Karakteristik dan Reklamasi Lahan Rawa
Pasang Surut Gambut Bongkor dengan Pemanfaatan Bahan Alami untuk Meningkatkan
Produktivitas
Padi dan Palawija
Muhammad
Noor, Anna Hairani, Muhammad,
Siti Nurzakiah, dan Yanti Rina
PENGANTAR
Laporan penelitian
ini merupakan penelitian kerjasama kemitraan antara Badan
Litbang Pertanian (KEMTAN) dengan Kementerian Riset dan Teknologi (RISTEK) melalui
APBN 2011. Penelitian disusun
dalam bentuk percobaan laboratorium dan rumah kaca pada 2 (dua) lokasi penelitian kegiatan,
yaitu Sidomulyo Wanaraya
(Kab Barito Kuala, Kalsel) dan Pangkoh (Kab Pulang Pisau, Kalteng). Hasil yang
disampaikan dalam laporan ini dibatasi oleh waktu kontrak sehingga hanya sampai
batas akhir pengamatan yang terkumpul. Data lain yang belum dilaporkan sedang
diolah palawija (jagung) dan sosial, ekonomi dan persepsi petani tentang lahan
bongkor.
Dalam kesempatan ini, kami
mengucapkan terima kasih kepada para staf penelitian dan litkayasa Sdr Nadlir, M. Hatta dan Wahyudi yang banyak membantu dan bapak petani yang
lahannya digunakan, yaitu bapak Supani dan
kawan-kawan di Pangkoh, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah dan bapak
Achmad di Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Akhir kata kami
mengucapkan banyak terima kasih atas segala
saran dan kritiknya dan semoga kiranya bermanfaat.
RINGKASAN
Penelitian disusun
dalam bentuk percobaan laboratorium dan rumah kaca pada 2 (dua) lokasi
penelitian kegiatan, yaitu Sidomulyo Wanaraya (Kab Barito Kuala,
Kalsel) dan Pangkoh (Kab Pulang Pisau, Kalteng). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa parameter penciri utama yang dapat dijadikan indikator
untuk lahan bongkor tingkat kemasaman
tanah (pH > 4,0) dan air (pH < 3,5), besi tinggi (Fe2+
> 285 ppm), dan sulfat masam (SO42-
> 3500 ppm). Intensitas kebongkoran pada lahan sulfat masam menunjukkan
lebih tinggi dibandingkan lahan gambut. Perbaikan kemasaman untuk mencapai pH 4,0 dan 4,5 diperlukan 1,75 t kapur dolomit/ha 5,19 t kapur dolomit/ha, dan 8,62 t kapur dolomit/ha untuk
lahan sulfat masam, sedangkan untuk lahan gambut karena pH awal sudah
mencapai pH 4,5 maka untuk perbaikan
kemasaman hanya diberikan kapur dolomit secukupnya 0,25 t/ha yang sifatnya
menjaga kesetimbangan hara. Perbaikan kemasaman menunjukkan semakin kuat
reaktivitasnya dengan semakin lama. Pupuk kandang (P) menunjukan pengaruh lebih
baik dibandingkan dengan biotara (B) dan organowa (O). Pengaruh masing-masing
bahan amelioran, khususnya biotara tampak lebih efektif apabila diikuti dengan
perbaikan kemasaman (pH 4,5). Pertumbuhan
tanaman padi di lahan gambut lebih baik dibandingkan dengan tanah sulfat
masam. Pengaruh pemberian bahan baik
biotara, organowa, pupuk kandang pada lahan sulfat masam tidak berbeda nyata.
Pengaruh biotara terhadap tinggi tanaman padi di lahan gambut menunjukkan
paling rendah, sementara di lahan sulfat
masam paling rendah diperoleh pada kontrol.
Namun demikian pertumbuhan jumlah anakan pada lahan gambut lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan sulfat masam. Berdasarkan
jumlah anakan yang dicapai maka perbaikan kemasaman (dari pH 4,0 menjadi pH
5,0) pada lahan gambut mencapai 25%,
tetapi pada lahan sulfat masam menunjukkan hampir tidak berpengaruh. Sementara
pengaruh paling baik ditemukan pada pupuk kandang dibadingkan biotara atau
organowa.
