lahan sulfat masam paling rendah diperoleh pada kontrol.  Namun demikian pertumbuhan jumlah anakan pada lahan gambut lebih tinggi dibandingkan dengan lahan  sulfat masam. Berdasarkan jumlah anakan yang dicapai maka perbaikan kemasaman (dari pH 4,0 menjadi pH 5,0)  pada lahan gambut mencapai 25%, tetapi pada lahan sulfat masam menunjukkan hampir tidak berpengaruh. Sementara pengaruh paling baik ditemukan pada pupuk kandang dibadingkan biotara atau organowa.


I.   PENDAHULUAN

1.1.        Latar Belakang
Lahan  rawa bongkor adalah lahan gambut atau lahan sulfat masam yang telah terdegradasi sebagai akibat kesalahan pengelolaan dan faktor alami sehingga tidak sesuai lagi untuk pertumbuhan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Menurut Idjudin (1990) 40% dari luas baku lahan rawa yang telah dibuka di Riau, Sumatera Selatan, dan Kalbar telah menjadi lahan bongkor.  Maas (2003) menyatakan antarar 60-70% atau sekitar 600 ribu hektar lahan rawa yang telah dibuka menjadi lahan bongkor.  Kerusakan tanah di lahan rawa disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait secara langsung dan atau tidak langsung.  Kebakaran dan kekeringan merupakan faktor penyebab utama kerusakan lahan rawa (bongkor). Faktor penyebab lain adalah kesalahan dalam pengelolaan seperti tersingkapnya pirit akibat pengolahan tanah, pembuatan surjan, pembuatan saluran, dan lain sebagainya. Umumnya lahan rawa bongkor ditinggalkan petani atau tidak lagi ditanami karena produktivitas lahan atau hasil tanaman yang diperoleh sangat rendah sehingga petani selalu rugi (Sutikno et al, 1998; Noorginayuwati dan Noor, 1999).
Secara alami lahan rawa bongkor ini dapat kembali menjadi lahan produktif dengan dihutankan kembali, tetapi memerlukan waktu yang lama. Dalam konteks pengembangan pertanian, lahan rawa bongkor yang sudah direklamasi dan pernah ditanami dapat dipulihkan kembali dengan penerapan perbaikan pengelolaan lahan, air dan hara (Widjaya Adhi et al., 2002). Pemulihan  produktivitas lahan rawa bongkor mempunyai peluang dengan memberikan perlakuan khusus a sehingga sifat-sifat fisika dan kimia tanah berubah menjadi lebih baik. Teknologi pemulihan lahan rawa bongkor ini tergantung pada kondisi lahan dan lingkungan fisiknya sehingga diperlukan identifikasi, karakterisasi dan inventarisasi sebelum dilakukan pemulihan. Lahan bongkor yang mengalami kerusakan ringan memerlukan asupan teknologi lebih sederhana dibandingkan dengan yang sudah mengalami kerusakan berat (Sutikno et al, 1998; Noor, 2010).

1.2.  Tujuan Penelitian

1.      Mendapatkan nilai penciri dari sifat fisika, kimia biologi tanah utama dari lahan gambut dan sulfat masam yang bongkor,
2.      Merumuskan nilai kuantitatif sifat fisik, kimia, dan biologi tanah lahan rawa (gambut dan sulfat masam) untuk lahan bongkor
3.      Mendapatkan teknologi pemulihan (remediasi) produktivitas lahan rawa bongkor dengan pemanfaatan bahan amelioran alami, pupuk hayati/organik hasil produk BALITTRA.

1.3.        Keluaran Penelitian
1.      Nilai kuantitatif penciri dari sifat fisika, kimia biologi tanah utama dari lahan gambut dan sulfat masam yang bongkor,
2.      Teknologi pemulihan (remediasi) produktivitas lahan rawa bongkor dengan pemanfaatan bahan amelioran alami, pupuk hayati/organik hasil produk BALITTRA.



II.  TINJAUAN PUSTAKA

Rendahnya pencapaian produksi dari lahan pasang surut, khususnya sulfat masam dan lahan gambut, selain karena faktor tanah dan lingkungan, juga ketersediaan teknologi seperti pengelolaan air, lahan, dan tanaman. Pengelolaan lahan terkait dengan fertlisasi dan ameliorasi. Dalam PP Mentan Pertanian No.40/2007  penetapan rekomendasi pemupukan masih bersifat umum (Badan Litbang Pertanian-IRRI, 2008). Dalam Buku Petunjuk Teknis Lapang  PTT Padi Lahan Rawa Pasang Surut dinyatakan bahwa pemberian pupuk N dengan BWD (bagan Warna Daun) sering rancu karena gejala keracunan besi dan gejala defisiensi N pada daun sering baur. Sedangkan penentuan takaran pemupukan P dan K diusulkan untuk didasarkan pada status hara tanah. Lebih jauh, penelitian tentang penggunaan PUTS (Perangkat Uji Tanah sawah) dalam petak omisi di lahan rawa pasang surut masih perlu penelitian (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Hasil-hasil  penelitian sebelumnya menunjukkan pemupukan berbasis status dan neraca hara pada padi di lahan rawa pasang surut khususnya pada lahan sulfat masam dan gambut sangat dipengaruhi oleh pemberian bahan amelioran (kapur dolomit dan pupuk kandang) (Noor et al., 2009). Pemberian dolomit untuk perbaikan pH dari 3,5-4,0 menjadi pH 4,5 menunjukkan pengaruh lebih kuat daripada pemberian pupuk kandang. Sementara pengaruh pemberian pupuk dengan 3 (tiga) tingkat takaran menunjukkan pengaruh lebih nyata pada kombinasi dengan pemberian dolomit dibandingkan tanpa dolomit pada lahan sulfat masam dan lahan gambut, tetapi kurang menunjukkan pengaruh yang nyata pada lahan potensial (Noor et al, 2010). Variabilitas tanah di lahan rawa pasang surut sangat tinggi sehingga perlu pemilahan berdasarkan sifat spesifik lokasi yang dikembangkan (Noor dan Anwar, 2008). Oleh karena itu, peningkatan produktivitas dari lahan bongkor yang telah lama ditinggalkan petani dengan penanaman kembali padi dan palawija dengan pemanfaatan bahan alami setempat, termasuk mikroba alami  dengan tujuan peningkatan produksi hasil padi 20% dan palawija 15% dari yang dihasilkan sementara (eksisting) merupakan salah satu upaya dalam strategi optimalsiasi lahan rawa.




III.  METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di laboratorium, rumah kaca dan dilanjutkan di lapang pada lahan petani.  Penelitian terdiri dari 3 (tiga) kegiatan. Untuk tahun I kegiatan 1 dan 2, Tahun II kegiatan 2 dan 3, sedang tahun III kegiatan 3 dengan dua lokasi (Tabel 1). Kriteria dan karakterisasi lahan berdasarkan Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (Balai Penelitian Tanah, 2006). Lokasi penelitian di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan untuk tipologi lahan sulfat masam dan di Kabupaten Kapuas/Pulang Pisau, Kalimantan Tengah untuk tipologi lahan gambut. Metodologi penelitian masing-masing kegiatan penelitian secara lengkap sebagai berikut :
Tabel 1. Rangkaian kegiatan penelitian yang dilaksanakan (2011-2013)

 Kegiatan
Tahun
2011
2012
2013
1
 Identifikasi dan evaluasi nilai penciri utama dari sifat fisika dan kimia tanah dari lahan rawa bongkor
X
2
Efesiensi komponen teknologi pemulihan (remediasi) produktivitas lahan rawa bongkor dengan pemanfaatan bahan amelioran alami,  pupuk hayati BIOTARA, pupuk organi ORGANOWA dan pupuk kandang
X
X
3
Efisiensi paket teknologi pemulihan (remediasi) produktivitas lahan rawa sulfat masam dan gambut bongkor
X
X

Kegiatan 1.  Identifikasi dan evaluasi nilai penciri utama dari sifat fisika dan kimia tanah dari lahan rawa bongkor dan rawa produktif

Keluaran dari kegiatan ini yaitu kuantifikasi parameter sifat-sifat  tanah dari lahan bongkor dan baku mutu lahan rawa produktif. Penelitian berupa survei lapang ke lahan rawa bongkor untuk identifikasi dan evaluasi terhadap sifat fisika dan kimia tanah dan wawancara melalui PRA untuk penggalian sejarah pengelolaan dan pengembangan budidaya di lahan tersebut  Lokasi penelitian dipilih secara purposive pada sebaran lahan di 2 (dua) kabupaten di Kalimantan yaitu Kabupaten Barito Kuala Kalsel dan Kapuas/Pulang Pisau, Kalteng yang terdiri dari tipologi lahan gambut dan lahan sulfat masam pasang surut. Identifikasi dan evaluasi terhadap sifat/karakteristik sifat fisika dan kimia tanah didasarkan pada petunjuk teknis Balai Penelitian Tanah (2004) dan Dent (1986). 
Karakterisasi untuk  fisik lingkungan dan morfologi lahan dilakukan pengamatan terhadap aspek lingkungan dan lahan (ketebalan gambut, kedalaman pirit, muka air tanah, klas drainase, kematangan tanah dsb). Deskkripsi dan klasifikasi tanah dilakukan dengan pemboran dan dilanjutkan dimana perlu dilakukan pembuatan profil tanah. Sejarah pemanfaatan yang digali dari pengguna lahan meliputi teknologi pengelolaan tanah, air dan tanah sefrta budidaya serta asupan hara dan pupuk Sifat fisika dan kimia tanah dari lahan bongkor dianalisis di laboratorium dengan pengambilan contoh tanah komposit. Hasil evaluasi disajikan dengan peta dan data tabuler.
Kegiatan 2. Efisiensi komponen teknologi pemulihan (remediasi) produktivitas lahan rawa bongkor dengan pemanfaatan bahan amelioran alami,  pupuk hayati, pupuk organik dan pupuk kandang
Penelitian dilakukan di laboratorium dan rumah kaca untuk mengetahui kemampuan bahan pupuk hayati dan pupuk organik rawa dalam memulihkan (remediasi) produktivitas lahan bongkor.  Penelitian disusun dalam bentuk Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari percobaan laboratorium dan rumah kaca
Perlakuan untuk di laboratorium terdiri dari 2 (dua) faktor dengan ulangan 3. Faktor  I : (1) pemulihan kemasaman menuju pH 4,0, (2) pemulihan kemasaman menuju pH 4,5, dan (3) tanpa pemulihan kemasaman (=pH 3,5). Faktor II : (1). BIOTARA takaran standar 25kg/ha, (2). BIOTARA takaran 50 kg/ha, (3) ORGANAWA takaran standar 3 t/ha, (4) ORGANOWA 6 t/ha, (5) PUPUK KANDANG 2 ton/ha, (6) Tanpa pupuk hayati/organik/pupuk kandang. Jumlah  perlakuan (pot kecil) 3x6x3 ulangan = 54. Inkubasi selama 6 minggu dan diamati  pada 3 minggu dan 6 untuk pH dan DHL. Pengamatan terhadap sifat-sifat kimia (pH, DHL, besi, sulfat, N, P, K, Ca, Mg) dan fisika secara terbatas (BV, porositas) setelah 6 minggu.
Perlakukan untuk rumah kaca. terdiri dari 2 (dua) faktor dengan 3 ulangan. Faktor  I : (1) pemulihan kemasaman menuju pH 4,0, (2) pemulihan kemasaman menuju pH 4,5, dan (3) t pemulihan kemasaman menuju pH  5,0. Faktor II : (1). BIOTARA takaran optimal dari hasil penelitian laboratorium (2) ORGANAWA takaran optimal dari hasil penelitian laboratium dan (3) PUPUK KANDANG 2 ton/ha, (4) Kontrol (Tanpa pupuk hayati/organik/kandang)  Tanaman indikator digunakan tanaman padi. Jumlah  perlakuan (pot besar 5 kg tanah) 3x4x 3 ulangan = 36. Pengamatan meliputi perubahan sifat fisika dan kimia dan kesuburan tanah, dan pertumbuhan dan hasil tanaman. Uji statistik yang digunakan analisis keragaman dan uji beda nyata Duncan dengan tingkat kepercayaan 95%. Efisiensi dihitung terhadap kontrol tanpa amelioran dan tanpa pupuk.

IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1.  Identifikasi dan evaluasi nilai penciri utama dari sifat fisika dan kimia tanah dari lahan rawa bongkor dan rawa produktif

Pengambilan contoh tanah untuk penelitian di Desa Kanamit Raya (Pangkoh), Kabupaten Kapuas, Kalteng untuk lahan gambut bongkor dan   Desa Sidomulyo, Kabupaten Barito Kuala, Kalsel untuk lahan sulfat masam. Lahan petani yang dijadikan sampling tidak lagi ditanami atau ditinggal petani (sesuai dengan kriteria lahan bongkor yang mengalami degradasi). Kedua lokasi merupakan lokasi transmigrasi yang dibuka tahun 1970an (Sidomulyo) dan 1980an (Kanamit) sebagian lahan dimanfaatkan untuk tanaman pangan semusim (padi dan palawija), tetapi pada lokasi Sidomulyo sebagian besar lahan dimanfaatkan untuk tanaman tahunan (buah-buahan).
Karakteristik lahan menunjukkan keragaman baik dari segi fisik lingkungan maupun sifat dan watak. Tebal gambut tergolong tipis sampai sedang, lapisan pirit dalam, pH tanah masam untuk lahan di Kanamit. Tebal gambut tipis, lapisan pirit sedang, pH tanah masam untuk lajhan di Sidomulyo. Kanamit mewakili lahan bongkor gambut, sedang Sidomulyo mewakili lahan bongkor sulfat masam aktual (Tabel 2). Hasil analisis tanah dan air awal disajikan pada Tabel 3.
Parameter utama yang dapat digunakan indikator yang menunjukkan pembongkoran adalah kemasaman tanah (pH 4,5 kondisi basah; pH 3,0 kondisi kering) dan air (pH 3,5), Fe yang tinggi (285 ppm di lahan sulfat masam dan 445 ppm di lahan gambut) dan sulfat yang sangat tinggi (3900 ppm di lahan sulfat masam dan 3500 ppm di lahan gambut). Intensitas kebongkoran pada lahan sulfat masam menunjukkan lebih tinggi dibandingkan lahan gambut. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dominasi vegetasi yang tumbuh seperti galam (Melaleuca leucadendron) sebagai penciri bagi lahan bongkor di lahan rawa pasang surut.  

Gambar 1. Lokasi sampling di Desa Sidomulyo, Wanaraya, Batola, Kalsel

Gambar 2. Lokasi sampling di Desa Kanamit (Pangkoh), Kab  Pulang Pisau, Kalteng







Tabel  2.  Karakteristik lahan lokasi penelitian lahan sulfat masam Sidomulyo (Kalsel) dan gambut Pangkoh (Kalteng).
            
Parameter
Karakteristik
 Sulfat Masam Aktual
(Barito Kuala, Kalsel)
Gambut Bongkor
(Pulang Pisau, Kalteng)
Tebal gambut (cm)
20-30
30-85
Jeluk pirit (cm)
60-70
90-100
pH tanah lapang
4,5
4,4-4,7
Muka air tanah (cm)
65-70
65-70
Kematangan
Setengah matang
Hemik
Tipologi
Pirit Sedang
Gambut Dangkal
Tutupan lahan
Purun tikus, paku-pakuan
Padi, purun tikus

     Tabel 3. Hasil analisis tanah dan air dari lahan pecobaan
Jenis Analisis Tanah
Nilai/Kategori*
0-15 cm
15-30 cm
pH H2O ( 1 : 2.5)
DHL (mS/cm)
N – Total (%)
P – Total (mg/100 g P2O5)
K – Total (mg/100 g K2O)
Ca – dd (cmol(+)/kg)
Mg – dd (cmol(+)/kg)
K – dd (cmol(+)/kg)
Fe 2+(ppm)
SO4 (ppm)
BD (g/cm3)
PD (g/cm3)
Porositas (%)
4.58 (M)**
0.731
db
230.10 (ST)
56.68 (T)
4.20 (R)
1.01 (R)
0.95 (T)
285.45
3897.44
0.67
db
db
4.5 (SM)
0.493
db
113.41 (ST)
40.21 (T)
0.44 (SR)
0.50 (R)
0.48 (S)
445.25
3576.92
0.86
db
db

Jenis Analisis Air
pH
DHL (mS/cm)
3.43
0.36

      Keterangan : db = data belum keluar/masuk
     T = tinggi, ST = sangat tinggi, R=rendah, SR= sangat rendah, S = sedang

4.2.        Efisiensi komponen teknologi pemulihan (remediasi) produktivitas lahan rawa bongkor dengan pemanfaatan bahan amelioran alami,  pupuk hayati, pupuk organik dan pupuk kandang

4.2.1.    Penelitian Laboratorium

Pada lahan sulfat masam pH awal 3,5 sehingga diperlukan perbaikan kemasaman untuk mencapai pH 4,0 dan 4,5 masing-masing berdasarkan metode inkubasi diperlukan pemberian kapur dolomit masing-masing untuk mencapai pH 4,0 diperlukan pemebrian 1,75 t kapur dolomit/ha, untuk mencapai pH 4,5 diperlukan pemberian  5,19 t kapur  dolomit/ha, dan untuk mencapai pH 5,0 diperlukan pemberian 8,62 t kapur dolomit/ha, sedangkan untuk lahan gambut karena pH awal sudah mencapai  pH 4,5 maka untuk perbaikan kemasaman hanya diberikan kapur dolomit secukupnya 0,25 t/ha yang sifatnya menjaga kesetimbangan hara.

Gambar 3.  Hasil penentuan kebutuhan bahan ameliran pada lahan sulfat masam

Penelitian laboratorium dengan perbaikan kemasaman menunjukkan efektif dengan pemberian amelioran  mengikuti persamaan di atas (Gambar 3). Semakin lama inkubasi perbaikan pH semakin baik. Hal ini karena pengaruh waktu yang menunjukkan kapur semakin kuat reaktivitasnya dengan semakin lama. Pupuk kandang (P) menunjukan pengaruh lebih baik dibandingkan dengan biotara (B) dan organowa (O). Pengaruh masing-masing bahan amelioran, khususnya biotara tampak lebih efektif apabila diikuti dengan perbaikan kemasaman (pH 4,5) (Gambar 4 dan 5).


Gambar 4.  Perubahan pH pada kondisi kontrol (pH 3,0), perbaikan pH 4,0 (K1), dan perbaikan pH 4,5 (K2) di lahan sulfat masam (kiri) dan kontrol (pH 4,0) dan perbaikan (0,25 t amelioran/ha, K2) di lahan gambut (kanan)

Gambar 5.  Perubahan pH pada pemberian pupuk organowa (O1,O2), pupuk kandang (P0,P1), dan pupuk biotara (B1, B2) dan perbaikan pH (K1, K2) di lahan sulfat masam (kiri) dan perbaikan (0,25 t amelioran/ha, K2) di lahan gambut (kanan)

Hasil penelitian laboratorium juga menunjukkan bahwa perbaikan kemasaman menunjukkan pengaruh terhadap Daya Hantar Listrik (DHL) akibat pemberian amelioran  mengikuti persamaan. Semakin lama inkubasi perbaikan DHL semakin baik. Hal ini karena pengaruh waktu yang menunjukkan pengaruh kapur semakin kuat dengan semakin lama (Gambar 6). Pupuk kandang (P) menunjukan pengaruh tidak lebih baik terhadap DHL antara biotara (B) dan organowa (O). Pengaruh masing-masing bahan amelioran, khususnya pupuk kandang tampak lebih efektif apabila diikuti dengan perbaikan kemasaman (pH 4,5-5,0) (Gambar 7).

