PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS LAHAN GAMBUT DAN PERLUASAN LAPANGAN KERJA
Muhammad Noor
I.
PENDAHULUAN
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, masalah pembukaan lahan
gambut mendapatkan perhatian serius seiring dengan semakin kuatnya isu tentang
perubahan iklim dan pemanasan global.
Lahan gambut adalah sebuah ekosistem alami yang penting dan bernilai
tinggi karena fungsinya dalam keanekaragaman hayati, pengaturan iklim,
penyimpan dan penyedia air, dan tempat bergantungnya kehidupan bagi jutaan
penduduk bumi. Hanya saja lahan gambut juga dinilai sebagai penyumbang emisi
gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4),
dan dinitro oksida (N2O) yang berdampak pada perubahan iklim dan
pemanasan global. Emisi GRK ini cenderung meningkat setiap tahun yang juga sebetulnya
akibat meningkatnya pemakaian bahan bakar fosil dari minyak bumi, gas alam, dan
batu bara baik untuk kepentingan listrik dan energi seperti transportasi,
industri, pabrik-pabrik maupun
kepentingan rumah tangga.
Pemanfaatan lahan gambut semakin pesat untuk pertanian
dan perkebunan seiring dengan prospek yang menjanjikan, tetapi juga mencemaskan
karena telah merambat ke lahan-lahan gambut dalam (tebal > 3 m). Selain itu
lahan gambut yang telah dibuka dan dimanfaatkan tidak sedikit yang berubah
menjadi lahan bongkor dan sebagian
lainnya sedang terancam juga untuk menjadi bongkor. Dilaporkan sekitar 45%
emisi GRK disumbang dari lahan gambut dan kerusakan hutan (alih fungsi hutan/lahan). Keadaan inilah yang menambah rumit dan
kusutnya permasalahan tentang lahan gambut dan pemanfaatannya. Oleh karena itu,
dorongan penghentian sementara (moratorium)
pemanfaatan lahan gambut semakin kuat. Negara-negara Eropah dan Amerika
Serikat dengan berbagai cara menuntut
negara-negara sedang berkembang yang notabene
mempunyai lahan gambut yang luas, seperti Indonesia untuk menghentikan
“eksploitasinya” terhadap gambut seiring dengan perubahan iklim.
Pilihan terhadap lahan gambut sebagai lahan pertanian
awalnya diilhami oleh keberhasilan masyarakat lokal dalam pemanfaatannya untuk
pertanian baik tanaman pangan maupun perkebunan. Pemanfaatan lahan gambut didorong oleh karena
konversi lahan, kebutuhan pangan, kebutuhan devisa, kebutuhan energi (biofuel)
untuk menghidupi seperempat milyar
(237,5 juta jiwa) penduduk yang setiap tahun bertambah 350 ribu jiwa.
Pemerintah daerah yang mempunyai lahan gambut juga mendapatkan dorongan kuat
dari masyarakatnya yang lahannya sudah puluhan tahun tanpa menghasilkan
sesuatupun, kecuali sebagai lahan bongkor yang terbakar setiap tahun. Bagi
pemerintah daerah, investasi yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan
perkebunan seperti kelapa sawit
merupakan peluang sebagai sumber pendapatan daerah sehingga “menawan”
untuk menjadikan kawasan gambut sebagai wilayah pertumbuhan ekonomi baru.
Kebijakan pemerintah tentang
lahan gambut, seperti Peraturan Menteri Pertanian No 14/2009, 16 Pebruari 2009
tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit, peraturan
lainnya tentang Pembukaan atau Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB), juga dibentukannya
Tim Pengendalian Kebakaran Lahan Gambut, Kelompok Kerja (Pokja) Pengelolaan
Lahan Gambut dan Konsorsium Pengelolaan
Lahan Gambut menunjukkan bahwa komitmen terhadap pengelolaan lahan gambut dari
banyak pihak lebih dari cukup. Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai
kesepakatan internasional seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD),
Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Konvensi Ramsar tentang
Konservasi Lahan Basah, yang telah dituangkan dalam undang-undang juga
merupakan bagian ketentuan-ketentuan tentang pemanfaatan lahan gambut. Tidak
kurang, komitmen Indonesia yang disampaikan Presiden Susilo
Bambang Yudiyono di Pittsburg, Amerika
Serikat (September, 2009) dan di Copenhagen pada Konferensi G-20 dan COP-15 (Desember, 2009) yang menyatakan akan menurunkan
emisi GRK sebesar 26% secara unilateral dan 41% jika ada dukungan negara maju
pada tahun 2020. Permasalahannya penurunan emisi 9,5-13,0% dari
26% di atas dialokasikan pada
lahan gambut yang berujung pada rencana program aksi adanya moratorium.
Hanya saja upaya atau program aksi moratorium
ini masih memerlukan beberapa pertimbangan terkait dengan rasa keadilan dan
keberpihakan kepada masyarakat.
Uraian berikut akan mengemukakan tentang hasil-hasil
penelitian dan pengalaman dalam pengembangan pertanian di lahan gambut yang
dikaitkan dengan kesempatan kerja atau
perluasan lapangan kerja. Secara selintas juga dikemukakan tentang
isu-isu kunci tentang gambut serta implikasinya dan sekilas sejarah pemanfaatan
lahan gambut untuk pertanian.
II.
ISU-ISU KUNCI LAHAN GAMBUT
Pemanfaatan lahan
gambut, termasuk dalam konteks pengembangannya baik sebagai kawasan budidaya
maupun kawasan lindung atau restorasi dihadapkan pada berbagai permasalahan
yang patut diangkat menjadi isu kunci tentang gambut, yaitu tentang (1)
reklamasi dan pengelolaan air, (2) kebakaran dan degradasi lahan, (3) perubahan
iklim dan pemanasan global, (4) kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, (5) pembalakan liar, dan (6) perdagangan
karbon (Gambar 1).
Gambar 1. Kerangka hubungan antara pengelolaan
lahan gambut berkelanjutan dengan isu-isu kunci yang dihadapi.
(1). Reklamasi dan
Pengelolaan Air
Reklamasi dan pengelolaan air selain penting dalam mempertahankan mutu
lahan juga merupakan kunci dalam
penurunan emisi GRK dari lahan gambut. Menurut Furukawa (2006) dalam pembukaan
lahan, kondisi gambut tidak dibolehkan menjadi kering sehingga sebelum
pembuatan saluran-saluran primer/ sekunder/tersier perlu dilakukan penahanan
air (penabatan) agar terhindar dari drainase berlebihan yang menjadikan gambut
kering tak balik. Namun pada kenyataannya, kebanyakan lahan gambut pasca reklamasi menjadi kering tak balik
karena pemasangan pintu-pintu air atau penabatan dilakukan umumnya setelah jaringan
saluran dibangun. Pembuatan pintu air biasanya menyusul sebagai pengembangan
reklamasi tahap kedua, setelah satu atau dua tahun pasca penggalian
saluran-saluran reklamasi. Hal ini dimaksudkan agar lahan gambut tetap
produktif dan terhindar dari kerusakan seperti penurunan muka tanah (amblasan)
yang cepat, kering tak balik, kebakaran, pemasaman, dan pemiskinan hara. Pada
beberapa lokasi pengembangan, saluran dibuat terlalu dalam (> 1,5 m) tanpa
memperhatikan ketebalan gambut dan kedalaman lapisan pirit sehingga mempercepat
terjadinya amblasan dan pemasaman tanah dan air. Pada daerah reklamasi,
kekeringan sering terjadi pada musim kemarau, sebaliknya kebanjiran merupakan
keadaan rutin pada musim hujan. Hal ini mencerminkan hilangannya fungsi
lingkungan gambut setelah reklamasi akibat perubahan fungsi hidrologis dari
kawasan gambut yang telah terbuka. Reklamasi atau pengatusan menyebabkan
percepatan penurunan muka tanah sehingga
menjadi lebih rendah dan rawan banjir. Namun demikian, kondisi banjir dan hujan
sekarang juga tidak lepas dari akibat kenaikan muka air laut/sungai sebagai
fenomena dari perubahan iklim dan pemanasan global. Pembuatan saluran-saluran
untuk pengembangan pertanian/ perkebunan juga tidak terpisahkan dengan
penggunaan saluran sebagai prasarana transportasi oleh masyarakat umumnya di
lahan rawa. Pemisahan fungsi saluran sebagai prasarana transportasi dan
pengairan/pengatusan penting agar sistem pengelolaan air dapat efektif.
Sejatinya pengendalian saluran sebagai sarana pengairan dan pengatusan dapat
direncanakan bersamaan dengn pembangunan prasarana jalan darat baik berupa
jalan desa atau usaha tani sehingga kondisi lahan tetap dalam suasana basah dan
terhindar dari oksidasi yang menimbulkan kemasaman dan meningkatnya pelarutan
ion-ion toksis (Al, Fe, Mn dan organik) akibat pengaturan muka air tidak
efektif. Pengembangan dan konservasi,
termasuk untuk pencegahan peningkatan emisi GRK di lahan gambut diperlukan
dengan pengaturan atau perbaikan kembali sistem jaringan tata air, terutama
pada daerah-daerah yang sudah dibuka dan sedang mengalami kerusakan. Pembukaan
baru pada lahan gambut untuk pengembangan kawasan budidaya memerlukan
pendekatan yang berbasis pada bentang lahan dan sistem hidrologi dalam satu
kesatuan daerah aliran sungai. Pengelolaan
air mikro di lahan gambut tetap memerlukan pembuangan air pada musim hujan dan
penahanan air pada musim kemarau. Dalam
konteks ini, maka pengelolaan secara makro dalam satuan bentang lahan dan
hidrologi berbasis daerah aliran (sungai) memegang peranan penting sehingga
secara keseluruhan bertanggung jawab dalam pengendalian air.
(2). Kebakaran
Lahan/Hutan Gambut
Kebakaran di lahan/hutan gambut merupakan masalah penting dan pemerintah
Indonesia sering dikecam karena dianggap lalai dalam melakukan antisipasi dan
pemadaman. Hutan hujan tropik (rain
forest), termasuk hutan gambut yang tidak terganggu pada dasarnya terbukti
sangat tahan terhadap kebakaran, tetapi manakala terbuka atau rusak karena
pembalakan atau pembukaan secara serampangan
atau semberono maka akan mudah
terbakar, terutama saat terjadinya kekeringan atau kemarau panjang (Salim,
2003). Kasus kebakaran di lahan
gambut ini sangat erat kaitannya dengan pencemaran/kabut asap dan emisi GRK
yang sekarang menjadi isu perubahan
iklim dan pemanasan global, selain kerugian fisik seperti degradasi lahan.
Kebakaran di lahan gambut ini kebanyakan dilakukan secara sengaja baik oleh
masyarakat maupun perusahaan-perusahaan perkebunan besar yang terkait dengan
pembukaan, pembersihan, dan penyiapan lahan baik untuk pertanian, perkebunan
maupun kegiatan lainnya, seperti membuang puntung rokok, membakar sampah/gulma
di lahan pekarangan atau lahan usaha tani (Noorginayuwati et al., 1996; Adinugroho et
al., 2005; Syaufina, 2008).
Kebakaran lahan/hutan gambut tidak saja menghanguskan atau menghilangkan
semua vegetasi yang tumbuh di atasnya
juga memusnahkan lapisan gambut sampai setebal 40-50 cm (Rieley dan
Page, 2005). Kebakaran di lahan gambut dapat mencapai kedalaman rata-rata 22 cm
(antara 0-42 cm), bahkan di tempat-tempat tertentu dapat mencapai kedalaman 100
cm (Limin et al, 2005). Kebakaran lahan gambut di Barambai,
Kalimantan Selatan tahun 1997 menyisakan abu setebal 20 cm (Noor, 2001). Kebakaran tahun 1997 ditaksir melepaskan
antara 0,81-2,97 Gt karbon ke atmosfer yang setara dengan 13-40% dari emisi karbon global rata-rata tahunan yang
berasal dari bahan bakar fosil (Rieley dan Page, 2005). Keadaan inilah yang
menyebabkan Indoensia dikenal sebagai emitor ke tiga dunia saat itu akibat
kebakaran akut pada tahun 1997/98. Laporan
Wetlands International (2008) menyatakan bahwa emisi rata-rata CO2
dari lahan gambut mencapai 2,0 Gt per
tahun, masing-masing 0,6 Gt dari perombakan dan 1,4 Gt dari kebakaran
hutan/lahan. Nilai emisi CO2 dari lahan gambut di atas setara dengan
8% dari seluruh emisi dari bahan bakar fosil.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemudahan akses terhadap lahan gambut
memberikan pengaruh besar terhadap tingkat kebakaran/pembakaran lahan. Kemudahan
akses ini berhubungan dengan adanya sungai, alur, saluran atau
jalan darat sehingga memudahkan
untuk mencapai lokasi (GOI-TN, 2008). Pada kawasan Kalimantan dan eks PLG
kebakaran paling tinggi pada daerah pinggir sungai/jalan dan semakin kecil
menjauhi sungai atau jalan. Areal bekas
tebangan HPH sebagian besar menunjukkan mengalami kebakaran berulang-ulang,
termasuk lahan bongkor yang ditinggalkan. Keadaan ini menunjukkan bahwa masih
digunakannya sistem penyiapan lahan dengan tebang dan bakar (slash and burn) yang memang cara-cara ini
dinilai paling mudah, cepat dan murah.
Pengelolaan lahan gambut sejatinya memasukan secara integral upaya pencegahan kebakaran. Secara teknis upaya pencegahan kebakaran
lahan/hutan ini dapat ditempuh dengan melalui berbagai cara yang dapat
disatukan dalam sistem pengelolaan air atau penataan jaringan tata air secara
makro maupun mikro dan pembudidayaan tanaman, termasuk pemilihan jenis tanaman
pelindung atau penataan tanaman dengan pembuatan jalur pengaman api. Penyekatan
atau pemasangan tabat untuk meningkatkan muka air tanah sekaligus sebagai upaya
konservasi air merupakan salah satu cara yang patut dan perlu dianjurkan untuk
pencegahan kebakaran di lahan gambut (Suryadiputra et al, 2005; GOI-TN, 2008).
(3). Perubahan
iklim dan Pemanasan Global
Emisi gas CO2 yang dilepas dari
lahan gambut berkisar antara 100-400 mg.m-2.jam-1 atau
setara dengan 9-35 ton karbon.ha-1.tahun-1 (Ridlo, 1997).
Besar dan laju emisi karbon di lahan gambut sangat tergantung pada penggunaan
lahan. Emisi karbon paling tinggi didapati pada lahan gambut yang
terekstraksi/terbakar, disusul lahan gambut
yang ditanami tanaman pangan, dan terendah hutan alami (Tabel 1).
Tabel 1. Laju emisi karbon di
lahan gambut berdasarkan penggunaan lahan.
Penggunaan Lahan
|
Laju emisi karbon
(ton C.ha-1.tahun-1)
|
Hutan Alami
|
0,3-2,0
|
Penggembalaan
|
0,3-2,0
|
Pertanian Tanaman Pangan
|
5-42
|
Ekstraksi untuk Bahan Bakar
|
50-66
|
Ekstraksi untuk Hortikultura
|
50-81
|
Sumber : Maltby (1997)
Indonesia pada tahun 1997/98
dinilai sebagai emitor GRK terbesar ketiga di dunia dengan nilai emisi setara
3,30 juta t CO2 per tahun setelah Amerika Serikat (6,005 juta t CO2) dan China (3,014 juta t CO2). Penilaian tersebut didasarkan pada kondisi setelah
terjadinya bencana kebakaran di lahan gambut yang tidak terkendali pada tahun 1997 akibat
gejala El-Nino sehingga menyebabkan terjadinya emisi karbon sebesar
2,18-2,57 Gt C. Data
tahun 2002 menunjukkan bahwa tanpa adanya bencana kebakaran, emisi karbon dari
lahan gambut hanya 0,25-0,50 Gt C atau 10% dari
emiisi karbon tahun 1997/1998. Menurut
Institut Energi Terbarukan Jerman (2009) tingkat emisi CO2 dunia
(global) pada tahun 2008 meningkat sebesar 1,98% dari tahun 1990 menjadi 31,5
Gt. Indonesia menduduki peringkat ke 19
dunia dengan jumlah emisi CO2 sebesar 0,377 Gt CO2.
Emitor CO2 tertinggi
ditempati China dengan jumlah 6,810 Gt CO2 menyusul Amerika
Serikat (5,370 Gt CO2), Rusia (1,688 Gt CO2), India
(1,409 Gt CO2) dan Jepang (1,392 Gt CO2) (Kompas,
13/06/2010).
Sumber
emisi sangat beragam utamanya dari pemakaian bahan bakar minyak, batu bara, gas
bumi, dan kebakaran hutan, termasuk gambut. Kebakaran hutan diperkirakan telah
menyumbang sekitar 30% dari total emisi CO2 total, khususnya pada
tahun-tahun El Nino. Dalam konteks lahan gambut,
emisi GRK tersebut di
atas dapat ditekan atau diturunkan apabila perbaikan sistem pengelolaan lahan dan air di areal pertanian dan
perkebunan, termasuk percegahan
kebakaran yang banyak terjadi di kawasan pertanian maupun konservasi seperti
hutan lindung atau cagar alam. Upaya-upaya pencegahan dini terhadap percepatan
perubahan iklim diperlukan yang antara lain dengan mitigasi, disamping
antisipasi dalam bentuk adaptasi yaitu menciptakan teknologi-teknologi
alternatif yang hemat energi dan efektif.
(4). Kemiskinan dan Pemberdayaan
Masyarakat
Kemiskinan
merupakan cerminan dari kondisi lingkungan lahan gambut, khususnya
produktivitas sumber daya lahan dan sumber daya manusia yang tersedia di
kawasan gambut. Selain itu juga menunjukkan adanya keterbatasan sarana dan
prasarana seperti infrastruktur jalan, akses pasar, pelayanan sarana produksi,
pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, termasuk perumahan.
Produktivitas lahan gambut terbatas, namun dapat ditingkat dengan perbaikan
teknologi budidaya dan pengelolaan lahan dan air, sedangkan peningkatan
kapasitas dan kemampuan petani memerlukan
kebijakan dan program pemberdayaan sosial ekonomi dan budaya.
Tingkat
kemiskinan di lahan rawa, termasuk di lahan gambut cukup tinggi. Pendapatan
penduduk di lahan rawa/gambut tergolong rendah, terutama yang mengandalkan
usaha taninya hanya pada komoditas padi. Nilai tukar padi atau tanaman pangan
sangat bergolak, pada masa panen nilai tukar sangat rendah atau turun dan pada
masa paceklik atau saat tanam nilai tukar naik mencapai tertinggi dibandingkan
bulan-bulan lainnya. Hasil penelitian di lahan gambut kawasan PLG menunjukkan
bahwa jumlah penduduk miskin rata-rata mencapai 35%, terparah pada wilayah Kota
Palangka Raya mencapai 46%, yang umumnya mempunyai mata pencaharian adalah petani.
Kemiskinan
merupakan masalah kompleks yang mempunyai akar sangat beragam. Hasil konsultasi
publik dengan petani menunjukkan bahwa akar masalah kemiskinan tidak hanya dari
satu aspek, disebutkan antara lain tanah
masam, kekeringan, lahan tidak subur, serangan hama dan penyakit tinggi, hasil
panen rendah, tidak dikapur dan juga tidak dipupuk, bibit tidak unggul, air tidak cukup, jalan ke pasar jauh,
transportasi mahal, nilai harga jual
rendah dan sebagainya. Dalam konsultasi
publik dengan aparat desa dan petugas lapang muncul pendapat bahwa masalah
kemiskinan dikarenakan sifat malas, tidak kreatif, dan cepat putus asa. Petani
dianggap terlalu dimanja dan terbiasa mendapatkan bantuan saja, kurang giat
dalam menghadapi tantangan, tidak berusaha atau bertani secara mandiri sehingga
semangat kesungguhan bertani lemah, termasuk merawat tanamannya. Menurut
Noorginayuwati et al. (1996) akibat
kebakaran yang sering menimpa lahannya, maka muncul rasa apatis dan putus asa
pada diri petani. Menurut Suktikno dan Noor (1997) para transmigran yang
ditempatkan di lahan rawa/gambut umumnya berasal dari masyarakat miskin dari
daerah asalnya, mereka pada umumnya hanya bermodal semangat, sehingga investasi
terhadap lahan hampir tidak ada, bantuan dari pemerintah merupakan satu-satunya
andalan yang diharapkan untuk dapat membantu dalam memperbaiki pendapatan dan
kesejahteraan. Hasil penelitian Suharno (2010) menunjukkan
tingkat pendapatan rumah tangga
petani di lahan rawa UPT Palingkau, kawasan PLG Sejuta Hektar Kalimantan Tengah
tergolong sangat rendah antara
Rp 6.404.479 - Rp 7.353.382 per
tahun. Kegagalan dari proyek pembukaan lahan rawa/gambut
disebabkan antara lain (1) tidak adanya supervisi kepada petani, (2)
tidak adanya bantuan atau pelayanan prasarana dan keuangan yang memadai, (3)
tidak adanya bantuan perawatan/pemeliharaan terhadap infrastruktur petani dan
publik lainnya seperti saluran
irigasi/pengatusan, pintu-pintu air, jalan dan jembatan secara memadai
(Suharno, 2010).
Permasalahan
kemiskinan menjadi penting mengingat kerusakan lingkungan lahan/hutan gambut
terkait dengan keberadaan penduduk di kawasan lahan gambut dan sekitarnya. Oleh
karena itu pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat di lahan
gambut tidak hanya penting dalam kerangka meningkatkan kesejahteraannya, tetapi
juga terkait dengan pelestarian dan konservasi lahan gambut ke depan. Pemberian insentif sebagai
kompensasi atas upaya pelestarian dan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat
perlu dilembagakan sehingga rasa keadilan dapat terpenuhi.
(5). Pembalakan
Liar
Kerusakan hutan gambut,
termasuk kawasan cagar alam hutan gambut berlangsung sangat intensif dalam
sepuluh tahun terakhir akibat maraknya
pembalakan liar (illegal logging) yang tidak saja dilakukan masyarakat kecil dengan
skala yang sempit, tetapi juga oleh perusahaan besar dengan alat yang lebih
modern dengan areal yang lebih luas dibandingkan masyarakat setempat. Upaya pencegahan/larangan yang selama ini
menunjukkan belum berhasil dengan memuaskan.
Misalnya hasil penyitaan
pembalakan liar di Kalimantan Tengah pada tahun 1999-2001 telah mencapai 7,0
juta m3 kayu gelondongan dan kayu olahan dengan hasil lelang sebesar
Rp 25,60 milyar, yang sebagian besar
dari Kabupaten Barito Utara (Tabel 2).
Kasus terbaru adalah temuan Tim Operasi Hutan Lestari 2010 di Wilayah
Kepolisian Papua berhasil menyita sebanyak 5.300 m3 kayu Merbau
illegal dalam operasi dua pekan pada bulan Juni 2010 (Kompas, 13/06/2010). Menurut
Sjahrin (2005) pencegahan pembalakan liar
kurang berhasil karena ada “permainan” dari pihak yang berwajib baik
dari daerah sendiri maupun pusat.
Pencegahan
pembalakan liar tidak hanya dalam
konteks terhadap masyarakat setempat yang umumnya miskin dan hanya sebagai
buruh, tetapi juga terhadap perusahaan
besar dan pejabat, aparat, dan cukong-cukong yang bekerja sama dengan
masyarakat. Masalah pembalakan liar ini juga melibatkan oknum aparat dari
berbagai instansi terkait sehingga “menggurita” sangat kompleks dan kronis
seolah-olah terkesan tidak tersentuh oleh hukum. Padahal kerugian negara yang
disebabkan oleh pembalakan liar ini pada
tahun 2003 mencapai US $ 3,0 atau 7,3% APBN. Total kerugian secara ekonomi dari
praktek pencurian atau pembalakan liar ini mencapai Rp. 30 milyar.tahun-1
atau US $ 4,0 milyar.tahun-1(Sjahrin, 2005).
Tabel 2. Hasil kayu
sitaan pembalakan liar di Kalimantan Tengah 1999-2001.
Jenis kayu dan nilai
lelang
|
Jumlah kayu
sitaan/tahun
|
Jumlah kayu
sitaan tahun 1999-2001
|
|
1999/2000
|
2000/2001
|
||
Kayu gelondongan (m3)
|
465.607,04
|
332.609,56
|
7.982.216,60
|
Kayu olahan (m3)
|
4.661,51
|
3.700,65
|
8.362,16
|
Nilai lelang (Rp. juta)
|
17.871,40
|
10.635,32
|
28.506,72
|
Sumber : Sjahrin (2005)
Walaupun pembalakan liar dalam
konteks pengelolaan dan pengembangan kawasan lahan gambut terkait banyak dengan aspek yudisial, hukum
dan pengadilan, namun yang ingin ditegaskan dalam pesan ini adalah bahwa
pembalakan liar mempunyai spektrum
pengaruh yang sangat luas terhadap kelestarian hutan gambut dan lingkungan
sekitarnya seperti kebakaran hutan, kerusakan hutan/lahan, dan pemanasan global
yang sangat merugikan baik langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan
masyarakat baik maupun pemerintah sendiri.
(6). Perdagangan Karbon
Kesempatan untuk ikut dalam perdagangan karbon terbuka luas sehubungan
dengan potensi dari lahan gambut yang cukup luas. Perdagangan emisi GRK/karbon
dapat melalui 4 (empat) skim mekanisme, yaitu (1) Perdagangan Emisi, (2)
Pembangunan Bersih (CDM), (3) Penurunan Emisi melalui Deforestasi dan Degradasi
Hutan (REDD), dan (4) Pasar` “sukarela”. Tetapi penurunan emisi GRK lahan gambut melalui skim
REDD sangat besar dibandingkan dengan skim non-gambut dan secara teknis
memungkinkan dengan memadukan antara kegiatan pengembangan dengan konservasi
misalnya pengelolaan/pengaturan muka air (water
management), penghijauan
(reboisasi), deforestasi, dan pencegahan kebakaran lahan. Penurunan emisi GRK melalui deforestasi dan degradasi lahan (REDD) untuk
melawan perubahan iklim dan pemanasan global ini merupakan kesempatan besar.
Namun kesempatan ini memerlukan pertimbangan dan persiapan-persiapan yang
sangat rumit, antara lain kelembagaan yang mengatur dan kelembagaan
petani/masyarakat yang ikut dalam kegiatan tersebut di atas. Sekarang sedang
disusun dokumen untuk pengembang pasar karbon dengan REDD plus (+). REDD+
mempunyai banyak sisi atau lebih dari hanya sekedar penyerapan karbon atau
manfaat untuk iklim. Kebijakan-kebijakan REDD+ dan imbalan untuk penurunan
emisi umumnya untuk meningkatkan penyerapan karbon secara efektif, efesien,
setara dan dengan manfaat tambahan (co-benefit) yaitu manfaat yang ada selain
manfaat untuk iklim. Misalnya perlindungan hutan selain untuk menyimpan karbon
juga antara lain (1) menyediakan jasa lingkungan, (2) pengentasan kemiskinan
atau perbaikan sosial masyarakat, (3) perubahan politik menuju pemerintahan
yang lebih baik, tidak korupsi, lebih menghormati hak-hak masyarakat, dan (4)
peningkatan kapasitas manusia untuk adaptasi terhadap perubahan iklim (CIFOR,
2010).
III.
SEJARAH PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT
Pertanian
di lahan gambut berkembang dimulai dari upaya masyarakat lokal setempat yang
sehari-harinya hidup di kawasan gambut. Masyarakat setempat di lahan gambut
tidak mempunyai pilihan lain atau terbatas, kecuali berupaya memberdayakan
lahan gambut tersebut sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
bertanam, beternak, menangkap ikan atau
berburu. Secara turun temurun masyarakat lokal setempat membuka lahan dan menanaminya secara lebih
luas seiring bertambahnya jumlah keluarga. Jenis tanaman pangan yang ditanam
antara lain padi, sagu, ubi, jagung,
kedelai dan beragam sayur-mayur; tanaman keras/kebun antara lain karet, rotan,
kelapa, jeruk, nenas, dsb, termasuk temu-temuan (jahe, kunyit, temulawak dsb).
Pengetahuan budidaya pertanian ini diwariskan secara turun temurun menjadi
pembelajaran bagi generasi selanjutnya sampai menjadi adat yang melembaga yang
disebut kearifan lokal setempat, termasuk nilai-nilai pelestarian yang terbentuk
berupa pantangan-pantangan atau
kepercayaan (tabu) yang apabila dilanggar dianggap kuwalat dan juga dapat dikenakan sanksi (hukum) adat
(Noorginayuwati et al. 2007). Sanksi
adat kadang-kadang lebih dijunjung tinggi masyarakat karena berakar pada
masyarakat daripada sanksi hukum formal.
Pembukaan
lahan gambut terkait pada awalnya dengan program transmigrasi (P4S) pada era tahun
1969-1995. Pembukaan lahan gambut untuk pertanian oleh pemerintah awalnya
diilhami atas keberhasilan penduduk lokal setempat baik di Kalimantan maupun Sumatera. Namun,
tidak semua lokasi yang dibuka dapat berhasil dengan baik bahkan
menyisakan sejumlah lahan bongkor. Luas
lahan gambut yang digunakan untuk pengembangan pertanian ini ditaksir baru sekitar 500 ribu hektar tersebar di
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Pembukaan lahan gambut (PLG) Sejuta
Hektar tahun 1995-1999 yang ditujukan untuk perkebunan padi (rice estate) juga telah meninggalkan
sejumlah lahan gambut bongkor.
Dalam
sepuluh tahun terakhir ini pemanfaatan lahan gambut sedang gencar untuk perkebunan kelapa sawit yang kini banyak menimbulkan polemik. Dari sekitar 500-600 ribu hektar perkebunan
kelapa sawit pada tahun 1990an lebih dari 200 ribu hektar berada di lahan
gambut. Laporan Wetlands International
menyebutkan sekitar 20% lahan perkebunan kelapa sawit Asia Tenggara, utamanya
di Indonesia dan Malaysia berada di
lahan gambut. Daerah yang luas dalam
pengembangan kelapa sawit di lahan gambut ini antara Riau, Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Dalam rangka Inpres No 2/2007 tentang
Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG, pemerintah provinsi
Kalimatan Tengah telah menerima pengajuan ijin lokasi dan usaha perkebunan
kelapa sawit yang keseluruhannya mencapai 440.000 hektar (GOI-TN, 2008). Direktorat
Jenderal Perkebunan dalam tahun 2007-2009 menargetkan pembangunan perkebunan
kelapa sawit baru seluas 1.475.000 hektar dan peremajaan kebun seluas 125.000
hektar (Sinar Tani,
04/04/2007). Perkembangan areal perkebunan sawit sangat pesat dari 120 ribu hektar pada tahun
1968 meningkat tahun 2004 menjadi 4,94 juta hektar, tahun 2007 menjadi 5,5 juta hektar, dan tahun 2009
mencapai 7,2 juta hektar dengan produksi 19,7 juta ton minyak sawit di atas
Malaysia yang mempunyai tingkat produksi 17,8 juta ton minyak sawit (Suharto,
2009; Barani, 2009). Indonesia menguasai 43% dan bersama dengan Malaysia
mengusai 86% pangsa pasar minyak sawit (CPO) dunia. Pesatnya permintaan lahan untuk pengembangan kelapa sawit
karena meningkatnya permintaan untuk minyak sawit dan biofuel. Perluasan areal kelapa
sawit ini sebagian besar sekarang diarahkan pada lahan rawa, termasuk lahan gambut.
Bagi pemerintah daerah, masuknya
investor pada perkebunan kelapa sawit ini merupakan peluang untuk meningkatkan
pendapatan dan pengembangan daerah serta masyarakat di lahan gambut yang
umumnya masih miskin. Terlebih dengan melihat keberhasilan dari daerah-daerah
yang lebih dulu mendapatkan kesempatan dan berhasil dalam meningkatkan
kesejahteraan dan pendapatan petani dari usaha perkebunan kelapa sawit atau
karet yang sudah memasuki panen dorongan untuk pemanfaatan lahan gambut untuk
perkebunan semakin kuat. Pada batas-batas tertentu, pengembangan tanaman
perkebunan baik karet, kelapa, ataupun kelapa sawit di lahan gambut memberikan
harapan dan peluang untuk meningkatkan produksi perkebunan dan pendapatan
petani di lahan gambut. Pemerintah memberikan batasan bahwa lahan gambut yang
diperbolehkan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit hanya pada lahan
gambut yang ketebalannya kurang 3 (tiga) meter yang dalam satu areal
pengembangan minimal 70% dari luas lahan gambut yang diusahakan mempunyai
ketebalan kurang tiga meter.
IV.
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
LAHAN GAMBUT
Tingkat produktivitas lahan
gambut sangat beragam dipengaruhi oleh ketebalan, kematangan, lapisan
substratum dibawahnya, bahan penyusun, lingkungan pembentukan, dan pengelolaan
atau input yang diberikan yang
penting menjadi pertimbangan dalam penentuan kriteria kesesuaian untuk
pembukaan lahan gambut. Secara umum
produktivitas gambut dangkal – menengah
(tebal 50-200 cm) lebih tinggi daripada gambut dalam (tebal > 3 m), gambut
matang (saprik-hemik) lebih baik dibandingkan gambut mentah (fibrik), gambut
yang substratum bawahnya liat (marine
clay) lebih subur dibandingkan pasir (kuarsa), gambut seratan lebih subur
dibandingkan gambut kayuan (woodpeat), gambut rawa lebak lebih subur daripada gambut
rawa pasang surut, gambut dataran tinggi (vulkanik) lebih subur daripada
dataran rendah, dan gambut yang ada di Sumatera lebih subur di bandingkan
gambut di Kalimantan. Dengan demikian,
maka upaya atau cara peningkatan produktivitas lahan gambut sangat ditentukan
oleh karakteristik atau sifat dan watak inherence
dari lahan gambut yang dikelola. Hal ini juga menunjukkan pentingnya
karakterisasi atau penyidikan awal untuk penentuan input dan cara pengelolaan
yang tepat.
Berdasar sifat dan watak
dari lahan gambut secara umum, maka secara teknis peningkatan produktivitas
lahan gambut dapat ditempuh dengan
melalui antara lain : (1) perbaikan pengelolaan air, (2) perbaikan sifat kesuburan dan kimia
tanah, (3) perbaikan sifat fisik dan daya dukung tanah, (4) perbaikan sistem
budidaya, dan (5) perbaikan pola tanam
dan diversifikasi komoditas.
(1).
Perbaikan Pengelolaan Air
Pengelolaan air yang dimaksudkan disini pada tingkat mikro dari tersier
sampai ke petakan sawah yang mempunyai dua tujuan utama, yaitu (1) menyediakan
air yang cukup bagi pertumbuhan padi dan (2) menjaga gambut untuk tidak rusak
dan habis akibat perombakan. Untuk tanaman pangan diperlukan saluran atau parit
dengan kedalaman 10-50 cm, saluran yang lebih dalam mengandung resiko akan
mengeringkan tanah gambut, mempercepat oksidasi, dan perombakan bagian
permukaan lahan gambut. Gambut yang terbuka
mudah teroksidasi dan cepat
mengalami perombakan sehingga mengalami amblasan dan menipis. Menjaga lahan gambut selalu dalam keadaan
basah atau lembab penting untuk mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan
lahan. Oleh karena itu, pintu-pintu air mempunyai peran penting dalam
pengelolaan air atau menjaga muka air tanah tetap dangkal (<70 cm) sehingga
tanah tetap basah dan kebutuhan air untuk tanaman terpenuhi. Kedalaman saluran atau parit pengatusan di
tingkat mikro sangat tergantung pada jenis komoditas yang dibudidayakan.
Misalnya saluran atau parit untuk tanaman karet memerlukan kedalaman 20-40 cm,
untuk kelapa kedalaman 40-50 cm, untuk
kelapa sawit 50-80 cm, dan untuk kakao dan kopi (gambut < 100 cm) kedalaman 40-50 cm (Agus dan Subiksa, 2008). Pada
dasarnya, muka air tanah dapat dipertahankan pada tinggi 60-100 cm dari permukaan
tanah. Muka air yang terlalu dangkal bagi tanaman perkebunan dapat mengganggu
pertumbuhan akar dan produktivitas lahan bagi tanaman perkebunan (Noor,
2001).
Pembuatan
saluran-saluran pengatusan selain mengeringkan lapisan tanah gambut juga menimbulkan emisi GRK seperti CO2.
Gambut yang kering mudah terekspose dan mudah melepaskan gas CO2.
Bahan amelioran seperti kapur, pupuk baik anorganik maupun organik yang
diberikan pada tanah gambut juga dapat menimbulkan emisi GRK CH4, CO2,
dan N2O seiring akibat perombakan terhadap gambut oleh mikroba
yang mengalami pertumbuhan dan perkembangbiakan lebih baik. Namun demikian,
hasil penelitian tentang hal ini masih terbatas dan belum banyak dilaporkan.
(2). Perbaikan Sifat Kesuburan dan Kimia Tanah
Perbaikan
kesuburan dan kimia (hara) di lahan
gambut dimaksudkan untuk memberikan tambahan dari luar antara lain dengan
pemberian bahan amelioran dan pupuk baik anorganik maupun organik. Kesuburan
lahan gambut bukan terletak pada tanahnya, tetapi pada apa yang diberikan dari
tanaman yang tumbuh atau dibudidayakan di atasnya. Hampir semua hara makro (P,
K, Ca dan Mg) dan hara mikro (khususnya Cu, Zn, B, dan Mo) di lahan gambut
dalam keadaan kahat (defisiensi). Oleh karena itu, bertanam di lahan
gambut identik dengan bertanam pada
sistem hidroponik. Hasil penelitian
Noor et al (2009) menunjukkan pada
lahan gambut yang telah mengalami pemasaman (pH tanah < 4,5) untuk budidaya
padi diperlukan pemberian bahan amelioran kapur paling sedikit 0,5 t/ha/musim.
Sementara apabila status hara P rendah
(< 10 mg P2O5/100 g) dan K rendah (< 20 mg K2O/100g)
maka untuk budidaya padi diperlukan paling sedikit masing-masing 100 kg
pupuk SP36 dan 100 kg pupuk
KCl/ha/musim. Namun akibat pemberian
bahan amelioran dan pupuk mempercepat
perombakan bahan organik dan atau gambut sendiri. Pengamatan penulis pada lahan gambut di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yang tebalnya 50-100 cm pada pada tahun 1985-1990 setelah
ditanami padi dalam kurun waktu 15 tahun (2005) sebagian besar gambut hilang
dan tersisa dengan ketebalan hanya 0-15 cm. Penipisan atau kehilangan gambut
tentu saja tidak hanya karena pemupukan, tetapi juga karena dibakar dalam
penyiapan lahan atau kebakaran alami
yang sering terjadi hampir setiap tahun.
(3).
Perbaikan Sifat Fisik dan Daya Dukung Lahan
Perbaikan sifat fisik
dan daya dukung lahan ditujukan agar penjangkaran akar tanaman, khususnya
tanaman keras/tahunan dapat kokoh sehingga terhindar dari tumbuh miring atau
tumbang. Hal ini antara lain dapat dengan pemanpatan lapisan gambut sehingga
lapisan gambut menjadi kompak, pemberian/pencampuran bahan tanah mineral,
pergantian secara selang seling antara tanaman misalnya ubi jalar setelah padi
sehingga dapat memberikan suasana aerasi bagi tanah. Memberikan kesempatan bagi ternak besar
(sapi, kerbau) untuk berkeliaran di permukaan lahan gambut dapat secara tidak
langsung memampatkan tanah gambut sekaligus menyuburkan tanahnya akibat limbah
(kotoran) dari ternak tersebut sebagai pupuk organik.
(4).
Perbaikan Sistem Budidaya
Perbaikan
sistem budidaya utamanya adalah intensifikasi dalam artian meningkatkan
intensitas tanam. Misalnya padi yang biasa hanya sekali setahun (IP 100)
ditingkatkan menjadi dua atau tiga kali tanam setahun (IP 200-300). Intensitas
pertanaman di lahan rawa pasang surut termasuk lahan gambut hanya 10% dari luas
lahan yang ditanami menerapkan 2 kali tanam setahun (IP 200). Hanya saja
keberhasilan untuk peningkatan IP (IP 200-300)
memerlukan dukungan antara lain ketersediaan varietas umur pendek (misalnya padi 3-4 bulan),
perbaikan jaringan tata air dan pintu-pintu (tabat) sehingga muka air dapat
terkendali, ketersedian pupuk dan pestisida (tepat waktu, jumlah dan harga),
ketersediaan alat olah tanah dan alsintan lainnya yang sesuai kondisi dan cukup.
Sistem
budidaya tanaman keras/perkebunan di lahan gambut juga memerlukan perbaikan.
Misalnya dalam pembuatan lubang tanam dengan dua lubang (hole in hole) sehingga tanaman tidak mudah condong atau sistem
tukungan (semi surjan) sehingga tanaman tegak dan tidak terluapi air saat
pasang tinggi atau banjir.
(5).
Perbaikan Pola Tanam dan Diversifikasi
Komoditas
Hampir semua jenis tanaman budidaya
dapat tumbuh di lahan gambut sehingga tumpang sari antara berbaga jenis tanaman
dapat dikembangkan, termasuk tanaman pakan ternak. Pada beberapa lokasi lahan
gambut sedang berkembang integrasi antara tanaman dengan ternak sapi seperti
Pangkoh dan Kelampangan, Kalimantan Tengah; Wanaraya, Kolam Kanan, Kabupaten
Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Diversifikasi komoditas atau usaha tani ini
selain dapat meningkatkan pendapatan petani juga dapat mengurangi resiko gagal
total dalam usaha tani yang sering terjadi pada lahan gambut seperti kebanjiran, kekeringan atau serangan
hama penyakit tanaman. Peluang
diversifikasi usaha tani lainnya adalah pengembangan perikanan seperti sistem kolam (beje) ikan dan pada daerah
genangan tinggi pilihan pengembangan itik dan kerbau rawa dari yang sudah ditemukan
di beberapa tempat. Menurut taksiran
diperkirakan terdapat sekitar 12.000 sampai 15.000 ekor kerbau rawa yang hidup
di rawa-rawa Kalimantan Selatan tersebar di lima kabupaten yaitu Hulu Sungai
Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Barito Kuala, dan Tanah Laut.
Di rawa-rawa Kalimantan Timur diperkirakan terdapat sekitar 1.000-1.500 ekor
yang terpusat di wilayah Mahakam bagian tengah, Kabupaten Kutai antara lain di
tiga danau paling luas, yaitu Semayang, Malintang, dan Jempang, Kerbau rawa juga dipelihara di danau-danau
Kalimantan Tengah di daerah pegunungan Kerayan dan pesisir antara lain
Kecamatan Jenamas, di Kabupaten Barito Selatan.
Di Sumatera Selatan terdapat di Pulau Layang, Pampangan Ogan Komiring Ilir
dengan populasi sekitar 700 ekor pada
areal seluas 200 ha.
V.
PENDAPATAN PETANI
DAN PERLUASAN LAPANGAN KERJA
Luas lahan gambut yang sesuai untuk
pertanian sekitar 9-10 juta ha dari luas lahan gambut keseluruhan 17-20 juta
ha. Sementara yang sudah dibuka atau dikembangkan baru sekitar 500 ribu ha untuk pertanian (transmigrasi umum
dan spontan) dan 1,2 juta ha perkebunan (kelapa sawit). Indonesia sekarang
dihadapkan pada pemenuhan kebutuhan pangan dan energi yang terus meningkat
dengan jumlah penduduk sekarang mencapai
237,5
juta jiwa. Juga dihadapkan pada jumlah
angkatan kerja yang cukup besar mencapai
116 juta jiwa dan jumlah penganggur
sekitar 8,59 juta jiwa memerlukan
lapangan pekerjaan dan terus meningkat setiap tahun (Kompas 4/10/2010). Kesempatan
kerja dengan perluasan areal dan
optimalisasi pengembangan pertanian pada lahan-lahan marginal seperti lahan
gambut cukup prospektif.
Luas lahan gambut yang berpeluang
untuk dimanfaatkan masih cukup luas terdiri dari bergambut 1,05 juta ha dan
gambut dangkal sampai gambut tengahan (tebal 50-200 cm) sekitar 12,89 juta ha (Tabel
Lampiran). Hasil-hasil penelitian berikut menunjukkan bahwa
pengembangan pertanian di lahan gambut dapat memberikan sumber pendapatan yang cukup
baik khususnya bagi tanaman sayuran atau hortikultura dan perkebunan seperti
karet dan kelapa sawit (Tabel 3, 4 dan 5).
Tabel 3. Analisis biaya
pendapatan usaha tani padi pada pola introduksi dengan masukan optimum dan pola
tanam 2 kali setahun di lahan bergambut Kalsel.
1991.
No
|
Uraian
|
Nilai
(Rp)*)
|
|
MH
1989/90
|
1990/91
|
||
1
|
Penerimaan
|
2.201.475
|
3.045.750
|
2
|
Biaya Sarana produksi
|
647.000
|
693.375
|
3
|
Upah Tenaga Kerja
(Hari Orang Kerja = HOK)
|
317
|
527
|
4
|
Pendapatan
|
1.554.475
|
2.214.575
|
*) 1 US $ = Rp. 1.925
Sumber : Supriyo et al. (1992).
Angka pendapatan pada Tabel 3 di atas bila dinilai dengan
kurs sekarang (1 US $= Rp.9.400) maka setara dengan Rp 7.580.000-10.810.000.
Namun demikian kondisi petani dalam kenyataannya masih belum menggembirakan.
Usaha tani padi di lahan rawa, termasuk gambut dinilai kurang menguntungkan
sehingga diperlukan diversifikasi dengan komoditas sayuran, perkebunan ataupun
ternak sehingga dapat meningkatkan pendapatan misalnya padi dengan jeruk atau
cabai yang berkembang di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Sulawesi
Barat (Tabel 4).
Tabel 4. Analisis biaya diversifikasi usahatani padi
dengan tanaman jeruk dan cabai di lahan
pasang surut, Barito Kuala, Kalsel. 2003
Komoditas
|
Biaya
(Rp./ha)
|
Penerimaan
(Rp./ha)
|
Keuntungan
(Rp./ha)
|
R/C ratio
|
Padi lokal
Jeruk (surjan)
Cabai (surjan)
|
856.000
1.162.000
810.000
|
2.910.000
10.070.00
1.500.000
|
2. 054.000
8.908.000
690.000
|
3,40
8,67
1,85
|
Jumlah
|
2.828.000
|
14.480.000
|
11.652.000
|
4,93
|
Padi unggul 2 x
Jeruk (surjan)
Cabai (surjan)
|
6.984.000
10.070.000
1.500.000
|
3.190.000
8.908.000
690.000
|
1,84
8,67
1,85
|
|
Jumlah
|
5.766.000
|
18.554.000
|
12.788.000
|
3,21
|
Sumber : BALITTRA (2004)
Tanaman
sayuran yang prospektif sangat tergantung pada permintaan pasar. Misalnya di
Kalimantan Barat, sayuran seledri dan ku cai (sejenis bawang daun) menunjukkan
paling menguntungkan. Tanaman seledri dan ku cai merupakan sayuran yang paling
disukai oleh etnis Cina yang mayoritas di Kalimantan Barat (Tabel 5). Di Kalimantan Tengah, cabai kecil (varietas Tiung) paling menguntungkan di tingkat
petani, tetapi tanaman introduksi tomat lebih menguntungkan lagi, disusul
bawang daun dan terung. Efisiensi usaha tani dilihat dari nilai R/C ratio tomat
= 3,67, bawang daun = 2,22 dan mentimun
= 1,8 (Tabel 6).
Tabel 5. Analisis
biaya dan pendapatan usaha tani beberapa komoditas sayuran di lahan gambut Kalbar.
2006.
No
|
Komoditas
|
Penerimaan
(Rp)***)
|
Biaya
(Rp)
|
Keuntungan
(Rp)
|
R/C
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Lidah buaya *)
Jagung manis *)
Kangkung **)
Bayam **)
Sawi **)
Kucai **)
Seledri **)
Bawang daun **)
|
46.240.000
4.245.000
150.000
224.965
112.482
180.000
400.000
450.000
|
28.826.000
3.441.000
102.357
112.483
56.241
109.928
141.071
133.821
|
17.414.000
804.000
47.643
112.482
56.241
70.071
258.928
316.179
|
1,604
1,230
1,460
1,990
2,000
1,630
2,835
3,360
|
Keterangan: *) dalam
luasan 1 ha, **) dalam luasan 18 m2 ***)
1 US $ = Rp. 9.000
Sumber : Noorginayuwati et al, (2006)
Tabel 6. Analisis
biaya dan pendapatan usaha tani sayuran di lahan gambut Desa Petak Batuah,
Kapuas, 2006.
Teknologi/ komoditas
|
Luas
(m²)
|
Hasil
(kg)
|
Penerimaan
(Rp)
|
Biaya
(
Rp)
|
Keuntungan
(Rp)
|
R/C
|
Teknologi
Petani
a.
Cabai kecil
b. Pare
c.
Gambas
|
400
400
400
|
105
150
75
|
1.150.000
450.000
225.000
|
405.000
198.000
120.000
|
645.000
252.000
105.000
|
2,59
2,27
1,87
|
Tek Introduksi
a. Tomat
b. Mentimun
c.
Terong
d.
Bawang Daun
|
400
400
400
400
|
982
620
274
332
|
2.700.500
1.395.000
685.000
1.660.000
|
722.919
768.841
481.575
748.837
|
1.977.581
626.159
203.425
911.163
|
3,73
1,81
1,42
2,22
|
Sumber : Rina et al. (2008)
Tanaman
karet banyak ditanam sekarang di lahan gambut Kalimantan Tengah. Produktivitas
karet di lahan gambut (tebal < 2 m) dapat menyamai hasil di tanah mineral rata-rata mencapai antara
400-450 kg baku/ha/tahun pada umur 6 tahun dan meningkat dapat mencapai 1.200
kg/ha/tahun pada umur 9 tahun (Sihotang dan Istianto, 1989; Setiadi, 1999 dalam Noor, 2001). Harga karet sekarang
cukup baik mencapai antara Rp. 10.000-12.000/kg cair. Apabila dihasilkan setiap sadap 20-30 kg
cair, maka setiap bulan mencapai hasil sekitar
400-600 kg @ Rp. 10.000,00 = Rp 4-6 juta/bulan atau Rp 48-72 juta/tahun.
Produksi kelapa sawit di lahan gambut pada tahap awal tergolong
rendah. Dilaporkan hasil kelapa sawit berumur 5-6 tahun dari kebun Betung
Krawo, Sumatera Selatan mencapai antara 10,86 – 12,70 ton TBS/ha/tahun. Di Sumatera
Utara dengan pengelolaan air yang baik dapat diperoleh hasil antara 20 – 24 ton
TBS/ha/th (umur 10 tahun). Produktivitas
kelapa sawit di lahan gambut mencapai
antara 19-25 ton TBS/ha/tahun (Tie dan Koeh dalam
Noor, 2001). Apabila harga sekarang Rp. 1.200/kg dengan panen 2-3 ton
TBS/bulan/ha maka pendapatan kotor petani mencapai Rp.
2.400.000-3.600.000/bulan/ha. Kalau rata-rata petani memiliki kebun 2 hektar
maka pendapatan kotor petani per bulan Rp 4,8-7,2 juta/bulan atau Rp 57-80
juta/tahun. Hasil survey di Labuhan Ratu, Sumatera Utara menunjukkan pendapatan
petani kelapa sawit rata-rata mencapai 30 juta per tahun atau 15 juta per
hektar per tahun dengan R/C ratio 3,67 (Tabel 7).
Tabel
7. Pendapatan petani pada perkebunan kelapa
sawit rakyat, Desa Aek Nabara, Labuhan Batu, Sumatera Utara, 2008.
Keterangan
|
Nilai (Rp)
|
|
Keluarga Petani
(2 Ha)/Tahun
|
Keluarga petani
/Ha/Tahun
|
|
Penerimaan
|
41.466.438
|
20.733.469
|
Biaya
|
11.313.062
|
5.656.531
|
Pendapatan
|
30.153.876
|
15.076.938
|
Biaya pengembangan tanaman
perkebunan umumnya pada tahap awal sangat besar, yaitu saat penyiapan lahan dan
pengadaan bibit. Selanjutnya pembiayaan menurun karena tinggal untuk perawatan.
Khusus untuk tanaman kelapa sawit, animo masyarakat cukup besar bahkan di
beberapa lokasi di Jambi, Bengkulu, Lampung dan Sumatera Selatan banyak petani
mempunyai kebun “mandiri” atau perkebunan rakyat yang telah memberikan hasil
dan pendapatan yang cukup signifikan
atau cukup berarti bagi peningkatan kesejahteraan (Sinar Tani, 4-10/03/2010).
Lahan gambut yang dikembangkan untuk pertanian, termasuk
perkebunan dapat memberikan banyak lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan yang
cukup. Misalnya pengembangan kebun dan
industri minyak kelapa sawit memberikan kesempatan atau lapangan kerja 0,25
orang per ha untuk pembangunan kebun dan pabrik dan 0,25 orang per ha untuk
industri minyak sawitnya. Jadi apabila terdapat sekitar 7,2 juta ha areal perkebunan
kelapa sawit maka terbuka atau tersedia kesempatan lapangan kerja bagi 3,6 juta
orang, belum termasuk pekerjaan turunan atau penunjang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho,
W.C., I.N.N. Suryadiputra, B.H. Saharja, dan l. Siboro, 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut.
Wetland Int. – Indo. Prog. & GEC. Bogor, Indonesia. 162 hlm.
Agus, F dan I.M.G. Subiksa. 2008. Lahan Gambut : potensi untuk pertanian dan
aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF).
Bogor-Indonesia. 36 hlm.
Barani, A. M. 2009. Kita baru
menguasai produksi. Tabloid Dwimingguan AGRINA Vol 5: 144, 27 Oktober-10
November 2009. Jakarta Hlm 5.
CIFOR. 2010. Petunjuk Teknis
Penelitian Proyek REDD+. (Draft). Center for International Forestry Research.
Bogor.
Dahuri, R. 1997. Dampak
lingkungan proyek pengembangan lahan gambut sejuta hektar dan arahan
pengelolaannya. Dalam
Pengelolaan Gambut Berwawasan Lingkungan. Jurnal Alami
2
(1): 7-12. BPP. Teknologi. Jakarta.
Furukawa,
H. 1997. “Jangan Patah Semangat, pak Sono” : Pengalaman Petani Tanah Gambut”.
Prisma No 3. Tahun XXXIV Maret 1997 : Hlm 81-86. LP3S. Jakarta
GOI-TN, 2008. Master Plan for the Rehabilitation and
Revitalisation of the Ex Mega Rice Project
in Central Kalimantan. Main
Synthesis Report Final Draft
October 2008. Jakarta-Palangka Raya.160 p.
Limin,
S.H. 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut dan Permasalahannya. Makalah disampaikan
pada WorkshopGambut, Jakarta 22 November 2006. Kerjsasama Badan Pengkajian
Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta dengan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI. Jakarta.
Maltby, E. dan C.P. Immirzi,. 1996. The sustainable
utilization of tropical peatland. In E. Maltby et al. (eds).
Proc. Of a Workshop on Integrated
Planning and Management of Tropical Lowland Peatland. IUCN. pp. 1-16.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan
Gambut. Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta. 174
hlm.
Noor, M., A. Haerani, Muhammad,
S. Nurzakiah, A. Fahmi. 2009.
Pengembangan teknologi pemupukan berdasarkan dinamika hara pada tanaman padi IP 300 di lahan rawa pasang surut. Laporan Hasil Penelitian SINTA 2009.
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru (Unpublist)
Noorginayuwati, M. Noor, dan M. Djamhuri. 1996.
identifikasi sebab dan akibat kebakaran pada lahan usaha tani di lahan gambut
Kalsel dan Kalteng. Makalah Seminar Nasional Masyarakat Konservasi Tanah dan
Air Indonesia (MKTI), Fakultas Pertanian Univ. Brawijaya, Malang (Jatim), 6 Desember 1996.
Noorginayuwati, A.
Rafieq, M. Noor, dan A. Jumberi. 2007. Kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan
gambut untuk pertanian di Kalimantan. Hlm 11-27. Dalam Mukhlis et al
(eds). Kearifan Lokal Pertanian di Lahan Rawa. Balai Besar Litbang SDLP-
BALITTRA. Bogor/Banjarbaru.
Ridlo. R. 1997.
Emisi CO2 pada
pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah. Dalam
Pengelolaan
Gambut Berwawasan Lingkungan. Jurnal Alami 2 (1): 57-58. Pustek
Pengelolaan SD Lahan, Wilayah dan Mitigasi Bencana, BPP Teknologi.
Jakarta.
Rieley, J.O.,
A.A. Ahmad-Shah, dan M.A. Brady, 1996. The
extern and nature of tropical peat swamps.
In E. Maltby et al (eds.). Proc. of a Workshop on
Integrated Planning and Management of Tropical Lowland Peatland. IUCN. pp. 17-54.
Rina, Y., I. Ar-Riza,
dan M. Noor., 2008. Profil sosial ekonomi dan kelembagaan petani di lahan
bukaan baru Kasus Desa Petak Batuah, Dadahup A2, Kalteng. Disajikan pada Seminar Nasional Padi, 23-24 Juli 2008 di Sukamandi. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian, Deptan.
Salim,
E. 2003. Jika iklim berubah. Dalam D.
Murdiyarso. Kata Pengantar : Sepuluh tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi
Perubahan iklim. Kompas. Jakarta.
Sjahrin, S. 2005. Bunga Rampai
Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah. Badan Pengelolaan dan Pelestarian
Lingkungan Hidup daerah (BAPPDELDA) Provinsi Kalimantan Tengah-Care
International Indonesia. Palangka Raya.
Suharto, R. 2009. Menangkis
tuduhan negatif terhadap minyak sawit Indonesia. Makalah disampaikan pada
Sosialisasi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berlanjutan, Banjarmasin, 28
Oktober 2009.
Suharno, 2010. Farming patterns
optimally on the tidal land are in Ex Peatland Development Project in Kapuas
District Central Kalimantan. Paper presented at Int. Symp. and Workshop Proper of Tropical Peatland,
Palangka Raya, 9-11 June 2010.
Suryadiputra, I.N.N., A. Dohong,
R.S.B. Waspodo, L. Muslihat, I.R. Lubis, F. Hasudungan, dan I.T. Wibisono.
2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama Masyarakat.
. Kerjasama Wetlands International dan Wildlife Habitat Canada, CCFPI. Bogor.
172 hlm.
Syaufina, L. 2008. Kebakaran
Hutan dan Lahan di Indonesia: Perilaku api, penyebab dan dampak kebakaran. Bayu
Media Publishing. Malang. 264 hlm.
Zen, R.P. 2008. Prospek pengembangan kelapa sawit pada
perkebunan rakyat (Studi Kasus KUD P3RSU, Desa Aek Nabara, Kec. Bilah Hulu
Labuhan Batu. Sumatera Utara. Skripsi. Univ. Sumatrera Utara. Medan
SUMBER
BERITA DAN OPINI MEDIA MASSA
Agrina 5: (144) : 4, 27 Oktober - 10 November 2009. Biarkan Eropah dan
Amerika Menggongong. Tabloid Dwimingguan. Jakarta Hlm 5.
Kompas, 3 Juni 2010. Moratorium Izin Dipertanyakan: Utang
Perubahan Iklim 2,3 Miliar Dollar AS. Berita Harian untuk Umum. Jakarta
Kompas, 13 Juni 2010. Pemanasan Global : Kebohongan Itu
Amat Nyata. Berita Harian untuk Umum. Halaman 14. Jakarta
Kompas, 14 Juli 2010. Moratorium Diduga Ada Percepatan
Perusakan Hutan. Berita Harian untuk Umum. Hlm 12. Jakarta
Kompas, 19 Juli 2010. Tolak, Klaim Karbon Donator: perlu
Klarifikasi untuk Beberapa Hal. Berita Harian untuk Umum. Hlm 13. Jakarta
Kompas, 4 Oktober 2010.
Negara Seakan Tidak Hadir. Berita Harian untuk Umum. Hlm 1. Jakarta
Sinar Tani, 3 April 2007. Revitalisasi Perkebunan :
Didukung Bank, diacungi jempul petani. Tabloid Mingguan Departemen Pertanian. Jakarta.
Makalah disajikan pada Semiloka Pemanfaatan Lahan Gambut
Berkelanjutan Untuk Pengurangan Kemiskinan Dan Percepatan Pembangunan Daerah, Bogor, 28 Oktober 2010
1 komentar:
SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI KANJENG<=…
>>>085-320-279-333<<<
SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI KANJENG<=…
>>>085-320-279-333<<<
Posting Komentar