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Lahan rawa bongkor adalah lahan gambut atau lahan
sulfat masam yang telah terdegradasi
sebagai akibat
kesalahan pengelolaan dan faktor alami sehingga tidak
sesuai lagi untuk pertumbuhan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.
Menurut Idjudin (1990) 40% dari luas baku lahan rawa yang telah dibuka di Riau, Sumatera Selatan, dan
Kalbar telah menjadi lahan bongkor. Maas
(2003) menyatakan antarar 60-70% atau sekitar 600 ribu hektar lahan rawa yang
telah dibuka menjadi lahan bongkor.
Kerusakan tanah di lahan rawa disebabkan oleh banyak faktor yang saling
terkait secara langsung dan atau tidak langsung. Kebakaran dan kekeringan merupakan faktor
penyebab utama kerusakan lahan rawa (bongkor). Faktor penyebab lain adalah
kesalahan dalam pengelolaan seperti tersingkapnya
pirit akibat pengolahan tanah, pembuatan surjan, pembuatan saluran, dan lain
sebagainya. Umumnya lahan rawa bongkor ditinggalkan petani atau tidak lagi
ditanami karena produktivitas lahan atau hasil tanaman yang diperoleh sangat
rendah sehingga petani selalu rugi (Sutikno et
al, 1998; Noorginayuwati dan Noor, 1999).
Secara
alami lahan rawa bongkor ini dapat kembali menjadi lahan produktif dengan
dihutankan kembali, tetapi memerlukan waktu yang lama. Dalam konteks
pengembangan pertanian, lahan rawa bongkor yang sudah direklamasi dan pernah
ditanami dapat dipulihkan kembali dengan penerapan perbaikan pengelolaan lahan,
air dan hara (Widjaya Adhi et al.,
2002). Pemulihan produktivitas lahan
rawa bongkor mempunyai peluang dengan memberikan perlakuan khusus a sehingga
sifat-sifat fisika dan kimia tanah berubah menjadi lebih baik. Teknologi
pemulihan lahan rawa bongkor ini tergantung pada kondisi lahan dan lingkungan
fisiknya sehingga diperlukan identifikasi, karakterisasi dan inventarisasi
sebelum dilakukan pemulihan. Lahan bongkor yang mengalami kerusakan ringan
memerlukan asupan teknologi lebih sederhana dibandingkan dengan yang sudah
mengalami kerusakan berat (Sutikno et al,
1998; Noor, 2010).
1.2. Tujuan Penelitian
1.
Mendapatkan nilai penciri dari sifat fisika, kimia biologi tanah utama dari lahan
gambut dan sulfat masam yang
bongkor,
2.
Merumuskan
nilai kuantitatif sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
lahan rawa (gambut dan sulfat masam) untuk lahan bongkor
3.
Mendapatkan
teknologi pemulihan (remediasi) produktivitas lahan rawa bongkor dengan
pemanfaatan bahan amelioran alami, pupuk hayati/organik hasil produk BALITTRA.
1.3.
Keluaran
Penelitian
1.
Nilai kuantitatif penciri dari sifat fisika, kimia biologi tanah utama dari lahan
gambut dan sulfat masam yang
bongkor,
2.
Teknologi
pemulihan (remediasi) produktivitas lahan rawa bongkor dengan pemanfaatan bahan
amelioran alami, pupuk hayati/organik hasil produk BALITTRA.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
Rendahnya pencapaian produksi dari lahan pasang surut,
khususnya sulfat masam dan lahan gambut, selain karena faktor tanah dan
lingkungan, juga ketersediaan teknologi seperti pengelolaan air,
lahan, dan tanaman. Pengelolaan
lahan terkait dengan fertlisasi dan ameliorasi. Dalam PP Mentan Pertanian No.40/2007 penetapan rekomendasi pemupukan masih
bersifat umum (Badan Litbang Pertanian-IRRI, 2008). Dalam Buku Petunjuk Teknis
Lapang PTT Padi Lahan Rawa Pasang Surut
dinyatakan bahwa pemberian pupuk N dengan BWD (bagan Warna Daun) sering rancu
karena gejala keracunan besi dan gejala defisiensi N pada daun sering baur.