Gambar 6.  Perubahan DHL pada kondisi kontrol (pH 3,0), perbaikan pH 4,0 (K1), dan perbaikan pH 4,5 (K2) di lahan sulfat masam perbaikan (0,25 t amelioran (K2) di lahan gambut (kanan)


Gambar 7. Perubahan DHL pada pemberian pupuk organowa (O1,O2), pupuk kandang (P0,P1), dan pupuk biotara (B1, B2) dan perbaikan pH (K1, K2) di lahan sulfat masam (kiri) perbaikan (0,25 t amelioran (K2) di lahan gambut (kanan)



4.2.2.   Penelitian Rumah Kaca

Hasil  penelitian rumah kaca menunjukkan pengaruh perbaikan kemasaman terhadap pH tanah pada lahan sulfat masam setelah ditanami memberikan penurunan nilai kemasaman yang berarti daya sangga (buffer capacity) dari tanah sulfat masam   lebih rendah dibandingkan dengan tanah gambut (Gambar 8). Demikian juga pengaruuh terhadap DHL dari tanah sulfat masam menunjukkan lebih tinggi dibandingkan dengan tanah gambut (Gambar 9).  Pengaruh perbaikan kemasaman lebih suatu pengaruhnya terhadap pH tanah dibandingkan dengan bahan amelioran (biotara, oraganowa, pukan).    

Gambar 8. Perubahan pH tanah pada pemberian biotara, organowa, pupuk kandang dan kontrol di lahan sulfat masam (kiri) lahan gambut (kanan)  


Gambar 9. Perubahan DHL tanah pada pemberian biotara, organowa, pupuk kandang dan kontrol di lahan sulfat masam (kiri) lahan gambut (kanan) 



Pertumbuhan tanaman padi di lahan gambut lebih baik dibandingkan dengan tanah sulfat masam (Gambar 10 dan 11).  Perbaikan kemasaman (untuk mencapai pH 4,5; pH 5,0) pada lahan sulfat masam meningkatkan pertumbuhan tinggi  padi cukup baik, sementara di lahan gambut tidak berpengaruh secara nyata. Namun demikian pertumbuhan jumlah anakan pada lahan gambut lebih tinggi dibandingkan dengan lahan  sulfat masam (Gambar 11). Pengaruh pemberian bahan baik biotara, organowa, pupuk kandang pada lahan sulfta masam tidak berbeda nyata. Pengaruh biotara terhadap tinggi tanaman padi di lahan gambut menunjukkan paling rendah, sementara  di lahan sulfat masam paling rendah diperoleh pada kontrol. 

Gambar 10. Pertumbuhan tinggi tanaman padi pada pemberian biotara, organowa, pupuk kandang dan kontrol di lahan sulfat masam (kiri) lahan gambut (kanan). 

Gambar 11.  Jumlah anakan padi pada pemberian biotara, organowa, pupuk kandang dan kontrol di lahan sulfat masam (kiri) lahan gambut (kanan). 


Berdasarkan jumlah anakan yang dicapai maka perbaikan kemasaman (dari pH 4,0 menjadi pH 5,0)  pada lahan gambut mencapai 25%, tetapi pada lahan sulfat masam menunjukkan hampir tidak berpengaruh. Sementara pengaruh paling baik ditemukan pada pupuk kandang dibadingkan biotara atau organowa (Gambar 12).


Gambar 12.  Pengaruh perbaikan kemasaman (kiri) dan pemberian bahan amelioran (biotara, organowa, pupuk kandang) terhadap jumlah anakan (kanan). 



V.  KESIMPULAN DAN SARAN

   Dari uraian dan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan :
1.      Parameter penciri utama yang dapat dijadikan indikator untuk lahan bongkor  tingkat kemasaman tanah (pH > 4,0) dan air (pH < 3,5), besi tinggi (Fe2+ > 285 ppm), dan  sulfat masam (SO42- > 3500 ppm). Intensitas kebongkoran pada lahan sulfat masam menunjukkan lebih tinggi dibandingkan lahan gambut.
  1. Perbaikan kemasaman untuk mencapai pH 4,0 dan 4,5 diperlukan  1,75 t kapur dolomit/ha 5,19 t kapur  dolomit/ha, dan 8,62 t kapur dolomit/ha untuk lahan sulfat masam, sedangkan untuk lahan gambut karena pH awal sudah mencapai  pH 4,5 maka untuk perbaikan kemasaman hanya diberikan kapur dolomit secukupnya 0,25 t/ha yang sifatnya menjaga kesetimbangan hara.
  2. Perbaikan kemasaman menunjukkan semakin kuat reaktivitasnya dengan semakin lama. Pupuk kandang (P) menunjukan pengaruh lebih baik dibandingkan dengan biotara (B) dan organowa (O). Pengaruh masing-masing bahan amelioran, khususnya biotara tampak lebih efektif apabila diikuti dengan perbaikan kemasaman (pH 4,5).
  3. Pertumbuhan tanaman padi di lahan gambut lebih baik dibandingkan dengan tanah sulfat masam.  Pengaruh pemberian bahan baik biotara, organowa, pupuk kandang pada lahan sulfat masam tidak berbeda nyata. Pengaruh biotara terhadap tinggi tanaman padi di lahan gambut menunjukkan paling rendah, sementara  di lahan sulfat masam paling rendah diperoleh pada kontrol.  Namun demikian pertumbuhan jumlah anakan pada lahan gambut lebih tinggi dibandingkan dengan lahan  sulfat masam.
  4. Berdasarkan jumlah anakan yang dicapai maka perbaikan kemasaman (dari pH 4,0 menjadi pH 5,0)  pada lahan gambut mencapai 25%, tetapi pada lahan sulfat masam menunjukkan hampir tidak berpengaruh. Sementara pengaruh paling baik ditemukan pada pupuk kandang dibadingkan biotara atau organowa.


DAFTAR PUSTAKA


AARD & LAWOO, 1992. Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics: Guidelines for Soil Surveys”. ARRD-LAWOO. Jakarta-Netherland. 141 halaman

Alihamsyah, T. 2004. “Potensi dan Pendayagunaan Lahan Rawa dalam Rangka Peningkatan Produksi Padi”. Badan Litbang Pertanian,  Jakarta
Alihamsyah, T dan I. Noor, 2003. Lahan Rawa Pasang Surut : pendukung ketahanan Pangandan Sumber Pertumbuhan Agribisnis. Balittra. Banjarbaru.
Badan Litbang Pertanian- IRRI. 2008. “Modul Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi”. Kerjasama Badan Litbang Pertanian dengan International Rice Reseach Institute. Jakarta. 35 halaman.

Badan Litbang Pertanian. 2007. ”Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Lahan Rawa Pasang Surut”. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. 37 halaman

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2007. Deskripsi Varietas Padi. 81 halaman.

Balai Penelitian Tanah, 2004. Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah. Puslitanak, Bgor. 117 h.

Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils : a baseline for research and development. ILRI Wageningen Publ. No. 39. The Netherlands. 204 h.

Las, I. 2007.  “Rawa Pilihan yang Tak Ada Pesaing”. Tabloid Sinar Tani Edisi 11-17 April 2007.  Hlm 20 : Agroinovasi Badan Litbang Pertanian.  Deptan. Jakarta.

Noor, M. 2004. “Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam”. RajaGrafindo Persada. Jakarta.  241 halaman.

Subagyo, H. 2007. ”Lahan Rawa Pasang Surut”. Dalam Didi Ardi S. et al. (eds.). Karakterstik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Monograf BBSDLP, Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Halaman 23-98
 



Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites