Minggu, 04 November 2012

Padi Lahan Marjinal



Judul Buku : Padi lahan Marjinal
Penerbit : Penebar Swadaya, Jakarta



Abstrak

Lahan marjinal adalah lahan yang mempunyai potensi  rendah sampai sangat rendah untuk menghasilkan suatu tanaman pertanian. Lahan marjinal ini meliputi lahan basah (rawa) dan lahan kering. Pemerintah (1995) merencanakan untuk pengembangan tanaman padi di lahan kering dan lahan rawa masing-masing sejuta hektar.  Khusus lahan rawa direncanakan pembukaan  lahan PLG  seluas satu juta hektar di Kalimantan Tengah untuk pengembangan mega rice estate . Dalam mendukung pembukaan lahan PLG Sejuta Hektar tersebut ditempat sebanyak 360.000 KK transmigrasi. Selama kurun waktu 25 tahun masa  PJP I  (1969-1994)  telah dibuka sekitar satu juta hektar lahan rawa oleh pemerintah untuk mendukung program transmigrasi dari Pulau Jawa dan Bali yang padat penduduk ke pulau yang jarang penduduknya, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang diarahkan untuk peningkatan produksi beras nasional.   Sampai tahun 1991 telah berhasil ditransmigrasikan sebanyak 2 juta penduduk pulau Jawa-Bali ke luar Jawa,  diantaranya 35%  ditempatkan di lahan  rawa  Kalimantan (sebanyak 84 UPT),  Sumatera (201 UPT), Sulawesi (19 UPT), keseluruhan berjumlah 324 UPT. Pada awalnya pemanfaatan lahan rawa (pasang surut maupun lebak) ditujukan untuk mengatasi kerawanan pangan yang terjadi setelah Perang Dunia I.  Impor beras Indonesia pada tahun 1977 masih besar (sekitar 2 juta ton)  atau hampir 20% dari pangsa yang diperdagangkan di pasar dunia sekitar 12 juta ton.  Setelah mengalami kecukupan (swasembada) selama kurang lebih lima tahun (1984-1989), Indonesia kembali menjadi pengimpor beras dengan pangsa  sekitar 10% dari yang diperdagangkan di pasar dunia antara  20-25 juta ton. Upaya pemerintah untuk kembali meraih swasembada beras dirasakan  semakin berat karena  peluang yang tersedia sangat terbatas dan bermasalah.  Selain dua masalah utama yaitu tingginya laju pertambahan penduduk dan tingkat penyusutan alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian, masalah terkait lainnya yang menjadi hambatan dalam mencapai swasembada, antara lain  (1) pesatnya organisme pengganggu tanaman (hama dan penyakit), (2) kondisi iklim dan cuaca yang tidak menentu akhir-akhir ini (El-Nino dan La-Nina), (3) degradasi lahan,  akibat pengelolaan lahan yang buruk, (4) biaya produksi (bibit, pupuk dan pestisida) semakin tinggi,  (5) diversifikasi (penganekaragaman) komoditi pangan yang  belum optimal,  (6) kelembagaan petani dan  kelembagaan  pendukung (seperti pelayanan modal, penyuluhan, pelatihan, pendidikan, kredit  dan lainnya) yang masih minim, (7) budaya masyarakat  “gila nasi” yang masih tinggi,  dan (8) daya tarik usaha pertanian, terutama pangan yang  semakin menurun karena dinilai kurang menguntungkan sehingga dana investasi (modal) rendah. 
Sementara ini pasok pangan nasional masih dikuasai oleh  Pulau Jawa, -walaupun sudah mulai bergeser dari 72% pada tahun 1980-an menjadi  tinggal sekitar 55%, sedangkan harapan untuk mengalihkan produksi ke lahan-lahan baru yang notabene di luar Pulau Jawa mengalami banyak hambatan. Dengan melihat pasok pangan yang disediakan di pasar dunia maka  Indonesia  tidak dapat terlalu  menggantungkan  pemenuhan ketersediaan berasnya kepada impor.  Impor pangan secara nyata menguras devisa negara, seperti untuk impor sebesar 2,1 juta ton beras pada tahun 1996 diperlukan dana US$ 766,3 juta. Untuk impor beras ini nilainya setara dengan 27,3% dari keseluruhan nilai impor barang konsumsi.  Selain itu besarnya impor secara tidak langsung akan melemahkan status ketahanan pangan dari masyarakat  yang  jumlah petaninya  sangat besar. Pemanfaatan lahan marjinal dalam konteks pencapaian swasembada pangan merupakan kebijakan yang tepat dan tidak dapat ditawar untuk masa mendatang. Namun demikian, pemanfaatan lahan marjinal untuk pengembangan budidaya padi memerlukan informasi, teknologi budidaya dan pengelolaan lahan yang memadai agar dapat berkelanjutan. Dalam konteks di atas, maka disusunlah buku teks lahan marjinal ini sebagai sumber informasi,  teknologi budidaya, dan pengelolaan lahan dalam pengembangan padi baik di lahan rawa maupun lahan kering.