Sedangkan penentuan takaran pemupukan P dan K diusulkan untuk didasarkan pada
status hara tanah. Lebih jauh, penelitian tentang penggunaan PUTS (Perangkat
Uji Tanah sawah) dalam petak omisi di lahan rawa pasang surut masih perlu
penelitian (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan pemupukan
berbasis status dan neraca hara pada padi di lahan rawa pasang surut khususnya
pada lahan sulfat masam dan gambut sangat dipengaruhi oleh pemberian bahan
amelioran (kapur dolomit dan pupuk kandang) (Noor et al., 2009). Pemberian dolomit untuk perbaikan pH dari 3,5-4,0
menjadi pH 4,5 menunjukkan pengaruh lebih kuat daripada pemberian pupuk
kandang. Sementara pengaruh pemberian pupuk dengan 3 (tiga) tingkat takaran
menunjukkan pengaruh lebih nyata pada kombinasi dengan pemberian dolomit
dibandingkan tanpa dolomit pada lahan sulfat masam dan lahan gambut, tetapi
kurang menunjukkan pengaruh yang nyata pada lahan potensial (Noor et al, 2010). Variabilitas tanah di
lahan rawa pasang surut sangat tinggi sehingga perlu pemilahan berdasarkan
sifat spesifik lokasi yang dikembangkan (Noor dan Anwar, 2008). Oleh karena itu,
peningkatan produktivitas dari lahan bongkor yang telah lama ditinggalkan
petani dengan penanaman kembali padi dan palawija dengan pemanfaatan bahan
alami setempat, termasuk mikroba alami
dengan tujuan peningkatan produksi hasil padi 20% dan palawija 15% dari
yang dihasilkan sementara (eksisting) merupakan salah satu upaya dalam strategi
optimalsiasi lahan rawa.
III. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di laboratorium, rumah kaca dan
dilanjutkan di lapang pada lahan petani.
Penelitian terdiri dari 3 (tiga) kegiatan. Untuk tahun I kegiatan 1 dan
2, Tahun II kegiatan 2 dan 3, sedang tahun III kegiatan 3 dengan dua lokasi
(Tabel 1). Kriteria dan karakterisasi lahan berdasarkan Balai Besar Sumberdaya
Lahan Pertanian (Balai Penelitian Tanah, 2006). Lokasi penelitian di Kabupaten
Barito Kuala, Kalimantan Selatan untuk tipologi lahan sulfat masam dan di Kabupaten
Kapuas/Pulang Pisau, Kalimantan Tengah untuk tipologi lahan gambut. Metodologi
penelitian masing-masing kegiatan penelitian secara lengkap sebagai berikut :
Tabel 1. Rangkaian kegiatan penelitian yang dilaksanakan
(2011-2013)
Kegiatan
|
Tahun
|
2011
|
2012
|
2013
|
1
|
Identifikasi dan evaluasi nilai penciri
utama dari sifat fisika dan kimia tanah dari lahan rawa bongkor
|
X
|
|
|
2
|
Efesiensi
komponen teknologi pemulihan (remediasi) produktivitas lahan rawa bongkor
dengan pemanfaatan bahan amelioran alami,
pupuk hayati BIOTARA, pupuk organi ORGANOWA dan pupuk kandang
|
X
|
X
|
|
3
|
Efisiensi paket
teknologi pemulihan (remediasi) produktivitas lahan rawa sulfat masam dan
gambut bongkor
|
|
X
|
X
|
Kegiatan 1. Identifikasi dan
evaluasi nilai penciri utama dari sifat fisika dan kimia tanah dari lahan rawa
bongkor dan rawa produktif
Keluaran dari kegiatan ini yaitu kuantifikasi parameter
sifat-sifat tanah dari lahan bongkor dan
baku mutu lahan rawa produktif. Penelitian berupa survei lapang ke lahan rawa
bongkor untuk identifikasi dan evaluasi terhadap sifat fisika dan kimia tanah
dan wawancara melalui PRA untuk penggalian sejarah pengelolaan dan pengembangan
budidaya di lahan tersebut Lokasi
penelitian dipilih secara purposive pada sebaran lahan di 2 (dua) kabupaten di
Kalimantan yaitu Kabupaten Barito Kuala Kalsel dan Kapuas/Pulang Pisau, Kalteng
yang terdiri dari tipologi lahan gambut dan lahan sulfat masam pasang surut.
Identifikasi dan evaluasi terhadap sifat/karakteristik sifat fisika dan kimia
tanah didasarkan pada petunjuk teknis Balai Penelitian Tanah (2004) dan Dent
(1986).
Karakterisasi untuk
fisik lingkungan dan morfologi lahan dilakukan pengamatan terhadap aspek
lingkungan dan lahan (ketebalan gambut, kedalaman pirit, muka air tanah, klas
drainase, kematangan tanah dsb). Deskkripsi dan klasifikasi tanah dilakukan
dengan pemboran dan dilanjutkan dimana perlu dilakukan pembuatan profil tanah.
Sejarah pemanfaatan yang digali dari pengguna lahan meliputi teknologi
pengelolaan tanah, air dan tanah sefrta budidaya serta asupan hara dan pupuk
Sifat fisika dan kimia tanah dari lahan bongkor dianalisis di laboratorium
dengan pengambilan contoh tanah komposit. Hasil evaluasi disajikan dengan peta
dan data tabuler.
Kegiatan 2. Efisiensi
komponen teknologi pemulihan (remediasi) produktivitas lahan rawa bongkor
dengan pemanfaatan bahan amelioran alami,
pupuk hayati, pupuk organik dan pupuk kandang
Penelitian dilakukan di laboratorium dan rumah kaca untuk
mengetahui kemampuan bahan pupuk hayati dan pupuk organik rawa dalam memulihkan
(remediasi) produktivitas lahan bongkor.
Penelitian disusun dalam bentuk Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari
percobaan laboratorium dan rumah kaca
Perlakuan untuk di laboratorium terdiri dari 2 (dua)
faktor dengan ulangan 3. Faktor I : (1)
pemulihan kemasaman menuju pH 4,0, (2) pemulihan kemasaman menuju pH 4,5, dan
(3) tanpa pemulihan kemasaman (=pH 3,5). Faktor II : (1). BIOTARA takaran
standar 25kg/ha, (2). BIOTARA takaran 50 kg/ha, (3) ORGANAWA takaran standar 3
t/ha, (4) ORGANOWA 6 t/ha, (5) PUPUK KANDANG 2 ton/ha, (6) Tanpa pupuk
hayati/organik/pupuk kandang. Jumlah
perlakuan (pot kecil) 3x6x3 ulangan = 54. Inkubasi selama 6 minggu dan
diamati pada 3 minggu dan 6 untuk pH dan
DHL. Pengamatan terhadap sifat-sifat kimia (pH, DHL, besi, sulfat, N, P, K, Ca,
Mg) dan fisika secara terbatas (BV, porositas) setelah 6 minggu.
Perlakukan untuk rumah kaca. terdiri dari 2 (dua) faktor
dengan 3 ulangan. Faktor I : (1)
pemulihan kemasaman menuju pH 4,0, (2) pemulihan kemasaman menuju pH 4,5, dan
(3) t pemulihan kemasaman menuju pH 5,0.
Faktor II : (1). BIOTARA takaran optimal dari hasil penelitian laboratorium (2)
ORGANAWA takaran optimal dari hasil penelitian laboratium dan (3) PUPUK KANDANG
2 ton/ha, (4) Kontrol (Tanpa pupuk hayati/organik/kandang) Tanaman indikator digunakan tanaman padi.
Jumlah perlakuan (pot besar 5 kg tanah)
3x4x 3 ulangan = 36. Pengamatan meliputi perubahan sifat fisika dan kimia dan
kesuburan tanah, dan pertumbuhan dan hasil tanaman. Uji statistik yang
digunakan analisis keragaman dan uji beda nyata Duncan dengan tingkat
kepercayaan 95%. Efisiensi dihitung terhadap kontrol tanpa amelioran dan tanpa
pupuk.
IV. HASIL DAN
PEMBAHASAN
4. 1. Identifikasi dan evaluasi nilai
penciri utama dari sifat fisika dan kimia tanah dari lahan rawa bongkor dan rawa produktif
Pengambilan contoh
tanah untuk penelitian di Desa Kanamit Raya (Pangkoh), Kabupaten Kapuas,
Kalteng untuk lahan gambut bongkor dan
Desa Sidomulyo, Kabupaten Barito Kuala, Kalsel untuk lahan sulfat masam.
Lahan petani yang dijadikan sampling tidak lagi ditanami atau ditinggal petani
(sesuai dengan kriteria lahan bongkor yang mengalami degradasi). Kedua lokasi
merupakan lokasi transmigrasi yang dibuka tahun 1970an (Sidomulyo) dan 1980an
(Kanamit) sebagian lahan dimanfaatkan untuk tanaman pangan semusim (padi dan
palawija), tetapi pada lokasi Sidomulyo sebagian besar lahan dimanfaatkan untuk
tanaman tahunan (buah-buahan).
Karakteristik lahan menunjukkan
keragaman baik dari segi fisik lingkungan maupun sifat dan watak. Tebal gambut
tergolong tipis sampai sedang, lapisan pirit dalam, pH tanah masam untuk lahan
di Kanamit. Tebal gambut tipis, lapisan pirit sedang, pH tanah masam untuk
lajhan di Sidomulyo. Kanamit mewakili lahan bongkor gambut, sedang Sidomulyo
mewakili lahan bongkor sulfat masam aktual (Tabel 2). Hasil analisis tanah dan
air awal disajikan pada Tabel 3.
Parameter utama yang
dapat digunakan indikator yang menunjukkan pembongkoran adalah kemasaman tanah
(pH 4,5 kondisi basah; pH 3,0 kondisi kering) dan air (pH 3,5), Fe yang tinggi
(285 ppm di lahan sulfat masam dan 445 ppm di lahan gambut) dan sulfat yang
sangat tinggi (3900 ppm di lahan sulfat masam dan 3500 ppm di lahan gambut).
Intensitas kebongkoran pada lahan sulfat masam menunjukkan lebih tinggi
dibandingkan lahan gambut. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dominasi vegetasi
yang tumbuh seperti galam (Melaleuca
leucadendron) sebagai penciri bagi lahan bongkor di lahan rawa pasang
surut.
Gambar 1. Lokasi
sampling di Desa Sidomulyo, Wanaraya, Batola, Kalsel
Gambar 2. Lokasi
sampling di Desa Kanamit (Pangkoh), Kab
Pulang Pisau, Kalteng
Tabel 2. Karakteristik lahan lokasi penelitian lahan
sulfat masam Sidomulyo (Kalsel) dan gambut Pangkoh (Kalteng).
Parameter
|
Karakteristik
|
Sulfat Masam Aktual
(Barito Kuala, Kalsel)
|
Gambut Bongkor
(Pulang Pisau, Kalteng)
|
Tebal
gambut (cm)
|
20-30
|
30-85
|
Jeluk
pirit (cm)
|
60-70
|
90-100
|
pH
tanah lapang
|
4,5
|
4,4-4,7
|
Muka
air tanah (cm)
|
65-70
|
65-70
|
Kematangan
|
Setengah matang
|
Hemik
|
Tipologi
|
Pirit Sedang
|
Gambut Dangkal
|
Tutupan
lahan
|
Purun tikus,
paku-pakuan
|
Padi, purun tikus
|
Tabel 3. Hasil
analisis tanah dan air dari lahan pecobaan
Jenis Analisis Tanah
|
Nilai/Kategori*
|
0-15 cm
|
15-30 cm
|
pH H2O ( 1 : 2.5)
DHL (mS/cm)
N – Total (%)
P – Total (mg/100 g P2O5)
K – Total (mg/100 g K2O)
Ca – dd (cmol(+)/kg)
Mg – dd (cmol(+)/kg)
K – dd (cmol(+)/kg)
Fe 2+(ppm)
SO4 (ppm)
BD (g/cm3)
PD (g/cm3)
Porositas (%)
|
4.58 (M)**
0.731
db
230.10 (ST)
56.68 (T)
4.20 (R)
1.01 (R)
0.95 (T)
285.45
3897.44
0.67
db
db
|
4.5
(SM)
0.493
db
113.41
(ST)
40.21
(T)
0.44
(SR)
0.50
(R)
0.48
(S)
445.25
3576.92
0.86
db
db
|
Jenis Analisis Air
|
pH
DHL (mS/cm)
|
3.43
0.36
|
|
Keterangan : db = data belum
keluar/masuk
T = tinggi, ST = sangat tinggi, R=rendah,
SR= sangat rendah, S = sedang
4.2.
Efisiensi
komponen teknologi pemulihan (remediasi) produktivitas lahan rawa bongkor
dengan pemanfaatan bahan amelioran alami,
pupuk hayati, pupuk organik dan pupuk kandang
4.2.1. Penelitian Laboratorium
Pada lahan sulfat masam pH awal 3,5 sehingga diperlukan
perbaikan kemasaman untuk mencapai pH 4,0 dan 4,5 masing-masing berdasarkan
metode inkubasi diperlukan pemberian kapur dolomit masing-masing untuk mencapai
pH 4,0 diperlukan pemebrian 1,75 t kapur dolomit/ha, untuk mencapai pH 4,5
diperlukan pemberian 5,19 t kapur dolomit/ha, dan untuk mencapai pH 5,0
diperlukan pemberian 8,62 t kapur dolomit/ha, sedangkan untuk lahan gambut
karena pH awal sudah mencapai pH 4,5
maka untuk perbaikan kemasaman hanya diberikan kapur dolomit secukupnya 0,25
t/ha yang sifatnya menjaga kesetimbangan hara.
Gambar 3. Hasil
penentuan kebutuhan bahan ameliran pada lahan sulfat masam
Penelitian laboratorium
dengan perbaikan kemasaman menunjukkan efektif dengan pemberian amelioran mengikuti persamaan di atas (Gambar 3).
Semakin lama inkubasi perbaikan pH semakin baik. Hal ini karena pengaruh waktu
yang menunjukkan kapur semakin kuat reaktivitasnya dengan semakin lama. Pupuk
kandang (P) menunjukan pengaruh lebih baik dibandingkan dengan biotara (B) dan
organowa (O). Pengaruh masing-masing bahan amelioran, khususnya biotara tampak
lebih efektif apabila diikuti dengan perbaikan kemasaman (pH 4,5) (Gambar 4 dan
5).
Gambar 4. Perubahan
pH pada kondisi kontrol (pH 3,0), perbaikan pH 4,0 (K1), dan perbaikan pH 4,5 (K2)
di lahan sulfat masam (kiri) dan kontrol (pH 4,0) dan perbaikan (0,25 t
amelioran/ha, K2) di lahan gambut (kanan)
Gambar 5. Perubahan
pH pada pemberian pupuk organowa (O1,O2), pupuk kandang (P0,P1), dan pupuk biotara
(B1, B2) dan perbaikan pH (K1, K2) di lahan sulfat masam (kiri) dan perbaikan
(0,25 t amelioran/ha, K2) di lahan gambut (kanan)
Hasil penelitian
laboratorium juga menunjukkan bahwa perbaikan kemasaman menunjukkan pengaruh
terhadap Daya Hantar Listrik (DHL) akibat pemberian amelioran mengikuti persamaan. Semakin lama inkubasi
perbaikan DHL semakin baik. Hal ini karena pengaruh waktu yang menunjukkan pengaruh
kapur semakin kuat dengan semakin lama (Gambar 6). Pupuk kandang (P) menunjukan
pengaruh tidak lebih baik terhadap DHL antara biotara (B) dan organowa (O).
Pengaruh masing-masing bahan amelioran, khususnya pupuk kandang tampak lebih
efektif apabila diikuti dengan perbaikan kemasaman (pH 4,5-5,0) (Gambar 7).
Gambar 6.
Perubahan DHL pada kondisi kontrol (pH 3,0), perbaikan pH 4,0 (K1), dan
perbaikan pH 4,5 (K2) di lahan sulfat masam perbaikan (0,25 t amelioran (K2) di
lahan gambut (kanan)
Gambar 7. Perubahan DHL pada pemberian pupuk organowa
(O1,O2), pupuk kandang (P0,P1), dan pupuk biotara (B1, B2) dan perbaikan pH
(K1, K2) di lahan sulfat masam (kiri) perbaikan (0,25 t amelioran (K2) di lahan
gambut (kanan)
4.2.2. Penelitian
Rumah Kaca
Hasil penelitian rumah kaca menunjukkan pengaruh
perbaikan kemasaman terhadap pH tanah pada lahan sulfat masam setelah ditanami
memberikan penurunan nilai kemasaman yang berarti daya sangga (buffer capacity)
dari tanah sulfat masam lebih rendah
dibandingkan dengan tanah gambut (Gambar 8). Demikian juga pengaruuh terhadap DHL
dari tanah sulfat masam menunjukkan lebih tinggi dibandingkan dengan tanah
gambut (Gambar 9). Pengaruh perbaikan kemasaman
lebih suatu pengaruhnya terhadap pH tanah dibandingkan dengan bahan amelioran
(biotara, oraganowa, pukan).
Gambar 8. Perubahan pH tanah pada pemberian biotara, organowa,
pupuk kandang dan kontrol di lahan sulfat masam (kiri) lahan gambut (kanan)
Gambar 9. Perubahan DHL tanah pada pemberian biotara,
organowa, pupuk kandang dan kontrol di lahan sulfat masam (kiri) lahan gambut
(kanan)
Pertumbuhan
tanaman padi di lahan gambut lebih baik dibandingkan dengan tanah sulfat masam
(Gambar 10 dan 11). Perbaikan kemasaman
(untuk mencapai pH 4,5; pH 5,0) pada lahan sulfat masam meningkatkan
pertumbuhan tinggi padi cukup baik,
sementara di lahan gambut tidak berpengaruh secara nyata. Namun demikian
pertumbuhan jumlah anakan pada lahan gambut lebih tinggi dibandingkan dengan
lahan sulfat masam (Gambar 11). Pengaruh
pemberian bahan baik biotara, organowa, pupuk kandang pada lahan sulfta masam
tidak berbeda nyata. Pengaruh biotara terhadap tinggi tanaman padi di lahan
gambut menunjukkan paling rendah, sementara
di lahan sulfat masam paling rendah diperoleh pada kontrol.
Gambar 10. Pertumbuhan tinggi tanaman padi pada pemberian
biotara, organowa, pupuk kandang dan kontrol di lahan sulfat masam (kiri) lahan
gambut (kanan).
Gambar 11. Jumlah
anakan padi pada pemberian biotara, organowa, pupuk kandang dan kontrol di
lahan sulfat masam (kiri) lahan gambut (kanan).
Berdasarkan jumlah anakan yang dicapai maka perbaikan kemasaman
(dari pH 4,0 menjadi pH 5,0) pada lahan
gambut mencapai 25%, tetapi pada lahan sulfat masam menunjukkan hampir tidak
berpengaruh. Sementara pengaruh paling baik ditemukan pada pupuk kandang
dibadingkan biotara atau organowa (Gambar 12).
Gambar 12. Pengaruh
perbaikan kemasaman (kiri) dan pemberian bahan amelioran (biotara, organowa,
pupuk kandang) terhadap jumlah anakan (kanan).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian dan
hasil penelitian di atas dapat disimpulkan :
1.
Parameter
penciri utama yang dapat dijadikan indikator untuk lahan bongkor tingkat kemasaman tanah (pH > 4,0)
dan air (pH < 3,5), besi tinggi (Fe2+ > 285 ppm), dan sulfat masam (SO42- >
3500 ppm). Intensitas kebongkoran pada lahan sulfat masam menunjukkan lebih
tinggi dibandingkan lahan gambut.
- Perbaikan
kemasaman untuk mencapai pH 4,0 dan 4,5 diperlukan 1,75 t kapur dolomit/ha 5,19 t kapur dolomit/ha, dan 8,62 t kapur dolomit/ha
untuk lahan sulfat masam, sedangkan untuk lahan gambut karena pH awal
sudah mencapai pH 4,5 maka untuk
perbaikan kemasaman hanya diberikan kapur dolomit secukupnya 0,25 t/ha
yang sifatnya menjaga kesetimbangan hara.
- Perbaikan
kemasaman menunjukkan semakin kuat reaktivitasnya dengan semakin lama.
Pupuk kandang (P) menunjukan pengaruh lebih baik dibandingkan dengan
biotara (B) dan organowa (O). Pengaruh masing-masing bahan amelioran,
khususnya biotara tampak lebih efektif apabila diikuti dengan perbaikan
kemasaman (pH 4,5).
- Pertumbuhan
tanaman padi di lahan gambut lebih baik dibandingkan dengan tanah sulfat
masam. Pengaruh pemberian bahan
baik biotara, organowa, pupuk kandang pada lahan sulfat masam tidak berbeda
nyata. Pengaruh biotara terhadap tinggi tanaman padi di lahan gambut
menunjukkan paling rendah, sementara
di lahan sulfat masam paling rendah diperoleh pada kontrol. Namun demikian pertumbuhan jumlah anakan
pada lahan gambut lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sulfat masam.
- Berdasarkan
jumlah anakan yang dicapai maka perbaikan kemasaman (dari pH 4,0 menjadi
pH 5,0) pada lahan gambut mencapai
25%, tetapi pada lahan sulfat masam menunjukkan hampir tidak berpengaruh.
Sementara pengaruh paling baik ditemukan pada pupuk kandang dibadingkan
biotara atau organowa.
DAFTAR PUSTAKA
AARD & LAWOO, 1992. Acid Sulphate Soils in the Humid
Tropics: Guidelines for Soil Surveys”. ARRD-LAWOO. Jakarta-Netherland.
141 halaman
Alihamsyah,
T. 2004. “Potensi dan Pendayagunaan Lahan Rawa
dalam Rangka Peningkatan Produksi Padi”. Badan Litbang Pertanian, Jakarta
Alihamsyah, T dan I. Noor, 2003.
Lahan Rawa Pasang Surut : pendukung ketahanan Pangandan Sumber Pertumbuhan
Agribisnis. Balittra. Banjarbaru.
Badan Litbang Pertanian- IRRI. 2008. “Modul Pemupukan
Padi Sawah Spesifik Lokasi”. Kerjasama Badan Litbang
Pertanian dengan International Rice Reseach Institute. Jakarta. 35 halaman.
Badan Litbang Pertanian. 2007. ”Petunjuk Teknis Lapang
PTT Padi Lahan Rawa Pasang Surut”. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. 37 halaman
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2007. Deskripsi
Varietas Padi. 81 halaman.
Balai Penelitian Tanah, 2004. Petunjuk Teknis Pengamatan
Tanah. Puslitanak,
Bgor. 117 h.
Dent,
D. 1986. Acid Sulphate Soils : a baseline for research and development. ILRI
Wageningen Publ. No. 39. The Netherlands.
204 h.
Las,
I. 2007. “Rawa Pilihan yang Tak Ada
Pesaing”. Tabloid Sinar Tani Edisi
11-17 April 2007. Hlm 20 : Agroinovasi
Badan Litbang Pertanian. Deptan. Jakarta.
Noor, M. 2004. “Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah
Bermasalah Sulfat Masam”. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 241 halaman.
Subagyo, H. 2007. ”Lahan Rawa Pasang Surut”. Dalam Didi Ardi S. et al. (eds.). Karakterstik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Monograf BBSDLP, Badan
Litbang Pertanian. Jakarta. Halaman 23-98