PENGEMBANGAN
TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN AGRIBISNIS
HORTIKULTURA DI LAHAN GAMBUT
: Prospek, Kendala dalam Perspektif Perubahan Iklim
Muhammad Noor
RINGKASAN
Isu
tentang perubahan iklim dan pemanasan global berkenaan dengan pemanfaatan lahan
gambut untuk pengembangan pertanian semakin kuat dalam dekade terakhir ini. Lahan gambut adalah sebuah ekosistem alami
yang penting dan bernilai tinggi karena fungsinya dalam keanekaragaman hayati, pengaturan
iklim, penyimpan dan penyedia air, dan tempat bergantungnya kehidupan bagi
jutaan penduduk bumi. Hanya saja lahan gambut juga dinilai sebagai penyumbang
emisi gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4),
dan dinitro oksida (N2O) yang berdampak pada perubahan iklim dan
pemanasan global. Pemerintah merencanakan menurunkan emisi GRK sebesar 26%
secara unilateral dan 41% jika ada dukungan negara maju pada tahun 2020,
dimana 9,5-13,0% dari
target penurunan GRK tersebut di atas dialokasikan pada lahan gambut.
Pengembangan hortikultura (sayur dan buah-buahan) di
lahan gambut berkembang dimulai dari upaya masyarakat lokal setempat yang
sehari-harinya hidup di kawasan gambut. Masyarakat setempat di lahan gambut
tidak mempunyai pilihan lain atau terbatas, kecuali berupaya memberdayakan
lahan gambut tersebut sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
bertanam, beternak, menangkap ikan atau
berburu. Beberapa wilayah lahan gambut telah berkembang menjadi
pusat produksi tanaman hortikultura yang cukup baik dan maju. Hasil kajian dan penelitian menunjukkan
beberapa prospek disamping kendala baik dari aspek lahan dan lingkungan, aspek permintaan, aspek produksi dan
agribisnis, maupun aspek biaya dan pendapatan dalam upaya pengembangan lahan
gambut untuk budidaya dan agribisnis hortikultura. Pengembangan tanaman
hortikultura di lahan gambut dalam persepektif perubahan iklim ke depan
dihadapkan pada upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sehingga
memerlukan teknologi budidaya dan pengelolaan lahan dengan tingkat emisi GRK
yang rendah.
Makalah disajikan pada Seminar Nasional Hortikultura 2010 yang
diselenggarakan oleh Universitas Udayana dan Perhimpunan Hortikultura Indonesia
(PERHORTI) , Denpasar_Bali, 25-26
November 2010
I.
PENDAHULUAN
Isu tentang perubahan iklim
dan pemanasan global berkenaan dengan pemanfaatan lahan gambut untuk
pengembangan pertanian semakin kuat dalam dekade terakhir ini. Lahan gambut adalah sebuah ekosistem alami
yang penting dan bernilai tinggi karena fungsinya dalam keanekaragaman hayati, pengaturan
iklim, penyimpan dan penyedia air, dan tempat bergantungnya kehidupan bagi
jutaan penduduk bumi. Hanya saja lahan gambut juga dinilai sebagai penyumbang
emisi gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4),
dan dinitro oksida (N2O) yang berdampak pada perubahan iklim dan
pemanasan global. Emisi GRK sendiri secara nasional cenderung meningkat setiap
tahun yang juga sebetulnya akibat meningkatnya pemakaian bahan bakar fosil dari
minyak bumi, gasi alam, dan batu bara baik untuk kepentingan listrik dan energi
seperti transportasi, industri, pabrik-pabrik
maupun kepentingan rumah tangga.
Pilihan terhadap lahan
gambut sebagai lahan pertanian awalnya diilhami oleh keberhasilan masyarakat
lokal dalam pemanfaatannya untuk pertanian baik tanaman pangan maupun
perkebunan. Pemanfaatan lahan gambut
didorong oleh karena konversi lahan, kebutuhan pangan, kebutuhan devisa,
kebutuhan energi (biofuel) untuk menghidupi
seperempat milyar (237,5 juta jiwa) penduduk yang setiap tahun bertambah 350
ribu jiwa. Pemerintah daerah yang mempunyai lahan gambut juga mendapatkan
dorongan kuat dari masyarakatnya yang lahannya sudah puluhan tahun tanpa
menghasilkan sesuatupun, kecuali sebagai lahan bongkor yang terbakar setiap
tahun. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, khususnya tanaman hortikultura
(sayuran dan buah-buahan) banyak dikenal pada wilayah transmigrasi dan secara
terbatas pada beberapa wilayah lokal yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi.
Kebijakan
pemerintah tentang lahan gambut, seperti Peraturan Menteri Pertanian No
14/2009, tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit,
Pembukaan atau Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB), dibentuknya Tim Pengendalian
Kebakaran Lahan Gambut, Kelompok Kerja (Pokja) Pengelolaan Lahan Gambut
dan Konsorsium Pengelolaan Lahan Gambut
menunjukkan bahwa komitmen terhadap pengelolaan lahan gambut dari banyak pihak lebih
dari cukup. Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan internasional
seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), Kerangka Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Konvensi Ramsar tentang Konservasi Lahan Basah,
yang telah dituangkan dalam undang-undang juga merupakan bagian
ketentuan-ketentuan tentang pemanfaatan lahan gambut. Tidak kurang, komitmen
Indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudiyono di Pittsburg, Amerika Serikat (September,
2009) dan di Copenhagen pada Konferensi
G-20 dan COP-15 (Desember,
2009) yang menyatakan akan menurunkan emisi GRK sebesar 26% secara unilateral
dan 41% jika ada dukungan negara maju pada tahun 2020. Permasalahannya penurunan emisi 9,5-13,0% dari
26% di atas dialokasikan pada
lahan gambut yang berujung pada rencana program aksi adanya
moratorium. Hanya saja upaya atau program aksi moratorium ini masih memerlukan beberapa pertimbangan terkait
dengan rasa keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat.
Tulisan ini dimaksudkan mengemukakan
tentang pengembangan teknologi budidaya dan agribisnis tanaman hortikultura (sayur
dan buah-buahan) di lahan gambut
meliputi kendala dan peluang pengembangan dan perspektif perubahan iklim.
II.
PROSPEK DAN KENDALA
PENGEMBANGAN HORTIKLULTURA
DI
LAHAN GAMBUT
Pengembangan
hortikultura (sayur dan buah-buahan) di lahan gambut berkembang dimulai dari
upaya masyarakat lokal setempat yang sehari-harinya hidup di kawasan gambut.
Masyarakat setempat di lahan gambut tidak mempunyai pilihan lain atau terbatas,
kecuali berupaya memberdayakan lahan gambut tersebut sebaik-baiknya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertanam,
beternak, menangkap ikan atau berburu. Secara turun temurun masyarakat
lokal setempat membuka lahan dan
menanaminya secara lebih luas seiring bertambahnya jumlah keluarga. Jenis
tanaman pangan yang ditanam antara lain padi, sagu, ubi, jagung, kedelai dan beragam
sayur-mayur; tanaman keras/kebun antara lain karet, rotan, kelapa, jeruk,
nenas, dsb, termasuk temu-temuan (jahe, kunyit, temulawak dsb). Berikut adalah uraian
hasil kajian dan penelitian tentang prospek dan kendala pengembangan teknologi budidaya dan
agribisnis hortikultura di lahan gambut meliputi 1). aspek lahan dan lingkungan, 2 aspek permintaan,
3) aspek produksi dan agribisnis, dan 4) aspek biaya dan pendapatan.
2.1. Kajian Aspek Lahan dan Lingkungan
Lahan gambut
dicirikan oleh genangan karena pengaruh gerakan pasang surut pada rawa pasang
surut dan genangan akibat pengaruh curah hujan dan banjir kiriman dari daerah terestarial khususnya pada rawa lebak. Oleh karena itu maka pemanfaatan lahan gmabut
untuk pengembangan hortikultura memerlukan penataan lahan dan pengelolaan air.
Penataan lahan dengan model surjan memberikan peluang bagi pengembangan sayuran
di lahan rawa. Bentuk dan ukuran surjan
disesuaikan dengan sifat-sifat tanah fisik lingkungan seperti tipe luapan,
tipologi lahan dan tinggi genangan pada lahan rawa lebak serta kemampuan
petani. Pembuatan surjan dapat secara bertahap, khususnya apabila dimanfaatkan
juga untuk tanaman keras atau perkebunanan sehingga semakin besar tanaman
semakin diperlebar surjannya (Noor et al., 2006). Lahan gambut mempunyai sifat marginal dan rapuh (fragile) yang antara lain mempunyai
lapisan gambut tebal. Budidaya hortikuluta
di lahan gambut ini tergantung pada
pengelolaan air, tanah dan jenis tanaman hortikulutra yang dibudidayakan. Pada
lahan gambut budidaya hortikulutra umumnya pada lahan rawa pasang surut tipe C
dan D dengan membuat bedengan dan
saluran-saluran kemalir. Pada lahan
gambut tebal atau gambut rawa lebak sayuran dibudidayakan pada musim kemarau
dengan membuat bedengan dan saluran-saluran kemalir secara sederhana. Budidaya sayuran di lahan gambut tebal di
Kalimantan Barat (sekitar 2 km dari Kota Pontianak) dan di Kalimantan Tengah
(Kelampangan sekitar 7 km dari Kota Palangka Raya) cukup berhasil. Kemampuan
dan pengetahuan petani dalam budidaya sayuran di lahan gambut ini cukup baik
dan menguntungkan (Lestari et al.,
2006; Alwi et al., 2006). Lahan rawa juga
mempunyai lapisan senyawa pirit (FeS2) dengan berbagai kedalaman.
Senyawa pirit ini apabila terekspose atau teroksidasi maka akan menghasilkan
ion sulfat (SO4-2 dan hidrogen (H+) yang
mengakibatkan terjadinya pemasaman tanah dan air (pH 2-3). Pirit stabil dalam kondisi anaaerob atau
tergenang. Pada kondisi masam ini sebagian P dan K terjerap dan tidak tersedia,
sebaliknya ion-ion Al, Fe dan Mn meningkat
kelarutannya dalam tanah sehingga meracun tanaman. Sebaliknya pada kondisi anaerob H2S
dan Fe2+ (besi II) meningkat.
Pengelolaan air dan perbaikan tanah dalam pemanfaatan lahan rawa untuk budidaya
sayuran merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha tani di lahan rawa
(Alihamsyah, et al., 2003, Noor et al., 2006).
Tanaman
hortikultura umumnya menghendaki pH 6-7 dan ketersediaan hara N, P, dan K yang
cukup. Oleh karena itu pemanfaatan lahan rawa untuk budidaya tanaman pertanian,
termasuk sayuran memerlukan bahan amelioran (seperti kapur atau dolomit, fosfat alam),
pupuk organik dan anorganik. Selain
itu pada musim kamarau diperlukan mulsa penutup muka tanah untuk mempertahankan
lengas dan suhu tanah. Lingkungan rawa merupakan lingkungan yang dikenal
mempunyai tingkat virulensi tinggi. Hama, serangga, dan penyakit tanaman cukup
tinggi sehingga memerlukan pengelolaan hama dan penyakit terpadu apalagi
tanaman sayuran sangat rentan diserang oleh organisme pengganggu tanaman. Pemilihan jenis komoditas dan varietas yang
tahan baik terhadap kondisi lahan maupun sebagai siasat menahan serangan hama
dan penyakit tanaman diperlukan untuk menghindari kegagalan dalam usaha tani di
lahan rawa.
Tingkat produktivitas lahan
gambut sangat beragam dipengaruhi oleh ketebalan, kematangan, lapisan
substratum dibawahnya, bahan penyusun, lingkungan pembentukan, dan pengelolaan
atau input yang diberikan yang
penting menjadi pertimbangan dalam penentuan kriteria kesesuaian untuk
pembukaan lahan gambut. Secara umum produktivitas gambut dangkal – menengah (tebal 50-200 cm)
lebih tinggi daripada gambut dalam (tebal > 3 m), gambut matang
(saprik-hemik) lebih baik dibandingkan gambut mentah (fibrik), gambut yang
substratum bawahnya liat (marine clay)
lebih subur dibandingkan pasir (kuarsa), gambut seratan lebih subur
dibandingkan gambut kayuan (woodpeat), gambut rawa lebak lebih subur daripada
gambut rawa pasang surut, gambut dataran tinggi (vulkanik) lebih subur daripada
dataran rendah, dan gambut yang ada di Sumatera lebih subur di bandingkan
gambut di Kalimantan. Dengan demikian,
maka upaya atau cara peningkatan produktivitas lahan gambut sangat ditentukan
oleh karakteristik atau sifat dan watak inherence
dari lahan gambut yang dikelola. Hal ini juga menunjukkan pentingnya
karakterisasi atau penyidikan awal untuk penentuan input dan cara pengelolaan
yang tepat.
2.2. Kajian Aspek Pemintaan
Permintaan pasar terhadap hortikultura (sayur dan buah-buahan)
meningkat seiring dengan kemajuan pengetahuan dan kesadaran, serta perbaikan
sosial ekonomi masyarakat. Menurut
Rachman (1997) konsumen dan permintaan produk sayuran di Indonesia mempunyai
ciri-ciri antara lain (1) konsumsi
tetap/datar sepanjang tahun, cenderung meningkat singkat pada hari-hari besar
keagamaan, (2) tingkat konsumsi sayuran per kapita (BPS, 1993) pada golongan
pendapatan rendah masih terbatas yaitu 25,8 kg/kapita/tahun, dan (3) terdapat
kecenderungan peningkatan konsumsi dengan meningkatnya pendapatan, (4) pusat
yang potensial bagi pengembangan hortikultura adalah pusat-pusat konsumsi yang
berada di kota-kota besar, dan (5) komditas sayuran yang dikonsumsi masyarakat bervariasi tergantung pada harga
komoditas, ketersedian dan harga barang lain (sebagai substitusi atau
komplementer), tingkat pendapatan, dan preferensi masyarakat.
Dari 30 jenis sayuran yang
dikonsumsi dari data tahun 1990, 1996 dan 2002 menunjukkan bahwa 50% jenis
sayuran mengalami penurunan. Beberapa komoditas dataran tinggi seperti kentang,
tomat, dan cabai merah mengalami peningkatan, masing-masing 0,5, 2,9, dan 1,6 %
per tahun, sebaliknya komoditas sayuran kubis mengalami penurunan 0,2 % per
tahun. Pada kawasan rawa konsumsi sayuran sangat erat hubungannya dengan
kebiasaan dan adat masyarakat, seperti pada umumnya masyarakat Kalimantan
mempunyai kebiasaan mengkonsumsi cabai dan tomat untuk masakan sehari-hari,
khususnya pada hari besar dan acara besar keluarga seperti perkawinan.
Neraca
Bahan Makanan tahun 2002 menunjukkan bahwa sayur-sayuran yang berada di
Kalimantan Selatan hampir seluruhnya berasal dari produksi sendiri kecuali
kentang, kubis, wortel, bawang daun, bawang merah dan bawang putih yang
didatangkan (impor) dari propinsi lain. Sayur-sayuran yang produksinya terbesar adalah kacang panjang 3,863 ton,
cabe 3,357 ton, dan terong 3,097 ton. Impor sayuran pada tahun 2001 mencapai
6.80 ton, yang terdiri dari bawang merah sebanyak 2.503 ton, bawang putih 1,181
ton, kentang 549 ton, kubis/ kol 1.149 ton, wortel 400 ton, cabe 1.002 ton, dan
bawang daun 18 ton. Ketersediaan sayur-sayuran di Kalimantan Selatan sebanyak 37.043 ton atau 11,65 kg per kapita
per tahun. Sedangkan rata-rata ketersediaan per jenis sayuran adalah 0,69 kg.
Hanya kacang panjang dan cabe yang lebih dari 1 kg per kapita per tahun, sedang
sayuran lainnya masih < 1 kg per kapita per tahun (BPS Kalimantan Selatan,
2003). Keadaan ini menunjukkan peluang
usahatani sayuran masih besar, terutama untuk jenis-jenis sayuran yang masih
diimpor tersebut yang sebagian besar dapat diusahakan di lahan rawa. Apalagi
dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat maka permintaan
terhadap sayuran dapat semakin meningkat sehingga diharapkan dengan
meningkatkan jumlah konsumen dan pendapatan dapat merangsang pasar sayur dalam
negeri (Rachman, 1997). Menurut FAO
selama tiga tahun (1999-2001) tingkat
konsumsi masyarakat terhadap sayur mengalami turun naik misalnya pada tahun
1999 sebesar 31,33 kg/kapita/tahun, pada tahun 2000 menjadi 29,39
kg/kapita/tahun, dan tahun 2001 menjadi 29,70 kg/kapita/tahun.
2.3. Aspek Produksi dan Agribisnis
Potensi pengembangan sayuran masih terbuka luas dari segi
lahan, teknologi budidaya, pasca panen dan pengolahan. Terkait dengan sifat dan watak lahan rawa
maka produksi sayuran di lahan rawa
sangat tergantung pada keberhasilan dalam pengelolaan air, tanah dan tanamannya
sebagaimana diuraikan pada bab di atas.
Luas lahan rawa yang berpotensi
untuk pengembangan pertanian diperkirakan antara 9-10 juta hektar, sedangkan
yang dibuka baru sekitar 5 juta hektar dan yang dapat dimanfaatkan baru sekitar
2 juta hektar. Sementara kebanyakan
lahan rawa dimanfaatkan untuk budidaya pertanian tanaman pangan (padi), dan
secara terbatas untuk tanaman hortikultura. Secara keseluruhan tersedia lahan
untuk pengembangan hortikultura/sayuran mencakup pekarangan 5,55 juta hektar,
tegalan/huma 11,61 juta hektar, lahan tidak diusahakan 7,68 juta hektar, dan
lahan untuk kayu-kayuan seluas 9,13 juta hektar (Ditjen Bina Produksi
Hortikultura, 2001). Hasil penelitian di
lahan rawa pasang surut dan rawa lebak menunjukkan bahwa tanaman hortikultura
di lahan gambut dapat dikembangkan dengan produktivitas cukup tinggi apabila
dikelola dengan baik (Tabel 1).
Pangsa produksi hortikultura/sayuran di Indonesia pada tahun 2000
diperkirakan sekitar 8,2 milyun ton.
Sekitar 56% (4,6 milyun ton)
merupakam hasil produksi komersial dan sisanya 44% (3,7 milyun ton) hasil produksi
rakyat/tidak bersifat komersial. Produksi hortikultura/sayuran komersial
bertambah kira-kira 7,0% per tahun dan hasil produksi keseluruhan diperkirakan
.mencapai 9,0 milyun ton pada tahun 2005.
Permintaan hortikultura/sayuran tahunan
dari produksi komersial diperkirakan meningkat 7% masing-masing 2% dari
akibat pertambahan jumlah penduduk, 3,5% dari akibat peningkatnya pendapatan
dan 1,5% dari akibat urbanisasi perkotaan. Permintaan hortikultura/sayuran yang
bertambah ini menuntut pentingnya penambahan produksi (Subhan, 2005).
Tabel 1. Jenis dan varietas tanaman hortikultura yang
cocok dibudidayakan di lahan gambut pada ekosistem rawa pasang surut dan rawa
lebak
Jenis tanaman
|
Varietas
|
Hasil
(t/ha)
|
Tomat
|
Intan, Permata, Berlian, Mirah, AV-22, Ratna
|
10-16
|
Cabai
|
Tanjung-1, Tanjung-2, Hot
Chili, Barito, Bengkulu, Tampar, Keriting, Rawit Hijau dan Putih
|
9-18
|
Terong
|
Mustang, Kopek Ungu, Ungu Panjang, No. 4000
|
17-40
|
Kubis
|
KK Cross, KY Cross
|
20-32
|
Kacang
panjang
|
Super King, Pontianak,
KP-1, KP-2, Lebat
|
15-28
|
Buncis
|
Horti-1, Horti-2, Lebat,
Prosessor, Farmer Early, Green Leaf
|
6-8
|
Timun
|
Saturnus, Mars, Pluto,
Hercules, Venus
|
23-40
|
Sawi
|
Asveg#1, Sangihe, Talaud,
Tosakan, Putih Jabung, Sawi Hijau, Sawi Huma, No. 82-157
|
10-20
|
Slada
|
New Grand Rapids
|
9-15
|
Bayam
|
Maestro, Giti Hijau dan
Merah, Cimangkok, Kakap Hijau
|
10-12
|
Kangkung
|
LP-1, LP-2, Sutera
|
25-30
|
Lobak
|
Grand Long
|
50-85
|
Pare
|
Siam, Maya
|
17-18
|
Semangka
|
Agustina, New Dragon,
Sugar Baby
|
10-25
|
Melon
|
Monami Red, Sky Rocket
|
14-18
|
Sumber :
Alihamsyah et al. (2003) dan Hilman et al. (2003).
2. 4. Kajian Aspek Biaya dan Pendapatan
Biaya dan pendapatan petani dalam budidaya hortikultura di lahan gambut
sangat beragam, tergantung pada teknologi budidaya dan pengelolaan tanah, air
dan tanamannya. Pemilihan komoditas
untuk mendapatkan nilai pendapatan yang memadai perlu diarahkan pada
multikomoditas atau diversifikasi usaha tani. Komoditas unggulan karena nilai
ekonomis yang tinggi merupakan pilihan yang utama. Pengembangan lahan gambut yang hanya menitik beratkan pada komoditas pangan
(misalnya padi saja) tidak akan dapat meningkatkan kesejahteraan petani
mengingat nilai tukar padi masih rendah sementara biaya usahatani meningkat
terus. Diversifikasi dengan memasukan komoditas hortikultra dalam sistem usaha tani terpadu di lahan rawa memberi
peluang tambahan pendpatan bagi petani.
Hortikultura, khususnya sayuran merupakan komoditas yang dapat diusahakan pada
semua jenis tipologi lahan rawa, kecuali pada tipologi lahan rawa lebak dalam. Pola usahatani hortikultura di lahan gambut sangat beragam tergantung dengan tipologi lahan dan tipe luapan pasang.
Pada lahan gambut pasang surut tipe B, tomat dan cabai merupakan tanaman yang
paling berpotensial setelah nenas. Pada
lahan rawa lebak dangkal cabai memperlihatkan efisiensi tertinggi (R/C = 3,70)
dan lebih kompetitif dibandingkan dengan padi unggul. Sedangkan pada lebak tengahan labu kuning
paling efisien (R/C = 4,40) dan lebih kompetitif dibandingkan dengan sayuran
lainnya terhadap padi unggul. Pada lahan
gambut bawang daun lebih efisien dibandingkan dengan sayuran lainnya (R/C =
3,36) Usahatani sayuran di lahan gambut
memberikan kontribusi yang tertinggi (83 %) terhadap total pendapatan petani
pertahun dibandingkan dengan usahatani sayuran di lahan sulfat masam (0,34 %)
dan lahan lebak dangkal (8,64 %) serta lebak tengahan (32,13 %) (Noorginayuwati
dan Rina, 2006).
Peluang
perkembangan usahatani hortikultura di
lahan gambut ini ke depan perlu mendapat
perhatian sebagai alternatif atau
pengganti lahan subur di Jawa yang terus mengalami alih fungsi. Berdasar
sifat dan watak dari lahan gambut secara umum, maka secara teknis peningkatan
produktivitas lahan gambut dapat
ditempuh dengan melalui antara lain : (1) perbaikan pengelolaan air, (2) perbaikan sifat kesuburan dan kimia
tanah, (3) perbaikan sifat fisik dan daya dukung tanah, (4) perbaikan sistem
budidaya, dan (5) perbaikan pola tanam
dan diversifikasi komoditas. Hasil-hasil
penelitian berikut menunjukkan bahwa pengembangan pertanian di lahan rawa atau gambut
dapat memberikan sumber pendapatan yang cukup baik khususnya bagi tanaman hortikultura
(Tabel 2, 3 dan 4).
Tabel 2. Analisis biaya diversifikasi usahatani padi
dengan tanaman jeruk dan cabai di lahan
pasang surut, Barito Kuala, Kalsel. 2003
Komoditas
|
Biaya
(Rp./ha)
|
Pu enerimaan
(Rp./ha)
|
Keuntungan
(Rp./ha)
|
R/C ratio
|
Padi lokal
Jeruk (surjan)
Cabai (surjan)
|
856.000
1.162.000
810.000
|
2.910.000
10.070.00
1.500.000
|
2. 054.000
8.908.000
690.000
|
3,40
8,67
1,85
|
Jumlah
|
2.828.000
|
14.480.000
|
11.652.000
|
4,93
|
Padi unggul 2 x
Jeruk (surjan)
Cabai (surjan)
|
|
6.984.000
10.070.000
1.500.000
|
3.190.000
8.908.000
690.000
|
1,84
8,67
1,85
|
Jumlah
|
5.766.000
|
18.554.000
|
12.788.000
|
3,21
|
Sumber : BALITTRA (2004)
Tanaman
sayuran yang prospektif sangat tergantung pada permintaan pasar. Misalnya di
Kalimantan Barat, sayuran seledri dan ku cai (sejenis bawang daun) menunjukkan
paling menguntungkan. Tanaman seledri dan ku cai merupakan sayuran yang paling
disukai oleh etnis Cina yang mayoritas di Kalimantan Barat (Tabel 3). Di Kalimantan Tengah, cabai kecil (varietas Tiung) paling menguntungkan di tingkat
petani, tetapi tanaman introduksi tomat lebih menguntungkan lagi, disusul
bawang daun dan terung. Efisiensi usaha tani dilihat dari nilai R/C ratio tomat
= 3,67, bawang daun = 2,22 dan mentimun
= 1,8 (Tabel 4).
Tabel 3. Analisis
biaya dan pendapatan usaha tani beberapa komoditas sayuran di lahan gambut
Kalbar. 2006.
No
|
Komoditas
|
Penerimaan
(Rp)***)
|
Biaya
(Rp)
|
Keuntungan
(Rp)
|
R/C
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Lidah buaya *)
Jagung manis *)
Kangkung **)
Bayam **)
Sawi **)
Kucai **)
Seledri **)
Bawang daun **)
|
46.240.000
4.245.000
150.000
224.965
112.482
180.000
400.000
450.000
|
28.826.000
3.441.000
102.357
112.483
56.241
109.928
141.071
133.821
|
17.414.000
804.000
47.643
112.482
56.241
70.071
258.928
316.179
|
1,604
1,230
1,460
1,990
2,000
1,630
2,835
3,360
|
Keterangan: *) dalam
luasan 1 ha, **) dalam luasan 18 m2 ***) 1 US $ = Rp. 9.000
Sumber : Noorginayuwati et al, (2006)
Tabel 4. Analisis
biaya dan pendapatan usaha tani sayuran di lahan gambut Desa Petak Batuah,
Kapuas, 2006.
Teknologi/ komoditas
|
Luas
(m²)
|
Hasil
(kg)
|
Penerimaan
(Rp)
|
Biaya
(
Rp)
|
Keuntungan
(Rp)
|
R/C
|
Teknologi
Petani
a.
Cabai kecil
b. Pare
c.
Gambas
|
400
400
400
|
105
150
75
|
1.150.000
450.000
225.000
|
405.000
198.000
120.000
|
645.000
252.000
105.000
|
2,59
2,27
1,87
|
Tek Introduksi
a. Tomat
b. Mentimun
c.
Terong
d.
Bawang Daun
|
400
400
400
400
|
982
620
274
332
|
2.700.500
1.395.000
685.000
1.660.000
|
722.919
768.841
481.575
748.837
|
1.977.581
626.159
203.425
911.163
|
3,73
1,81
1,42
2,22
|
Sumber : Rina et al. (2008)
III.
BUDIDAYA TANAMAN HORTIKULTURA DI LAHAN
GAMBUT DALAM PERSPEKTIF PERUBAHAN IKLIM
Lahan gambut dikenal sebagai sumber karbon sehingga
merupakan potensial sebagai emitor GRK. Misalnya dalam 25 tahun pemanfaatan untuk tanaman semusim ternyata memberikan jumlah emisi bersih 40%
lebih tinggi dibandingkan perkebunan. Laju emisi karbon dari lahan gambut
dengan tanaman semusim dalam 25 tahun sekitar
2.050 t CO2.ha-1 (atau 82 t CO2.ha-1.tahun-1)
dibandingkan dengan tanaman perkebunan sekitar 1.453 t CO2.ha-1
(atau 58 t CO2. ha-1.tahun-1). Emisi karbon
tertinggi dari kegiatan pertanian tanaman semusim disumbang dari kebakaran
(sistem tebas-bakar) sebesar hampir 70% dan selebihnya sebesar 30% disumbang
dari perombakan bahan organik (Tabel 5).
Tabel 5. Emisi bersih dari lahan gambut
dalam berbagai kegiatan atau pemanfaatan
No
|
Kegiatan
atau Pemanfaatan
|
Emisi/Rosot
(t CO2.ha-1)
|
Emisi Bersih
(t CO2.ha-1)
|
1
|
Pembukaan lahan/hutan :
Emisi dari biomassa > 10 cm
Emisi dari kebakaran
|
427
160
|
587
|
2
|
Perkebunan
Rosot (Pemendaman) karbon
Emisi dari perombakan
|
- 367**)
1.820**)
|
1.453 **)
|
3
|
Tanaman Semusim
Emisi dari kebakaran
Emisi dari perombakan
|
55*)
27*)
|
2.050**)
|
*)
per tahun; **) per 25 tahun
Sumber : Melling et al. (2008)
Besarnya emisi GRK di lahan gambut mempunyai keberagaman.
Data emisi yang ditunjukkan dari satu penulis atau sumber
dengan sumber lain sering berbeda. Hal ini karena kondisi dan perlakuan atau
pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang berbeda. Menurut Maltby (1997) laju emisi dari pertanian tanaman
pangan (tanaman semusim) berkisar antara 5-42 t C.ha-1.tahun-1
(1 ton C = 3,66 t CO2) sementara pada kondisi hutan alami
menghasilkan emisi hanya sekitar 0,3-2,0 t C.ha-1.tahun-1
Gas rumah kaca dinitrooksida (N2O) dari lahan
gambut dikenal cukup besar terutama dalam kondisi tumpat air (waterlogged) setelah pengeringan, dan
meningkat karena adanya perombakan gambut. Hasil penelitian Takakai et al (2004) menunjukkan bahwa emisi N2O tertinggi pada
lahan budidaya, menyusul padang rumput, hutan alami, hutan regenerasi, dan
paling rendah pada hutan bekas terbakar. Emisi N2O dari hutan pada
tahun 2002-2003 menunjukkan tidak berbeda nyata antara hutan alami, hutan
regenerasi dan hutan terbakar yang masing-masing mempunyai tingkat emisi 0,62 ±
0,11; 0,40 ± 0,32 dan 0,97 ± 0,65 kg N. ha-1. tahun -1,
sementara emisi N2O dari padang rumput pada tahun 2002-2003 mencapai
7,10 ± 1,20 kg N. ha-1. tahun-1. Sedangkan emisi N2O
dari lahan budidaya paling tinggi, tergantung pada jenis tanaman dan kondisi
lahan antara 21 ± 5,4 (B) sampai dengan 131 ± 59 (A). Emisi N2O tahun 2003-2004 jauh lebih tinggi hampir 2
kali lipat dari tahun 2002-2003 (Tabel 6).
Tabel 6.. Tingkat emisi N2O
pada berbagai macam penggunaan lahan di lahan gambut, Kalimantan Tengah
2002-2003 dan 2003-2004
Pengunaan
Lahan
|
Emisi
N2O (kg N.ha-1.tahun-1)
|
Tahun
2002-2003
|
Tahun
2003-2004
|
Hutan alami
|
0,62
± 0,11
|
4,4 ±
1,2
|
Hutan regenerasi
|
0,40 ± 0,32
|
4,0 ± 1,9
|
Hutan terbakar
|
0,97 ± 0,65
|
1,5 ± 0.7
|
Padang rumput
|
7,10 ± 1,20
|
23 ± 9,8
|
Lahan budidaya A *)
|
131 ± 59
|
259 ±44
|
Lahan budidaya B *)
|
21 ± 5,4
|
52 ± 8,2
|
Lahan budidaya C *)
|
83 ± 26
|
15136
|
*) tanaman campuran sayuran, kacang panjang,
jagung, dan ubi kayu.
Sumber :
Takakai et al. (2004)
Rangkaian penelitian menunjukkan bahwa emisi GRK pada lahan budidaya pertanian
dan perkebunan pada lahan gambut sangat
beragam, tergantung pada sistem pengelolaan lahan dan air serta kesudahan
reklamasi/pengatusan. Emisi bersih karbon pada tanaman semusim mencapai 2.050 t
CO2. ha-1 selama 25 tahun atau 82 t CO2.ha-1
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman perkebunan (Melling et al, 2008). Takakai et al. (2004) menunjukan bahwa tingkat
emisi CO2, CH4 dan N2O pada hutan alami, hutan
bekas terbakar dan lahan budidaya (meliputi tanaman semusim campuran antara
sayuran, kacang panjang, jagung, dan ubi kayu) mempunyai perbedaan yang nyata
(Gambar 5.7, 5.8 dan 5.9). Tingkat Global
Warning Potential (GWP) dari
budidaya pertanian di lahan gambut menunjukan paling tinggi pada lahan tanaman
A (Cropland A) dibandingkan dengan lahan
tanaman B dan C (Gambar 1,2,3 dan 4).
Gambar 1. Emisi CO2 pada
hutan gambut dan budidaya pertanian di lahan
gambut, Kalimantan Tengah (kg C. ha-1.th-1)
Gambar 2. Emisi CH4 pada hutan gambut dan budidaya pertanian
di lahan gambut, Kalimantan Tengah (kg C.
ha-1.th-1)
Gambar 3. Emisi N2O pada hutan gambut dan budidaya pertanian
di lahan gambut, Kalimantan Tengah (kg N.
ha-1.th-1)
Gambar 4.
Global Warming Potential (GWP) dari lahan budidaya pertanian di lahan gambut (Mg CO2 eq.
ha-1. th-1)
Lahan gambut memiliki keberagaman yang merupakan salah
satu keunikan dari ekosistem rawa. Keberhasilan usaha pertanian dan perkebunan pada lahan gambut, termasuk emisi GRK yang
dihasilkan dari lahan gambut sangat dipengaruhi oleh berbagai sifat tanah
gambut dan cara pengelolaan tanah dan air serta lingkungannya. Misalnya pada
kondisi tergenangan (anaerob) maka emisi metan (CH4) meningkat,
sebaliknya pada kondisi kering maka emisi metan turun. Besar emisi karbon yang
dihasilkan lahan gambut juga dipengaruhi oleh jeluk muka air tanah. Makin dalam
muka air tanah (dari 30 cm sampai 90 cm)
maka besar emisi CO2 semakin tinggi, tergantung pada jenis
dan lingkungan gambut (Gambar 5.10). Menurut Hadi et al. (2007) tingkat emisi gas CH4 dan N2O
dalam budidaya padi sawah dapat diturunkan antara lain dengan (1) pengairan
berselang, (2) penggunaan varietas padi yang mempunyai eksudat rendah, (3)
pematangan bahan organik dengan pengomposan, (4) pemberian inhibitor
methanogenesis dan nitrifikasi, dan penerapan sistem sebar langsung. Pilihan cara atau upaya mitigasi dalam
mengatasi emisi gas CH4 dan N2O di atas sangat tergantung
pada keadaan dan kemampuan masing-masing lokasi. Hasil penelitian Hadi et
al (2007) menunjukan emisi CH4 dan N2O dipengaruhi
oleh tipe luapan. Emisi CH4 tertinggi pada tipe luapan A disusul
tipe luapan D masing-masing berturutan sebesar 9,95 dan 0,37 g C.m-2
per musim tanam (Tabel 7). Emisi CH4 berkorelasi positif dengan kadar air tanah dan kerapatan lindak (bulk density) (Gambar 5 dan 6). Hal ini
menunjukkan bahwa peranan pengelolaan air sangat penting sebagai bagian dalam
mitigasi terhadap CH4.
Tabel 7. .Emisi total CH4 dan N2O, GWP, Hasil
padi dan Indeks Emisi pada berbagai tipe luapan pada lahan gambut.
Tipe luapan
|
C organik (%)
|
Emisi (g C.m-2 per musim tanam)
|
GWP
(g C.ha-1. th-1)
|
Hasil
(t GKG.ha-1)
|
Indeks emisi
(g C/t GKG)
|
CH4
|
N2O
|
A
|
37,1
|
9,95
|
0,07
|
242,6
|
1,10
|
220
|
B
|
54,3
|
-0,59
|
0,10
|
19,6
|
1,91
|
10
|
C
|
31,8
|
-0,13
|
0,00
|
-7,8
|
1,84
|
-4
|
D
|
34,3
|
0,37
|
0,19
|
45,7
|
1,59
|
29
|
GWP = Global Warming Potential;
GKG = Gabah Kering Giling
Sumber : Hadil et al. (2007)
Gambar 5. Hubungan tingkat emisi CH4
dengan kadar air tanah (Hadi et al.,
2007)
Gambar 6.. Hubungan
tingkat emisi CH4 dengan kerapatan lindak (Hadi et al., 2007)
Menurut Radjagukguk (2010) emisi karbon dipengaruhi oleh tipe penggunaan
lahan. Dari empat tipe penggunaan, emisi tertinggi didapati pada tanaman karet
> kelapas sawit > lidah buaya > jagung
(Gambar 7). Menurut Radjagukguk (2010) lama penggunaan lahan juga
mempengaruhi tingkat emisi CO2 yang dilepaskan. Misalnya hasil emisi
CO2 pada periode Maret-April 2006 dari ubi jalar dan sayuran pada
lahan gambut Kalampangan, Kalimantan Tengah yang telah dibudidayakan antara 1
dan 5 tahun masing-masing menghasilkan 0,407 g dan 0,691 g CO2/m2/jam
dibandingkan dengan yang telah dibudidayakan 6 dan 10 tahun masing-masing
menghasilkan 0,827 dan 0,976 CO2/m2/jam (Gambar 8 dan Tabel
8).
Gambar 7.. Hubungan emisi CO2
dengan tipe penggunaan lahan (Radjagukguk, 2010)
Gambar 8. Hubungan
emisi CO2 dengan muka air tanah pada lahan gambut pada d berbagai
tipe penggunaan/komoditas dan lama pengusahaan (Rumbang dalam Radjagukguk, 2010).
Tabel 8. Nilai emisi karbon pada lahan gambut dengan
berbagai penggunaan/komoditas dan muka
air tanah
Perlakuan
|
Jenis komoditas
|
Kelapa sawit
|
Buah-buah
|
Nenas
|
Pola tanam
|
1
x setahun
|
1
x setahun
|
2
x setahun
|
Umur
tanaman
|
10
tahun
|
2
tahun
|
1
tahun
|
Muka
air tanah (cm)
|
35-80
|
30-70
|
10-50
|
Emisi
CO2 (mg C m-2 jam-1)
|
150-190
|
100-120
|
120-150
|
Sumber : Rumbang dalam Radjagukguk (2010)
IV.
KESIMPULAN
DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan dan
diperlukan beberapa implikasi kebijakan bahwa :
- Peluang pengembangan dan agribisnis hortikulutra (sayur
dan buah-buahan) di lahan gambut terbuka luas baik dari segi aspek lahan
dan lingkungan serta teknologi produksi.
Permintaan sayuran terus meningkat sehingga peningkatan produksi
diperlukan dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri dan menekan
semakin gencarnya impor.
- Peningkatan produksi dan pengembangan agrbisnis
hortikulutra di lahan rawa memerlukan perangkat kelembagaan pemasaran dan
keuangan yang sementara ini masih belum tersedia. Penguatan kelembagaan di
tingkat petani diperlukan untuk meningkatkan daya tawar dan pembagian
keuntungan yang selama ini lebih banyak jatuh ke tangan pedagang. Struktur agribisnis hortikultura
(termasuk sayuran) perlu
dikembagkan ke arah terpadu (integrated) sehingga lebih efisien dan
menguntungkan
- Peluang perkembangan usaha tani hortikultura di
lahan gambut perlu mendapat perhatian sebagai alternatif untuk mengimbangi kemerosotan yang di
alami Pulau Jawa yang selama ini sebagai pemasok utama sayuran secara
nasional.
- Dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
maka pengembangan budidaya dan pengelolaan tanah dan air untuk tanaman hortikultura
di lahan gambut diperlukan penelitian untuk mendapatkan inovasi teknologi
budidaya dengan tingkat emisi rendah
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho,
W.C., I.N.N. Suryadiputra, B.H. Saharja, dan l. Siboro, 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut.
Wetland Int. – Indo. Prog. & GEC. Bogor, Indonesia. 162 hlm.
Agus, F dan I.M.G. Subiksa. 2008. Lahan Gambut : potensi untuk pertanian dan
aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF).
Bogor-Indonesia. 36 hlm.
Alihamsyah, T. M.
Sarwani, A.Jumberi, I. Ar-Riza, I. Noor,
dan H. Sutikno 2003. Lahan Rawa Pasang Surut : Pendukung Ketahanan Pangan dan
Sumber Pertumbuhan Agribisnis. Balittra. Banjarbaru. 53
halaman.
Alwi, M, Y. Lestari, dan M. Noor, 2006. Teknologi budidaya
sayuran di lahan gambut. Dalam M.
Noor, I. Noor dan SS. Antarlina (eds). Budidaya Sayuran
di Lahan Rawa : Teknologi Budidaya dan Peluang Agribisnis. Monograf Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa. Banjarbaru.
BALITTRA. 2004. Laporan Tahunan Penelitian Pertanian
Lahan Rawa Tahun 2003. Penyunting Trip Alihamsyah dan Izzuddin Noor. Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
Hadi, A., Z.T. Mriyana, dan P. Londong. 2007. Pengelolaan
penggunaan berdasarakan tipologi luapan pasang surut sebaai opsi mitigasi emisi
gas CH4 dan N2O, Hlm 301-316. Dalam Mukhlis et al. (eds). Pros. Seminar Nasional Pertanian
Lahan Rawa, Kuala Kapuas,3-4 Agustus 2007. Badan Litbang dan Pemkab Kapuas
Kalimantan Tengah.
Hilman, Y, A. Muharam dan A. Dimyati. 2003. Teknologi
agro-produksi dalam pengelolaan lahan gambut. Makalah disajikan pada Lokakarya
Nasional Pertanian Lahan Gambut, Pontianak, 15-16 Desember 2003.
Irawan, B. 2003. Agribisnis hortikultura: peluang dan
tantangan dalam era globalisasi. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian, Deptan. Bogor.
Lestari, Y., M. Alwi dan M. Noor, Prospek dan kendala
budidaya sayuran di lahan gambut: Hasil pengalaman dan penelitian di
Kalimantan. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan : Membangunan Ketahanan Pangan
Berbasis Sumberdaya Lokal, Palangka Raya, 03-04 November 2006. BPTP Kalimantan Tengah. Palangka Raya
Melling,
L. R. Hatano, K.J. Goh. 2005. Soil CO2 flux from three
ecosystem in tropical peatland of Serawak, Malaysia. Tellus 57B: 1-11. UK
Noorginayuwati, M. Noor, dan M. Djamhuri. 1996.
identifikasi sebab dan akibat kebakaran pada lahan usaha tani di lahan gambut
Kalsel dan Kalteng. Makalah Seminar Nasional Masyarakat Konservasi Tanah dan
Air Indonesia (MKTI), Fakultas Pertanian Univ. Brawijaya, Malang (Jatim), 6 Desember 1996.
Noorginayuwati dan Rina. 2006. Sistem usahatani berbasis sayuran di lahan rawa. Dalam M. Noor, I. Noor
dan SS. Antarlina (eds). Budidaya Sayuran di Lahan Rawa : Teknologi Budidaya dan
Peluang Agribisnis. Monograf Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
Noorginayuwati, A.
Rafieq, M. Noor, dan A. Jumberi. 2007. Kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan
gambut untuk pertanian di Kalimantan. Hlm 11-27. Dalam Mukhlis et al
(eds). Kearifan Lokal Pertanian di Lahan Rawa. Balai Besar Litbang SDLP-
BALITTRA. Bogor/Banjarbaru.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan
Gambut. Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta. 174
hlm.
Noor, M., A. Haerani, Muhammad,
S. Nurzakiah, A. Fahmi. 2009.
Pengembangan teknologi pemupukan berdasarkan dinamika hara pada tanaman padi IP 300 di lahan rawa pasang surut. Laporan Hasil Penelitian SINTA 2009.
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru (Unpublist)
Noor, M., Mukhlis,
dan Achmadi. 2006. Pengelolaan
sumber daya lahan rawa dalam
perspektif pengembangan inovasi teknologi pertanian. Makalah disajikan pada
Seminar Nasional Sumber Daya Lahan dengan
tema : Staretegi Pemanfaatan dan
Pengelolaan Sumberdaya Lahan Pertanian Berbasis Iptek, 14-15 September 2006
di Bogor
Radjagukguk, 2010.Efek pemanfaatan lahan gambut terhdap
pemanasan global. Makalah Seminar Nasional Revitalsiasi Pembangunan Lingkungan
Pertanian dalam Menghadapi Global Warming, Banjarbaru. 11 Maret 2010.
Rina, Y., I. Ar-Riza, dan M. Noor., 2008.
Profil sosial ekonomi dan kelembagaan petani di lahan bukaan baru Kasus Desa
Petak Batuah, Dadahup A2, Kalteng. Disajikan pada Seminar
Nasional Padi, 23-24 Juli 2008 di Sukamandi. Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi. Badan Litbang Pertanian, Deptan.
Rachman, HPS. 1997. Aspek permintaan, penawaran dan tata niaga hortikultura di Indonesia. Forum Penelitian Agroekonomi Vol 15:1 dan 2. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang
pertanian, Deptan. Bogor.
Saptana, M. Siregar, S. Wahyubi, S.K. Dermoredjo, E.
Ariningsih, dan V. Darwis. 2005. Pemantapan Model Pengembangan Kawasan
Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS). Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan
Litbang Pertanian, Deptan. Bogor. 232 hlm.
Simatupang, P. 1995. Industrialisasi pertanian sebagai
strategi agribisnis dan pembangaun pertanian dalam era globalisasi. Orasi
Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan
Litbang Pertanian, Deptan. Bogor.
Subhan.
2005. Teknologi inovatif tanaman sayuran
menunjang keterpaduan usaha pertanian. Makalah
Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering.
Banjarbaru, Kalimantan Selatan. 6
Desember 2005.
Takakai, F., Y. Toma, U. Darung, K. Karamuchi, S. Dohong,
S.H. Limin, dan R. Hatano. 2006b. Greenhouse gas (CO2, CH4,
N2O) emission from agricultural lands on tropical peatland in
Central Kalimantan, Indonesia. Int. Worksh on Monsoon Asia Agric. Greenhouse
Gas Emission (MASE), March, 7-9, 2006. Tsukuba, Japan.