Buku lahan marjinal ini disusun  untuk memenuhi kebutuhan akan teknologi budidaya tanaman padi dan pengembangannya di lahan marjinal, yaitu lahan yang mempunyai potensi rendah sampai sangat rendah untuk menghasilkan suatu tanaman pertanian. Lahan marjinal ini meliputi lahan rawa dan lahan kering. Dorongan penulisan buku ini terkait dengan rencana pemerintah (1995an) untuk pengembangan tanaman padi di lahan kering dan lahan rawa yang dibuka seluas satu juta ha di Kalimantan Tengah untuk peningkatan produksi beras nasional. 
Perlu dikemukakan bahwa Indonesia tercatat sebagai negara swasembada beras pada tahun 1984/85. Gerakan swasembada pangan ini didukung oleh arus Revolusi Hijau (Green Revolution), yang pada hakekatnya pertanian yang bertumpu pada (1) pengairan (investasi modal pinjaman luar negeri), (2) penggunaan bibit unggul (bibit “ajaib” yang diproduksi massal), (3) perbaikan budidaya (penanaman serentak, seragam dan penerapan mekanisasi),  (4) penggunaan pupuk (pupuk kimia/pabrik),  dan (5)  pengendalian hama-penyakit (pemanfaatan pestisida, insektisida dan fungsida dan sida-lainnya).  Bibit unggul, pupuk kimia, traktor,  pestisida merupakan hal baru bagi petani Indonesia yang masih bertani secara tradisional.  Tingkat produksi yang dicapai dalam penerapan teknologi revolusi hijau ini secara kuantitatif berhasil meningkatkan produksi padi secara nasional.  Sayangnya, semua keperluan sarana produksi yang diperlukan seperti bibit unggul, pupuk dan pestisida  serta traktor merupakan   barang  yang belum mampu atau tidak dihasilkan petani bahkan diimpor oleh negara sehingga harganya  hampir tidak lagi terjangkau oleh kebanyakan  petani.  Padahal petani sudah menjadi sangat tergantung (minded) dengan teknologi seperti bibit unggul, pupuk urea, TSP, KCl,  traktor,  pestisida,  insektisida, herbisida dan sida-sida lainnya. 
       Gambaran di atas menunjukkan bahwa sistem pertanian Revolusi Hijau yang dikenalkan kepada negara-negara berkembang tidak selalu memberikan hasil yang baik. Tinjauan kembali terhadap sistem pertanian Revolusi Hijau ini banyak dikumandangkan  para ahli lingkungan dan sosiologi.  Selain mengancam terhadap pelestarian lingkungan, sistem pertanian Revolusi Hijau juga terselubung bersifat hegemoni kapitalistik yang akan mengarah kepada pemiskinan  masyarakat petani.  Revolusi Hijau  memberikan keuntungan lebih banyak terhadap negara maju sebagai penggagas yang sekaligus pengontrol daripada yang diterima negara pemakai notebene sebagai negara berkembang.  Revolusi Hijau secara tidak kangsung telah  mereduksi sistem pertanian tradisional dan mengubur kearifan lokal yang bernuansa ramah lingkungan. Sistem pertanian Revolusi Hijau yang bersifat monokultur dan monokomoditi akan menggiring kepada menurunnya keanekaragaman hayati, meningkatnya emisi gas rumah kaca, selain merosotnya kesejahteraan dan kemaslahatan petani dan perempuan.  Meninjau dan mempelajari kembali sistem pertanian tropika yang  multikultur dan multikomoditi sebagai potensi yang perlu digali lebih jauh.  Budaya dan pengetahuan (lokal) agraris  yang  dimiliki petani Indonesia, termasuk di lahan marjinal baik  lahan basah (rawa) maupun lahan kering cukup besar, yang sementara ini banyak dilupakan karena desakan  sentralistik dan reduksionis akibat arah dan kebijakan yang lebih mengutamakan pengembangan pertanian modern dan pertanian industri dengan mengutamakan komoditis tunggal berupa varietas berdaya hasil tinggi (high yielding variety) sebagai soko guru dari Revolusi Hijau. 
Berangkat dari kondisi dan sumberdaya lingkungan  Indonesia, banyak hal tentang  teknologi budidaya padi dan pengelolaan pertanian secara spesifik untuk ditumbuhkembangkan yang barangkali tidak mesti harus sejalan dengan yang dikembangkan di negara-negara maju.  Dengan perkataan lain, pengembangan pertanian mendatang harus didasarkan pada kemampuan petani dan lingkungannya atau yang diistilahkan dengan pertanian berbasis sumberdaya lingkungan.
Pertanian di Pulau Jawa pada masa mendatang akan mengalami hambatan serius, selain  semakin meningkatnya penyusutan atau alih fungsi lahan, juga fragmentasi lahan yang semakin meluas. Jumlah petani yang menguasai lahan  < 0,5 hektar meningkat dari 9,53 juta KK pada tahun 1983 menjadi 10,94 juta KK.  Laju penyempitan lahan usaha tani ini menimpa tidak kurang pada 140 ribu KK tahun-1.  Penyempitan lahan usaha yang dialami rumah tangga petani Pulau Jawa mencapai  66 % pada tahun 1983 dan meningkat menjadi 70% pada tahun 1993. Angka ini  jauh di atas yang terjadi di luar Jawa yang hanya mencapai 28% pada tahun 1983 dan menjadi 30% pada tahun 1993.  Luas pemilikan lahan usaha tani  di luar Jawa  cukup luas yaitu 0,98 hektar pada tahun 1983 menjadi 0,83 hektar pada tahun 1993.  Bandingkan dengan usahatani di Pulau Jawa rata-rata pemilikan hanya 0,58 hektar pada tahun 1983 dan menyempit menjadi 0,48 hektar pada tahun 1993. Akibat fragmentasi lahan (penyempitan lahan usaha tani) ini maka usaha tani menjadi tidak lagi efisien.   Padahal dalam memajukan pertanian secara modern maka  pemilikan lahan  oleh petani  minimal 2,0 hektar.  Untuk  pengelolaan secara mekanis diperlukan lahan yang lebih luas sehingga diperlukan kerjasama antar petani untuk mencapai nilai ekonomis yang tinggi dalam pemanfaatan teknologi mesin. Oleh karena itu maka tumpuan dan harapan untuk pengembangan  pertanian secara lebih luas hanya mungkin di luar Pulau Jawa, yaitu pulau Kalimantan, Sumatera, dan Papua yang mempunyai potensi lahan rawa sangat luas.      
Penyeragaman kebijakan dalam pertanian seperti masa lalu  perlu dihindari    mengingat perbedaan potensi dan peluang secara luas pada sumberdaya lingkungan  antara satu tempat dengan tempat lainnya. Pada masa mendatang seyogyanya perhatian kepada kemampuan petani dan sumberdaya lingkungan perlu diletakkan sebagai dasar kebijakan. Dalam konteks lahan marjinal yang  lingkungan fisik dan sifat tanahnya yang spesifik, memerlukan strategi dan langkah-langkah pengelolaan yang tepat. Dengan perkataan lain, upaya-upaya inovatif dan kreatif dalam mengantisipasi perubahan lahan dan lingkungan terutama dalam pengertian ekologi perlu lebih diutamakan. 
Buku teks padi lahan marjinal ini mengemukakan selain segi teoritis juga praktis sehingga dapat digunakan oleh para penyuluh lapang, petani, penggiat dan  pengusaha pertanian. Buku terdiri dari tujuh bab utama yang mengemukakan :(1) Pengertian dan perspektif lahan marjinal, (2) Potensi dan status lahan marjinal, (3) Sifat dan ciri lahan marjinal, (4) Sistem usaha tani berbasis padi di lahan marjinal, (5) Teknologi budidaya dan pengelolaan padi berbagai agroekosistem (lahan rawa dan kering), (6) Strategi pengembangan padi di lahan marjinal dan (7) Konservasi dan pelestarian sumber daya  lahan marjinal.


1 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites